Ekonomi Indonesia Masih Tergerus Kondisi Global
A
A
A
PEMERINTAHAN Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) genap berusia dua tahun pada bulan ini. Dalam perjalanannya, pemerintahan kabinet kerja ini memang dituntut untuk mampu meningkatkan ekonomi Tanah Air.
Pemerintahan Jokowi-JK menerima tongkat estafet pemerintahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono pada 2014. Kala itu, perekonomian Indonesia masih belum menunjukkan performa yang baik, lantaran limbungnya perekonomian global akibat krisis finansial di Amerika Serikat (AS) yang merembet ke berbagai negara di belahan dunia, termasuk Indonesia.
Dalam perjalannya selama dua tahun, pemerintahan Jokowi-JK telah menelurkan berbagai kebijakan demi membangkitkan kembali gairah ekonomi di Tanah Air. Lantas, bagaimana kondisi perekonomian Indonesia saat ini?
Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah sejatinya terus berusaha untuk memperbaiki kondisi perekonomian dalam negeri agar kembali bergairah. Namun, kondisi perekonomian global yang belum stabil mau tidak mau masih mengganggu jalan Indonesia untuk mewujudkan stabilitas perekonomian nasional.
"Yang harus diperbaiki itu ekonomi dunia. Ekonomi dunia yang terseok-seok sehingga kita terpengaruh," katanya di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (19/10/2016).
Terlepas dari hal itu, mantan Dirjen Pajak ini menyatakan bahwa Indonesia tidak bisa terus berpangku pada kondisi perekonomian global. Pertumbuhan ekonomi Indonesia harus merangkak naik meskipun hanya bergerak sedikit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2016 baru sekitar 5,1%.
"Kita tetap berusaha betul memperbaiki apa yang telah kita capai sekarang ini, sehingga sekarang kita ada di angka 5%. Kita ingin ke depan mulai naik. Apakah ekonomi dunia masih akan lambat atau tidak tapi kita akan berusaha untuk menambah perbaikan yang ada saat ini," imbuh dia.
Darmin menuturkan ada beberapa hal yang harus diperbaiki baik dari sisi konsumsi, investasi, dan ekspor. Ke depannya, pemerintah juga tidak akan menyelesaikan permasalahan secara parsial dan harus bersifat menyeluruh serta berdampak jangka menengah dan panjang.
"Ekspor kita walau tidak bisa berharap akan membaik tapi dalam situasi sekarang ini, perlambatan itu masih terjadi," ungkapnya.
Sementara dari sisi investasi, mantan Gubernur Bank Indonesia ini menilai bahwa saat ini relatif membaik. Hal ini seiring dengan berbagai program deregulasi yang dikeluarkan pemerintah, sehingga membuat pasar yakin untuk berinvestasi di Indonesia.
"Inflasi sudah cukup rendah, namun begitu kita tetap ingin membangun kebijakan jangka menengah soal pangan," tandasnya.
Jokowi yang menjabat sebagai presiden pada kuartal IV/2014 pun dituntut untuk menaikkan ekonomi. Namun, BPS mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV/2014 hanya 5,01%. Secara kumulatif angka tersebut melambat menjadi 5,02% pada 2014.
Kepala BPS yang saat itu masih dijabat Suryamin mengatakan, perlambatan pertumbuhan pada periode tersebut akibat perubahan tahun dasar penghitungan dari SNA2000 menjadi SNA2008 sesuai rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
"PDB 2014 dengan tahun dasar 2010 sebesar 5,02% secara kumulatif triwulan I-IV, sementara yoy, triwulan IV tumbuh 5,01%. Jika dilihat tren pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan sejak 2010," kata dia beberapa waktu lalu.
Dalam perjalanannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pun pada 2015 terus melambat. Di mana pada kuartal I/2015 hanya tumbuh 4,7%, kuartal II/2015 terus menurun yakni 4,67%, Kuartal III/2015 sebesar 4,73%, dan pada kuartal IV/2015 mampu tumbuh di angka 5,04%.
Meski pada kuartal IV/2015 mengalamai pertumbuhan di atas 5%, namun secara year on year (yoy) pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015 hanya tumbuh 4,79% atau melambat dibanding 2014 yang tumbuh sebesar 5,02%.
