Pengusaha Ritel Tak Berdaya Hadapi Gempuran E-Commerce
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta mengatakan, menjamurnya penjual E-commerce ritel membuat pasar ritel tradisional maupun yang modern tidak bisa melakukan apa-apa. Namun demikian, dia mengingatkan bahwa industri ritel Indonesia tidak boleh menyerah dengan perkembangan pesat E-commerce.
"Itu ibaratnya suatu given ya. Kita tidak bisa apa-apa. Yang bisa dilakukan adalah kami tidak boleh cengeng. Kami juga bermutasi, mengambil market yang kami harus ambil. Itu ritel. Akhirnya ada Mataharimall, ada Alfacart, banyaklah. yang gede-gede masuk itu," terang dia di Menara Kadin Indonesia, Jakarta, Jumat (23/9/2016).
Menurut Tutum, semua orang saat ini lebih sering berbelanja via online atau menggunakan teknologi E-commerce karena aksesnya mudah dan semua menggunakan smartphone dan orang bisa berbelanja kapan saja. Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa dibalik kemudahannya tersebut, orang pasti melihat dua hal utama yakni pembayaran dan pengirimannya.
"Payment gatewaynya itu jadi pertimbangan di mereka. Mereka melihat itu. Teknologi itu memang gampang, tapi kalau pengiriman barang, itu tidak bisa apa-apa karena harus fisik yang bisa diantarakan. Itulah sebabnya ada ongkos kirim yang mahal, karena penjual E-commerce kan seluruh Indonesia. Mereka pasti mikir ongkos kirim dan waktu sampainya kapan," sambungnya.
Dia memperkirakan, 30 tahun ke depan produk yang bisa dijual online mungkin hanya sekitar 30%. Itu artinya, pasar ritel fisik tetap ada dan tidak akan mati. Buktinya di Amerika Serikat (AS) yang lebih maju dari Indonesia puluhan tahun, toko ritelnya fisiknya tetap ada dengan berbagai brand yang terkenal di seluruh dunia.
"Hanya mengecil dan jenisnya yang bermutasi. Penjual ritel dan E-commerce itu tetap sama-sama tumbuh tapi tumbuhnya itu tidak sebesar yang online. Kalau online kan kenceng. Nah kalau ritel ini tumbuh, tapi agak pelan," pungkas dia.
"Itu ibaratnya suatu given ya. Kita tidak bisa apa-apa. Yang bisa dilakukan adalah kami tidak boleh cengeng. Kami juga bermutasi, mengambil market yang kami harus ambil. Itu ritel. Akhirnya ada Mataharimall, ada Alfacart, banyaklah. yang gede-gede masuk itu," terang dia di Menara Kadin Indonesia, Jakarta, Jumat (23/9/2016).
Menurut Tutum, semua orang saat ini lebih sering berbelanja via online atau menggunakan teknologi E-commerce karena aksesnya mudah dan semua menggunakan smartphone dan orang bisa berbelanja kapan saja. Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa dibalik kemudahannya tersebut, orang pasti melihat dua hal utama yakni pembayaran dan pengirimannya.
"Payment gatewaynya itu jadi pertimbangan di mereka. Mereka melihat itu. Teknologi itu memang gampang, tapi kalau pengiriman barang, itu tidak bisa apa-apa karena harus fisik yang bisa diantarakan. Itulah sebabnya ada ongkos kirim yang mahal, karena penjual E-commerce kan seluruh Indonesia. Mereka pasti mikir ongkos kirim dan waktu sampainya kapan," sambungnya.
Dia memperkirakan, 30 tahun ke depan produk yang bisa dijual online mungkin hanya sekitar 30%. Itu artinya, pasar ritel fisik tetap ada dan tidak akan mati. Buktinya di Amerika Serikat (AS) yang lebih maju dari Indonesia puluhan tahun, toko ritelnya fisiknya tetap ada dengan berbagai brand yang terkenal di seluruh dunia.
"Hanya mengecil dan jenisnya yang bermutasi. Penjual ritel dan E-commerce itu tetap sama-sama tumbuh tapi tumbuhnya itu tidak sebesar yang online. Kalau online kan kenceng. Nah kalau ritel ini tumbuh, tapi agak pelan," pungkas dia.
(akr)