Sri Mulyani Katakan RAPBN 2017 Tak Sehat, Ini Penjelasannya
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, kondisi RAPBN 2017 yang telah disusun merupakan kondisi dari ekonomi Indonesia yang tidak sehat. Sri Mulyani mengatakan ada defisit bernama defisit primer yang dialami Indonesia untuk saat ini.
Jika terjadi defisit primer, maka keseimbangan defisit Indonesia terganggu. Keseimbangan primer sendiri yakni dihitung dari total penerimaan dikurangi belanja negara tanpa pembayaran bunga utang. Sri Mulyani mengatakan, bila keseimbangan primer ini defisit, berarti pemerintah menarik utang untuk membayar bunga utang. Dia pun mengatakan, saat ini Indonesia mengalami defisit keseimbangan primer sebesar Rp111,4 triliun.
"Saya jelaskan sedikit, defisit primer yang negatif artinya pemerintah telah pada ttik di mana kita meminjam untuk melakukan pembayaran interest rate. Jadi sebetulnya itu merupakan indikator bahwa kita meminjam bukan untuk investasi tapi meminjam untuk keperluan menservice utang pada masa lalu. Ini termasuk yang tidak sehat di RAPBN kita," katanya di Jakarta, Selasa (16/8/2016).
Oleh karena itu negara-negara biasanya tidak hanya melihat kepada absolute deficit namun dilihat juga dari defisit primernya diupayakan harus mendekati 0 atau bahkan positif.
"Sehingga kemampuan dari APBN untuk tidak menjadi istilahnya predator atau dia melakukan ekspansi belanja yang tidak bisa didanai oleh penerimaannya sendiri. Itu tanda-tanda dari kondisi APBN yang perlu diperbaiki," kata dia. (Baca: Target Defisit Anggaran RAPBN 2017 Sebesar 2,41%)
Sri Mulyani menambahkan, ini sangat ditentukan dengan kemampuan Indonesia dalam mengelola utang sedetil mungkin.
"Mengelola utang dengan tingkat suku bunga serendah mungkin. Ini berkaitan dengan kalau dia di issued instrumen di dalam negeri, itu sangat tergantung pada tingkat inflasi nominal dan tingkat luar negeri," katanya.
Jelas, ini tidak bisa dibandingkan dengan kondisi di Amerika Serikat yang denominasinya adalah mata uang USD dan dia mampu untuk meminjam pada tingkat yang almost zero atau seperti Jepang sudah negatif.
"Jadi yang bisa saya katakan, Indonesia tidak memiliki kemewahan seperti itu. Dan ini yang menyebabkan kita harus berhati-hati di dalam pengelolaan APBN," tutup dia.
Jika terjadi defisit primer, maka keseimbangan defisit Indonesia terganggu. Keseimbangan primer sendiri yakni dihitung dari total penerimaan dikurangi belanja negara tanpa pembayaran bunga utang. Sri Mulyani mengatakan, bila keseimbangan primer ini defisit, berarti pemerintah menarik utang untuk membayar bunga utang. Dia pun mengatakan, saat ini Indonesia mengalami defisit keseimbangan primer sebesar Rp111,4 triliun.
"Saya jelaskan sedikit, defisit primer yang negatif artinya pemerintah telah pada ttik di mana kita meminjam untuk melakukan pembayaran interest rate. Jadi sebetulnya itu merupakan indikator bahwa kita meminjam bukan untuk investasi tapi meminjam untuk keperluan menservice utang pada masa lalu. Ini termasuk yang tidak sehat di RAPBN kita," katanya di Jakarta, Selasa (16/8/2016).
Oleh karena itu negara-negara biasanya tidak hanya melihat kepada absolute deficit namun dilihat juga dari defisit primernya diupayakan harus mendekati 0 atau bahkan positif.
"Sehingga kemampuan dari APBN untuk tidak menjadi istilahnya predator atau dia melakukan ekspansi belanja yang tidak bisa didanai oleh penerimaannya sendiri. Itu tanda-tanda dari kondisi APBN yang perlu diperbaiki," kata dia. (Baca: Target Defisit Anggaran RAPBN 2017 Sebesar 2,41%)
Sri Mulyani menambahkan, ini sangat ditentukan dengan kemampuan Indonesia dalam mengelola utang sedetil mungkin.
"Mengelola utang dengan tingkat suku bunga serendah mungkin. Ini berkaitan dengan kalau dia di issued instrumen di dalam negeri, itu sangat tergantung pada tingkat inflasi nominal dan tingkat luar negeri," katanya.
Jelas, ini tidak bisa dibandingkan dengan kondisi di Amerika Serikat yang denominasinya adalah mata uang USD dan dia mampu untuk meminjam pada tingkat yang almost zero atau seperti Jepang sudah negatif.
"Jadi yang bisa saya katakan, Indonesia tidak memiliki kemewahan seperti itu. Dan ini yang menyebabkan kita harus berhati-hati di dalam pengelolaan APBN," tutup dia.
(ven)