Pengusaha Keberatan Pemda Intervensi Kebijakan Plastik Berbayar
A
A
A
JAKARTA - Pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengaku keberatan atas intervensi yang dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda), terhadap kebijakan kantong plastik berbayar. Sebab, interpretasi Pemda terhadap kebijakan tersebut berbeda-beda dan membingungkan peritel.
(Baca: Pengusaha Ritel Kembali Gratiskan Kantong Plastik)
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey menjelaskan, intervensi yang dilakukan Pemda sejatinya muncul karena pemerintah melimpahkan kewenangan untuk menentukan harga kantong plastik kepada Pemda. Pelimpahan wewenang tersebut tercantum dalam Surat Edaran (SE) Menteri Lingkungan Hidup Nomor 8/PSCB3/PS/PCB./5/2016.
Dalam mejalankan kebijakan kantong plastik berbayar, pemerintah telah mengeluarkan dua kali surat edaran (SE). Surat edaran pertama yaitu Nomor S.1230/PSLB 3 - PS/2016 berlaku selama tiga bulan sejak Februari 2016 hingga Mei 2016, sedangkan Nomor 8/PSCB3/PS/PCB./5/2016 berlaku mulai 30 Mei 2016.
"Nah di SE Nomor 8 itu kita mustinya terima 30 Mei tapi baru terima 6 Juni, dan itu pun tetap kita coba lakukan. Yang disayangkan, SE yang kedua kami tiba-tiba mendapatkannya. Karena dalam SE itu ada beberapa poin yang tidak sesuai harapan kami, yaitu adanya pelimpahan wewenang kepada Pemda terhadap nilai dari plastik itu. Ini yang jadi polemik," katanya di Jakarta, Senin (3/10/2016).
(Baca: Pengusaha Minta Kebijakan Plastik Berbayar Tak Tebang Pilih)
Roy mengungkapkan, masing-masing daerah telah menginterpretasikan masing-masing mengenai kebijakan tersebut. Akibatnya, ada daerah yang menerapkan harga sebesar Rp1.500 sampai Rp5.000 per kantong.
"Bahkan ada yang sama sekali tidak mengizinkan kantong plastik ada di wilayahnya. Ini kan interpretasi yang tidak sesuai harapan dengan smangat awal. Ini yang membuat akhirnya masing-masing anggota kebingungan," imbuh dia.
Menurutnya, akibat interpretasi yang keliru tersebut kebijakan plastik berbayar menjadi berbeda di tiap kota. Padahal, ritel modern selama ini menerapkan harga berdasarkan sistem jejaring, di mana harga telah ditentukan di tingkat pusat.
"Ini yang kami sebut intervensi yang membuat ritel kita gundah. Kita jadi enggak fokus ke dagangan tapi malah bagaimana ngatur barang dagangan ini," akunya.
Intervensi lain, tambah Roy, peritel kerap dipanggil pihak berwajib untuk dimintai keterangan mengenai kebijakan kantong plastik berbayar. Padahal, kebijakan tersebut bukan atas inisiatif dari pengusaha melainkan dari pemerintah.
"Ini kan membuat persoalan baru. Di Palembang, kita dipanggil (kepolisian) yang bukan kaitan dengan dagangan. Dagang kan kita berkontribusi pajak, tenaga kerja, tapi harus memikirkan pesoalan yang bukan di perdagangan. Ini yang membuat anggota tidak bisa menerima dan melihat sebagai satu situasi yang harus kita biarkan," tandas Roy.
(Baca: Pengusaha Ritel Kembali Gratiskan Kantong Plastik)
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey menjelaskan, intervensi yang dilakukan Pemda sejatinya muncul karena pemerintah melimpahkan kewenangan untuk menentukan harga kantong plastik kepada Pemda. Pelimpahan wewenang tersebut tercantum dalam Surat Edaran (SE) Menteri Lingkungan Hidup Nomor 8/PSCB3/PS/PCB./5/2016.
Dalam mejalankan kebijakan kantong plastik berbayar, pemerintah telah mengeluarkan dua kali surat edaran (SE). Surat edaran pertama yaitu Nomor S.1230/PSLB 3 - PS/2016 berlaku selama tiga bulan sejak Februari 2016 hingga Mei 2016, sedangkan Nomor 8/PSCB3/PS/PCB./5/2016 berlaku mulai 30 Mei 2016.
"Nah di SE Nomor 8 itu kita mustinya terima 30 Mei tapi baru terima 6 Juni, dan itu pun tetap kita coba lakukan. Yang disayangkan, SE yang kedua kami tiba-tiba mendapatkannya. Karena dalam SE itu ada beberapa poin yang tidak sesuai harapan kami, yaitu adanya pelimpahan wewenang kepada Pemda terhadap nilai dari plastik itu. Ini yang jadi polemik," katanya di Jakarta, Senin (3/10/2016).
(Baca: Pengusaha Minta Kebijakan Plastik Berbayar Tak Tebang Pilih)
Roy mengungkapkan, masing-masing daerah telah menginterpretasikan masing-masing mengenai kebijakan tersebut. Akibatnya, ada daerah yang menerapkan harga sebesar Rp1.500 sampai Rp5.000 per kantong.
"Bahkan ada yang sama sekali tidak mengizinkan kantong plastik ada di wilayahnya. Ini kan interpretasi yang tidak sesuai harapan dengan smangat awal. Ini yang membuat akhirnya masing-masing anggota kebingungan," imbuh dia.
Menurutnya, akibat interpretasi yang keliru tersebut kebijakan plastik berbayar menjadi berbeda di tiap kota. Padahal, ritel modern selama ini menerapkan harga berdasarkan sistem jejaring, di mana harga telah ditentukan di tingkat pusat.
"Ini yang kami sebut intervensi yang membuat ritel kita gundah. Kita jadi enggak fokus ke dagangan tapi malah bagaimana ngatur barang dagangan ini," akunya.
Intervensi lain, tambah Roy, peritel kerap dipanggil pihak berwajib untuk dimintai keterangan mengenai kebijakan kantong plastik berbayar. Padahal, kebijakan tersebut bukan atas inisiatif dari pengusaha melainkan dari pemerintah.
"Ini kan membuat persoalan baru. Di Palembang, kita dipanggil (kepolisian) yang bukan kaitan dengan dagangan. Dagang kan kita berkontribusi pajak, tenaga kerja, tapi harus memikirkan pesoalan yang bukan di perdagangan. Ini yang membuat anggota tidak bisa menerima dan melihat sebagai satu situasi yang harus kita biarkan," tandas Roy.
(izz)