Aneh, Holding Energi Hanya Sebatas Pertamina Caplok PGN
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah membentuk holding energi dinilai aneh dan rancu, lantaran menurut pengamat hal itu hanya sebatas upaya menjadikan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai anak usaha PT Pertamina (Persero). Rencana pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut didesak agar ditunda dahulu.
“Saya setuju sekali BUMN Migas di Indonesia harus kuat untuk selesaikan carut marut energi di Indonesia. Tapi kalau hanya sebatas Pertamina akusisi PGN agak rancu dan aneh,” kata Pakar ekonomi bisnis dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Tri Widodo di Jakarta, Senin (25/7/2016).
(Baca Juga: Holding BUMN Energi Dinilai DEN Tak Mendesak)
Menurut dia Dewan Energi Nasional (DEN) sangat konsen dalam menyikapi rencana pemebntukan holding energi. Pasalnya tujuan dari holding BUMN energi laik dilakukan.
“Namun ketika hanya sebatas PGN dan Pertamina saja, ini yang jadi masalah. Akuisisi ini saya tidak setuju karena hanya melalui selembar kertas RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah). Pertamina tidak bisa disalahkan, PGN juga. Tapi Kementerian BUMN yang harus menjelaskan secara rinci,” lanjutnya.
Dia mengatakan, pembentukan holding melalui inbreng saham PGN ke Pertamina akan memunculkan tata kelola kurang baik dari sisi praktik pasar modal. Artinya, pemerintah bisa semena-mena kepada perusahaan BUMN yang sudah berstatus terbuka.
“Kalau kita baca 56% saham PGN dikuasai pemerintah dan sisanya dikuasai pemegang saham publik. Dengan hanya RPP, disitu pengalihan saham PGN secara otomatis jadi anak usaha Pertamina. Ini tidak sehat,” ujarnya.
Menurutnya pemegang saham publik PGN harus mengetahui rencana tersebut dengan jelas. Selain itu pemerintah juga harus menyampaikan rencana holding energi kepada publik agar tidak ada yang dirugikan
Adapun mekanismenya ialah pemegang saham minoritas dan publik harus diutamakan dan dilindungi karena selama ini PGN didukung oleh pemegang saham publik. Dia memberikan solusi bahwa pemerintah selaku pemegang saham mayoritas harus menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
“RUPS ini agendanya apakah setuju atau tidak ada perpindahan kepemilikan. Karena berdasarkan UU tentang pasar modal. Apapun informasi fakta material harus diketahui publik. Jangan sampai ada gugatan ke depannya,” terang dia.
Menurutnya jika memang setuju tidak ada masalah. Dan jika ada yang tidak setuju, maka pemerintah haruslah melakukan buyback dulu saham PGN. “Nah ini biayanya besar bisa mencapai Rp 28 triliun menurut perhitungan saya,” ungkapnya.
Dia menyarankan sebaiknya pemerintah melalui Kementerian BUMN menunda atau membatalkan rencana yang belum jelas tersebut. “Ungkap terlebih dahulu secara rinci kepada publik, jangan melalui RPP yang tiba-tiba,” pungkas dia.
“Saya setuju sekali BUMN Migas di Indonesia harus kuat untuk selesaikan carut marut energi di Indonesia. Tapi kalau hanya sebatas Pertamina akusisi PGN agak rancu dan aneh,” kata Pakar ekonomi bisnis dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Tri Widodo di Jakarta, Senin (25/7/2016).
(Baca Juga: Holding BUMN Energi Dinilai DEN Tak Mendesak)
Menurut dia Dewan Energi Nasional (DEN) sangat konsen dalam menyikapi rencana pemebntukan holding energi. Pasalnya tujuan dari holding BUMN energi laik dilakukan.
“Namun ketika hanya sebatas PGN dan Pertamina saja, ini yang jadi masalah. Akuisisi ini saya tidak setuju karena hanya melalui selembar kertas RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah). Pertamina tidak bisa disalahkan, PGN juga. Tapi Kementerian BUMN yang harus menjelaskan secara rinci,” lanjutnya.
Dia mengatakan, pembentukan holding melalui inbreng saham PGN ke Pertamina akan memunculkan tata kelola kurang baik dari sisi praktik pasar modal. Artinya, pemerintah bisa semena-mena kepada perusahaan BUMN yang sudah berstatus terbuka.
“Kalau kita baca 56% saham PGN dikuasai pemerintah dan sisanya dikuasai pemegang saham publik. Dengan hanya RPP, disitu pengalihan saham PGN secara otomatis jadi anak usaha Pertamina. Ini tidak sehat,” ujarnya.
Menurutnya pemegang saham publik PGN harus mengetahui rencana tersebut dengan jelas. Selain itu pemerintah juga harus menyampaikan rencana holding energi kepada publik agar tidak ada yang dirugikan
Adapun mekanismenya ialah pemegang saham minoritas dan publik harus diutamakan dan dilindungi karena selama ini PGN didukung oleh pemegang saham publik. Dia memberikan solusi bahwa pemerintah selaku pemegang saham mayoritas harus menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
“RUPS ini agendanya apakah setuju atau tidak ada perpindahan kepemilikan. Karena berdasarkan UU tentang pasar modal. Apapun informasi fakta material harus diketahui publik. Jangan sampai ada gugatan ke depannya,” terang dia.
Menurutnya jika memang setuju tidak ada masalah. Dan jika ada yang tidak setuju, maka pemerintah haruslah melakukan buyback dulu saham PGN. “Nah ini biayanya besar bisa mencapai Rp 28 triliun menurut perhitungan saya,” ungkapnya.
Dia menyarankan sebaiknya pemerintah melalui Kementerian BUMN menunda atau membatalkan rencana yang belum jelas tersebut. “Ungkap terlebih dahulu secara rinci kepada publik, jangan melalui RPP yang tiba-tiba,” pungkas dia.
(akr)