Melihat kondisi perekonomian dalam negeri yang kian melemah, pemerintah pun akhirnya meluncurkan paket kebijakan ekonomi dengan tujuan mendongkrak perekonomian Indonesia. Paket kebijakan ekonomi jilid pertama dikeluarkan pada 9 September 2015 dan hingga saat ini pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi sebanyak 13 jilid.
DPR pun menilai paket kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi tidak sejalan dengan industri yang dibangun di Indonesia saat ini. Komisi XI DPR RI melihat banyak kebijakan yang melenceng dari yang dibutuhkan Indonesia.
Padahal, Presiden Jokowi mencanangkan seluruh kebijakannya sebagian besar tertuju pada industri padat karya dan besar dalam bentuk insentif-insentif.
"Kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak sejalan dengan industri yang dibangun. Misalnya, kita mau mengarah industri pertanian. Tapi, yang kita bangun industri elektronik. Ini tidak mengena," kata Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Ahmad Hafidz Tohir di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa, 16 Agustus 2016.
Padahal, yang paling cepat menghasilkan uang itu pertanian. Indonesia adalah negara yang cocok untuk mengembangkan agronomi dibanding negara-negara agraris lainnya.
"Ini negara yang cocok untuk agronomi. Tapi kita impor cabai. Yang paling sedih itu singkong, masa kita impor," katanya.
Meski demikian, paket kebijakan ekonomi tampaknya sedikit menuai hasil. Hal ini setelah BPS mencatat pertumbuhan ekonomi di triwulan II/2016 sebesar 5,18% atau meningkat dibandingkan triwulan I/2016 yang sebesar 4,91% dan triwulan II/2015 sebesar 4,66%. Sehingga, jika dijumlah secara kumulatif di semester I 2016 yakni 5,04%.
Pemerintah memang sudah banyak mengeluarkan paket kebijakan ekonomi dan meski ekonomi mulai membaik, namun ekonomi Indonesia masih tergantung pada kondisi ekonomi global. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Bank Indonesia yang mengatakan bahwa saat ini kondisi ekonomi Indonesia baik dari sisi moneter maupun fiskal, masih sangat tergantung dengan kondisi ekonomi global.
Jika ekonomi global bergejolak, maka dampaknya akan terasa pada pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan, saat ini perkembangan ekonomi global masih belum sesuai harapan. Bahkan, beberapa pihak merevisi ke bawah target pertumbuhan ekonomi dunia.
"Pertumbuhan ekonomi dunia dibanding pada waktu estimasi di awal tahun, itu terjadi revisi ke bawah. Ekonomi AS revisi ke bawah, Eropa dan Jepang belum jalan, ekonomi China tidak melambat tapi masih lambat," katanya di Gedung BI, Jakarta, Kamis, 6 Oktober 2016.
Mirza menyebutkan, China yang sebelumnya mampu tumbuh 10% hingga 12%, namun kini hanya mampu bertengger di kisaran 6,3% hingga 6,5%. Perlambatan pertumbuhan yang terjadi di Negeri Tirai Bambu ini memengaruhi harga komoditas khususnya di sektor tambang dan perkebunan.
Sialnya, kata Mirza, 30% ekonomi Indonesia bergantung pada harga komoditas. Beberapa wilayah di Tanah Air, seperti Sumatera dan Kalimantan adalah penghasil produk dari komoditas pertambangan dan perkebunan.
"Sumatera itu 22% dari ekonomi Indonesia dan isinya di sana itu karet, batu bara dan CPO. Kalimantan 9% dari ekonomi Indonesia juga gitu," imbuh dia.
Sebab itu, perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode 2014-2015 banyak dipengaruhi perlambatan pertumbuhan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan.
"Jadi, kalau kita mau lihat prospek ekonomi dunia, kita harus lihat ekonomi China karena memengaruhi harga komoditas. Kalau sudah ada recovery, itu karena memang recovery di harga komoditas. Tapi bukan recovery yang melonjak signifikan, karena harga komoditas jatuh signifikan tapi recovery-nya slow dan very moderate," tandas Mirza.
Tak cukup hanya dengan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi dan kebijakan lainnya untuk mendongkran perekonomian dalam negeri, Jokowi kembali melakukan perombakan jajaran kementerian ekonomi. Dalam reshuffle ini, terdapat beberapa menteri bidang ekonomi yang dicopot dari jabatannya.
Mereka adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, Menteri Perindustrian Saleh Husin, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan, serta Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani.
