Antisipasi Krisis, Perbankan Harus Tambah Iuran Premi
A
A
A
Badan Kebijakan Fiskal mewanti-wanti risiko krisis keuangan sistemik yang selalu dan terus membayangi pergerakan ekonomi Indonesia. Karena itu, perbankan di tanah air harus bersiap menambah iuran premi ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Anggota Komisioner LPS, Destry Damayanti mengatakan iuran ini mengikuti berlakunya UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), yang mendorong gotong royong industri perbankan. Menurut dia, dalam UU ini yang akan diamandemen adalah kenaikan iuran premi perbankan pada LPS dari sebesar 0,2%.
“UU ini sangat penting untuk mencegah terjadinya krisis. Karena krisis keuangan bisa menguras keuangan negara dalam jumlah yang sangat besar,” ujar Destry dalam diskusi di Jakarta, Senin (4/4/2016).
Ekonom dari Bank Mandiri ini mengatakan UU PPKSK menekankan pada pencegahan krisis. Strategi ini mengantisipasi krisis yang berarti menguras biaya perbaikan yang mahal sekali. Saat 1998 terjadi krisis, pemerintah harus keluarkan 60% PDB untuk restrukturisasi perbankan. “Saat ini, PDB kita Rp 11.000 triliun. Kalau terjadi krisis lagi, maka kita harus keluarkan uang sekitar Rp 6.600 triliun, besar sekali," katanya.
Dari kondisi tersebut terlihat betapa UU anti krisis keuangan sangat diperlukan. Sayangnya, penerapan UU ini masih belum bisa dilakukan dengan sempurna karena masih memerlukan penyesuaian aturan turunannya. Aturan turunan yang dimaksud adalah aturan yang menuntun lembaga-lembaga yang terlibat dalam upaya pencegahan krisis melakukan tugasnya masing-masing. Karena, dalam upaya pencegahan, ada sejumlah lembaga yang terlibat yakni Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan LPS.
Wakil Ketua Komisi XI DPR, Soepriyatno mengatakan untuk premi penjaminan industri harus bergotong royong. Dia mengingatkan jangan sampai saat bank terkena krisis sudah menghabiskan uang pemerintah, iuran 0,2% ditambah lagi begitu UU berlaku dan besarnya nanti akan dibicarakan lagi. “Intinya mereka harus mau bergotong royong selamatkan industri. Begitu masuk daftar bank sistemik maka langsung harus sediakan recovery and resolution plan,” ujar Soepriyatno dalam kesempatan yang sama.
Direkur Utama PT Bank Mandiri Tbk, Kartika Wirjoatmodjo mengatakan kelompok bank sistemik memiliki tantangan kedepannya untuk memiliki rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) berkisar 16,5%-17,5%. “Paling tidak, CAR bank-bank BUKU III dan IV harus berkisar 16,5%-17,5%. Selain itu, harus mempunyai capital plan yang baik,” terang dia.
Dia mengatakan, penguatan permodalan yang akan berimbas pada penurunan return on asset (ROE) masih terbilang positif, demi menjaga kesehatan lembaga maupun industri perbankan. ROE perbankan dipastkan akan turun sedikit, tetapi tidak apa-apa untuk sistem perbankan yang lebih sehat.
Secara umum, lanjut Kartika, kondisi perbankan di Indonesia masih berada dalam taraf yang sehat, tercermin dari rata-rata CAR sebesar 21,5% dan rasio kredit bermasalah (NPL) gross sebesar 2,7%. Meski NPL masih dalam tren meningkat tetapi solvabilitas secara umum masih cukup baik.
Anggota Komisioner LPS, Destry Damayanti mengatakan iuran ini mengikuti berlakunya UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), yang mendorong gotong royong industri perbankan. Menurut dia, dalam UU ini yang akan diamandemen adalah kenaikan iuran premi perbankan pada LPS dari sebesar 0,2%.
“UU ini sangat penting untuk mencegah terjadinya krisis. Karena krisis keuangan bisa menguras keuangan negara dalam jumlah yang sangat besar,” ujar Destry dalam diskusi di Jakarta, Senin (4/4/2016).
Ekonom dari Bank Mandiri ini mengatakan UU PPKSK menekankan pada pencegahan krisis. Strategi ini mengantisipasi krisis yang berarti menguras biaya perbaikan yang mahal sekali. Saat 1998 terjadi krisis, pemerintah harus keluarkan 60% PDB untuk restrukturisasi perbankan. “Saat ini, PDB kita Rp 11.000 triliun. Kalau terjadi krisis lagi, maka kita harus keluarkan uang sekitar Rp 6.600 triliun, besar sekali," katanya.
Dari kondisi tersebut terlihat betapa UU anti krisis keuangan sangat diperlukan. Sayangnya, penerapan UU ini masih belum bisa dilakukan dengan sempurna karena masih memerlukan penyesuaian aturan turunannya. Aturan turunan yang dimaksud adalah aturan yang menuntun lembaga-lembaga yang terlibat dalam upaya pencegahan krisis melakukan tugasnya masing-masing. Karena, dalam upaya pencegahan, ada sejumlah lembaga yang terlibat yakni Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan LPS.
Wakil Ketua Komisi XI DPR, Soepriyatno mengatakan untuk premi penjaminan industri harus bergotong royong. Dia mengingatkan jangan sampai saat bank terkena krisis sudah menghabiskan uang pemerintah, iuran 0,2% ditambah lagi begitu UU berlaku dan besarnya nanti akan dibicarakan lagi. “Intinya mereka harus mau bergotong royong selamatkan industri. Begitu masuk daftar bank sistemik maka langsung harus sediakan recovery and resolution plan,” ujar Soepriyatno dalam kesempatan yang sama.
Direkur Utama PT Bank Mandiri Tbk, Kartika Wirjoatmodjo mengatakan kelompok bank sistemik memiliki tantangan kedepannya untuk memiliki rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) berkisar 16,5%-17,5%. “Paling tidak, CAR bank-bank BUKU III dan IV harus berkisar 16,5%-17,5%. Selain itu, harus mempunyai capital plan yang baik,” terang dia.
Dia mengatakan, penguatan permodalan yang akan berimbas pada penurunan return on asset (ROE) masih terbilang positif, demi menjaga kesehatan lembaga maupun industri perbankan. ROE perbankan dipastkan akan turun sedikit, tetapi tidak apa-apa untuk sistem perbankan yang lebih sehat.
Secara umum, lanjut Kartika, kondisi perbankan di Indonesia masih berada dalam taraf yang sehat, tercermin dari rata-rata CAR sebesar 21,5% dan rasio kredit bermasalah (NPL) gross sebesar 2,7%. Meski NPL masih dalam tren meningkat tetapi solvabilitas secara umum masih cukup baik.
(dmd)