LPS Ungkap Ada 14 BPR yang Dilikuidasi
A
A
A
YOGYAKARTA - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengungkapkan, masih ada 14 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia yang sedang dalam penyelesaian likuidasi dari LPS. Sebanyak 14 BPR tersebut dilikuidasi LPS lantaran terjadi permasalahan dalam menjalankan bisnis mereka.
LPS melikuidasi 14 BPR tersebut setelah mendapatkan limpahan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK. Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan mengatakan, hingga Oktober 2016, pihaknya telah melikuidasi setidaknya 75 bank, masing-masing 74 BPR dan satu bank umum.
LPS harus mengeluarkan Rp1,310 triliun untuk mengganti uang nasabah yang disimpan di 75 bank yang telah dilikuidasi tersebut. Beberapa permasalahan diduga menjadi penyebab 75 bank tersebut kolaps.
"Tugas kami memang menjamin simpanan. Sehingga uang yang disimpan di bank yang dilikuidasi kami ganti," terangnya saat workshop LPS bekerja sama dengan World Bank di Hotel Hyatt Yogyakarta, Selasa
(15/11/2016).
LPS mencatat setidaknya ada 78% uang nasabah yang disimpan dalam rekening 75 bank tersebut layak untuk dibayar dan sisanya 22% tidak layak untuk diganti. Simpanan-simpanan tersebut dianggap layak diganti jika memenuhi ketentuan yang diberlakukan LPS, di antaranya simpanan dalam bunga wajar, simpanan tercatat serta dana tersebut tidak terlibat dalam salah satu faktor penyebab ambruknya bank yang dilikuidasi.
Sampai saat ini, belum semua uang pengganti simpanan nasabah bank yang dilikuidasi diambil pemiliknya. Berdasarkan data yang dimiliki LPS, sekitar Rp310 miliar uang nasabah bank yang dilikuidasi belum diambil, dan Rp809 miliar sudah diambil pemiliknya.
Sementara, uang yang belum diambil tersebut masih dalam proses penyelesaian, dan dari 75 bank yang dilikuidasi belum semuanya diselesaikan LPS.
Masih ada sekitar 14 BPR yang menunggu proses penyelesaian likuidasi yang dilakukan LPS. Tidak menutup kemungkinan nanti akan ada bank-bank lain yang dilikuidasi LPS, namun semuanya tergantung dari OJK selaku pembina perbankan.
Menurutnya, BPR selama ini mendominasi bank yang dilikuidasi LPS sebagian besar karena fraud. Fraud tersebut biasanya terjadi karena adanya penyelewengan yang dilakukan pemilik BPR ataupun pihak manajemen.
Ketiadaan dewan pengawas BPR memang memungkinkan jalannya BPR tidak terkontrol sehingga berpotensi melakukan penyelewengan. Meski sudah menggelontorkan dana sekitar Rp1,310 triliun untuk mengganti uang nasabah dari bank yang dilikuidasi, tetapi Fauzi menandaskan tidak mengganggu eksistensi LPS.
Hal tersebut dikarenakan sampai saat ini aset yang dimiliki LPS telah mencapai Rp72 triliun. Jumlah Rp72 triliun tersebut mereka dapat dari pemerintah Rp4 miliar dan sisanya penghimpunan premi dari perbankan. "Per tahun preminya bisa mencapai Rp8 triliun," ungkapnya.
Corporate Secretary LPS, Samsu Adi Nugroho menambahkan, LPS memang memiliki tugas utama untuk menjamin simpanan nasabah di perbankan. Untuk meningkatkan kemampuan mereka, LPS menggandeng FDIC (LPS Amerika Serikat) melalui fasilitasi Bank Dunia.
Selama beberapa hari ini, LPS melakukan workshop bersama dengan FDIC dan dihadiri Bank Indonesia, World Bank, Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawas Keuangan & Pembangunan.
LPS melikuidasi 14 BPR tersebut setelah mendapatkan limpahan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK. Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan mengatakan, hingga Oktober 2016, pihaknya telah melikuidasi setidaknya 75 bank, masing-masing 74 BPR dan satu bank umum.
LPS harus mengeluarkan Rp1,310 triliun untuk mengganti uang nasabah yang disimpan di 75 bank yang telah dilikuidasi tersebut. Beberapa permasalahan diduga menjadi penyebab 75 bank tersebut kolaps.
"Tugas kami memang menjamin simpanan. Sehingga uang yang disimpan di bank yang dilikuidasi kami ganti," terangnya saat workshop LPS bekerja sama dengan World Bank di Hotel Hyatt Yogyakarta, Selasa
(15/11/2016).
LPS mencatat setidaknya ada 78% uang nasabah yang disimpan dalam rekening 75 bank tersebut layak untuk dibayar dan sisanya 22% tidak layak untuk diganti. Simpanan-simpanan tersebut dianggap layak diganti jika memenuhi ketentuan yang diberlakukan LPS, di antaranya simpanan dalam bunga wajar, simpanan tercatat serta dana tersebut tidak terlibat dalam salah satu faktor penyebab ambruknya bank yang dilikuidasi.
Sampai saat ini, belum semua uang pengganti simpanan nasabah bank yang dilikuidasi diambil pemiliknya. Berdasarkan data yang dimiliki LPS, sekitar Rp310 miliar uang nasabah bank yang dilikuidasi belum diambil, dan Rp809 miliar sudah diambil pemiliknya.
Sementara, uang yang belum diambil tersebut masih dalam proses penyelesaian, dan dari 75 bank yang dilikuidasi belum semuanya diselesaikan LPS.
Masih ada sekitar 14 BPR yang menunggu proses penyelesaian likuidasi yang dilakukan LPS. Tidak menutup kemungkinan nanti akan ada bank-bank lain yang dilikuidasi LPS, namun semuanya tergantung dari OJK selaku pembina perbankan.
Menurutnya, BPR selama ini mendominasi bank yang dilikuidasi LPS sebagian besar karena fraud. Fraud tersebut biasanya terjadi karena adanya penyelewengan yang dilakukan pemilik BPR ataupun pihak manajemen.
Ketiadaan dewan pengawas BPR memang memungkinkan jalannya BPR tidak terkontrol sehingga berpotensi melakukan penyelewengan. Meski sudah menggelontorkan dana sekitar Rp1,310 triliun untuk mengganti uang nasabah dari bank yang dilikuidasi, tetapi Fauzi menandaskan tidak mengganggu eksistensi LPS.
Hal tersebut dikarenakan sampai saat ini aset yang dimiliki LPS telah mencapai Rp72 triliun. Jumlah Rp72 triliun tersebut mereka dapat dari pemerintah Rp4 miliar dan sisanya penghimpunan premi dari perbankan. "Per tahun preminya bisa mencapai Rp8 triliun," ungkapnya.
Corporate Secretary LPS, Samsu Adi Nugroho menambahkan, LPS memang memiliki tugas utama untuk menjamin simpanan nasabah di perbankan. Untuk meningkatkan kemampuan mereka, LPS menggandeng FDIC (LPS Amerika Serikat) melalui fasilitasi Bank Dunia.
Selama beberapa hari ini, LPS melakukan workshop bersama dengan FDIC dan dihadiri Bank Indonesia, World Bank, Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawas Keuangan & Pembangunan.
(izz)