Jokowi juga menggeser beberapa pos menteri, yaitu Menteri Keuangan yang sebelumnya ditempati oleh Bambang Brodjonegoro, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional yang sebelumnya ditempati oleh Sofyan Djalil, dan Menteri Perdagangan yang sebelumnya ditempati oleh Thomas Trikasih Lembong.
Jokowi mengatakan, perombakan kabinet untuk kali kedua ini dilakukan mengingat posisi Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang tidak ringan. Pemerintah harus menyelesaikan masalah kemiskinan, mengurangi kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin, serta mengurangi kesenjangan wilayah.
"Inilah masalah yang harus kita percepat penyelesaiannya. Kita harus memperkuat ekonomi nasional untuk menghadapi tantangan ekonomi global, ekonomi dunia yang sedang melambat dan sekaligus penuh persaingan penuh kompetisi," ujar Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 27 Juli 2016.
Jokowi pun memulangkan Sri Mulyani setelah sekian tahun menjabat sebagai Direktur dan Chief Operating Officer World Bank (Bank Dunia). Sri Mulyani kembali ditarik pemerintah untuk menempati jabatan sebagai menteri keuangan menggantikan Bambang Brodjonegoro.
Sri Mulyani pun langsung berjanji untuk berusaha keras meningkatkan ekonomi Tanah Air dan meningkatkan penerimaan negara, termasuk dari pajak. "Saya akan mendedikasikan semua upaya saya untuk mempercepat agenda pembangunan Indonesia dengan tujuan perbaikan layanan kepada orang miskin," ucapnya, Rabu, 27 Juli 2016.
Dia juga menegaskan akan memastikan bahwa semua warga negara akan berpartisipasi untuk membuat ekonomi RI semakin berkembang. Sri Mulyani harus meninggalkan Bank Dunia setelah enam tahun menjabat sebagai Direktur dan Chief Operating Officer.
"Jadi hak istimewa untuk mengawasi operasi lembaga ini yang sangat multilateral. Tidak seperti yang lain, kami (Bank Dunia) bersama lebih dari 180 negera berkomitmen bersama untuk mengakhiri kemiskinan dan berbagi kemakmuran," sambungnya.
"Saya akan tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip menghapus ketimpangan dan bekerja dengan mitra dunia untuk mengatasi tantangan besar," imbuh Menkeu.
Pemerintahan Jokowi-JK menerima tongkat estafet pemerintahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boediono pada 2014. Kala itu, perekonomian Indonesia masih belum menunjukkan performa yang baik, lantaran limbungnya perekonomian global akibat krisis finansial di Amerika Serikat (AS) yang merembet ke berbagai negara di belahan dunia, termasuk Indonesia.
Dalam perjalannya selama dua tahun, pemerintahan Jokowi-JK telah menelurkan berbagai kebijakan demi membangkitkan kembali gairah ekonomi di Tanah Air. Lantas, bagaimana kondisi perekonomian Indonesia saat ini?
Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah sejatinya terus berusaha untuk memperbaiki kondisi perekonomian dalam negeri agar kembali bergairah. Namun, kondisi perekonomian global yang belum stabil mau tidak mau masih mengganggu jalan Indonesia untuk mewujudkan stabilitas perekonomian nasional.
"Yang harus diperbaiki itu ekonomi dunia. Ekonomi dunia yang terseok-seok sehingga kita terpengaruh," katanya di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (19/10/2016).
Terlepas dari hal itu, mantan Dirjen Pajak ini menyatakan bahwa Indonesia tidak bisa terus berpangku pada kondisi perekonomian global. Pertumbuhan ekonomi Indonesia harus merangkak naik meskipun hanya bergerak sedikit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2016 baru sekitar 5,1%.
"Kita tetap berusaha betul memperbaiki apa yang telah kita capai sekarang ini, sehingga sekarang kita ada di angka 5%. Kita ingin ke depan mulai naik. Apakah ekonomi dunia masih akan lambat atau tidak tapi kita akan berusaha untuk menambah perbaikan yang ada saat ini," imbuh dia.
Darmin menuturkan ada beberapa hal yang harus diperbaiki baik dari sisi konsumsi, investasi, dan ekspor. Ke depannya, pemerintah juga tidak akan menyelesaikan permasalahan secara parsial dan harus bersifat menyeluruh serta berdampak jangka menengah dan panjang.
"Ekspor kita walau tidak bisa berharap akan membaik tapi dalam situasi sekarang ini, perlambatan itu masih terjadi," ungkapnya.
Sementara dari sisi investasi, mantan Gubernur Bank Indonesia ini menilai bahwa saat ini relatif membaik. Hal ini seiring dengan berbagai program deregulasi yang dikeluarkan pemerintah, sehingga membuat pasar yakin untuk berinvestasi di Indonesia.
"Inflasi sudah cukup rendah, namun begitu kita tetap ingin membangun kebijakan jangka menengah soal pangan," tandasnya.
Jokowi yang menjabat sebagai presiden pada kuartal IV/2014 pun dituntut untuk menaikkan ekonomi. Namun, BPS mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV/2014 hanya 5,01%. Secara kumulatif angka tersebut melambat menjadi 5,02% pada 2014.
Kepala BPS yang saat itu masih dijabat Suryamin mengatakan, perlambatan pertumbuhan pada periode tersebut akibat perubahan tahun dasar penghitungan dari SNA2000 menjadi SNA2008 sesuai rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
"PDB 2014 dengan tahun dasar 2010 sebesar 5,02% secara kumulatif triwulan I-IV, sementara yoy, triwulan IV tumbuh 5,01%. Jika dilihat tren pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan sejak 2010," kata dia beberapa waktu lalu.
Dalam perjalanannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pun pada 2015 terus melambat. Di mana pada kuartal I/2015 hanya tumbuh 4,7%, kuartal II/2015 terus menurun yakni 4,67%, Kuartal III/2015 sebesar 4,73%, dan pada kuartal IV/2015 mampu tumbuh di angka 5,04%.
Meski pada kuartal IV/2015 mengalamai pertumbuhan di atas 5%, namun secara year on year (yoy) pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015 hanya tumbuh 4,79% atau melambat dibanding 2014 yang tumbuh sebesar 5,02%.
Melihat kondisi perekonomian dalam negeri yang kian melemah, pemerintah pun akhirnya meluncurkan paket kebijakan ekonomi dengan tujuan mendongkrak perekonomian Indonesia. Paket kebijakan ekonomi jilid pertama dikeluarkan pada 9 September 2015 dan hingga saat ini pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi sebanyak 13 jilid.
DPR pun menilai paket kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi tidak sejalan dengan industri yang dibangun di Indonesia saat ini. Komisi XI DPR RI melihat banyak kebijakan yang melenceng dari yang dibutuhkan Indonesia.
Padahal, Presiden Jokowi mencanangkan seluruh kebijakannya sebagian besar tertuju pada industri padat karya dan besar dalam bentuk insentif-insentif.
"Kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak sejalan dengan industri yang dibangun. Misalnya, kita mau mengarah industri pertanian. Tapi, yang kita bangun industri elektronik. Ini tidak mengena," kata Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Ahmad Hafidz Tohir di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa, 16 Agustus 2016.
Padahal, yang paling cepat menghasilkan uang itu pertanian. Indonesia adalah negara yang cocok untuk mengembangkan agronomi dibanding negara-negara agraris lainnya.
"Ini negara yang cocok untuk agronomi. Tapi kita impor cabai. Yang paling sedih itu singkong, masa kita impor," katanya.
Meski demikian, paket kebijakan ekonomi tampaknya sedikit menuai hasil. Hal ini setelah BPS mencatat pertumbuhan ekonomi di triwulan II/2016 sebesar 5,18% atau meningkat dibandingkan triwulan I/2016 yang sebesar 4,91% dan triwulan II/2015 sebesar 4,66%. Sehingga, jika dijumlah secara kumulatif di semester I 2016 yakni 5,04%.
Pemerintah memang sudah banyak mengeluarkan paket kebijakan ekonomi dan meski ekonomi mulai membaik, namun ekonomi Indonesia masih tergantung pada kondisi ekonomi global. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Bank Indonesia yang mengatakan bahwa saat ini kondisi ekonomi Indonesia baik dari sisi moneter maupun fiskal, masih sangat tergantung dengan kondisi ekonomi global.
Jika ekonomi global bergejolak, maka dampaknya akan terasa pada pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan, saat ini perkembangan ekonomi global masih belum sesuai harapan. Bahkan, beberapa pihak merevisi ke bawah target pertumbuhan ekonomi dunia.
"Pertumbuhan ekonomi dunia dibanding pada waktu estimasi di awal tahun, itu terjadi revisi ke bawah. Ekonomi AS revisi ke bawah, Eropa dan Jepang belum jalan, ekonomi China tidak melambat tapi masih lambat," katanya di Gedung BI, Jakarta, Kamis, 6 Oktober 2016.
Mirza menyebutkan, China yang sebelumnya mampu tumbuh 10% hingga 12%, namun kini hanya mampu bertengger di kisaran 6,3% hingga 6,5%. Perlambatan pertumbuhan yang terjadi di Negeri Tirai Bambu ini memengaruhi harga komoditas khususnya di sektor tambang dan perkebunan.
Sialnya, kata Mirza, 30% ekonomi Indonesia bergantung pada harga komoditas. Beberapa wilayah di Tanah Air, seperti Sumatera dan Kalimantan adalah penghasil produk dari komoditas pertambangan dan perkebunan.
"Sumatera itu 22% dari ekonomi Indonesia dan isinya di sana itu karet, batu bara dan CPO. Kalimantan 9% dari ekonomi Indonesia juga gitu," imbuh dia.
Sebab itu, perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode 2014-2015 banyak dipengaruhi perlambatan pertumbuhan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan.
"Jadi, kalau kita mau lihat prospek ekonomi dunia, kita harus lihat ekonomi China karena memengaruhi harga komoditas. Kalau sudah ada recovery, itu karena memang recovery di harga komoditas. Tapi bukan recovery yang melonjak signifikan, karena harga komoditas jatuh signifikan tapi recovery-nya slow dan very moderate," tandas Mirza.
Tak cukup hanya dengan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi dan kebijakan lainnya untuk mendongkran perekonomian dalam negeri, Jokowi kembali melakukan perombakan jajaran kementerian ekonomi. Dalam reshuffle ini, terdapat beberapa menteri bidang ekonomi yang dicopot dari jabatannya.
Mereka adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, Menteri Perindustrian Saleh Husin, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan, serta Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani.
Jokowi juga menggeser beberapa pos menteri, yaitu Menteri Keuangan yang sebelumnya ditempati oleh Bambang Brodjonegoro, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional yang sebelumnya ditempati oleh Sofyan Djalil, dan Menteri Perdagangan yang sebelumnya ditempati oleh Thomas Trikasih Lembong.
Jokowi mengatakan, perombakan kabinet untuk kali kedua ini dilakukan mengingat posisi Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang tidak ringan. Pemerintah harus menyelesaikan masalah kemiskinan, mengurangi kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin, serta mengurangi kesenjangan wilayah.
"Inilah masalah yang harus kita percepat penyelesaiannya. Kita harus memperkuat ekonomi nasional untuk menghadapi tantangan ekonomi global, ekonomi dunia yang sedang melambat dan sekaligus penuh persaingan penuh kompetisi," ujar Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 27 Juli 2016.
Jokowi pun memulangkan Sri Mulyani setelah sekian tahun menjabat sebagai Direktur dan Chief Operating Officer World Bank (Bank Dunia). Sri Mulyani kembali ditarik pemerintah untuk menempati jabatan sebagai menteri keuangan menggantikan Bambang Brodjonegoro.
Sri Mulyani pun langsung berjanji untuk berusaha keras meningkatkan ekonomi Tanah Air dan meningkatkan penerimaan negara, termasuk dari pajak. "Saya akan mendedikasikan semua upaya saya untuk mempercepat agenda pembangunan Indonesia dengan tujuan perbaikan layanan kepada orang miskin," ucapnya, Rabu, 27 Juli 2016.
Dia juga menegaskan akan memastikan bahwa semua warga negara akan berpartisipasi untuk membuat ekonomi RI semakin berkembang. Sri Mulyani harus meninggalkan Bank Dunia setelah enam tahun menjabat sebagai Direktur dan Chief Operating Officer.
"Jadi hak istimewa untuk mengawasi operasi lembaga ini yang sangat multilateral. Tidak seperti yang lain, kami (Bank Dunia) bersama lebih dari 180 negera berkomitmen bersama untuk mengakhiri kemiskinan dan berbagi kemakmuran," sambungnya.
"Saya akan tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip menghapus ketimpangan dan bekerja dengan mitra dunia untuk mengatasi tantangan besar," imbuh Menkeu.
(izz)