Tiga Kendala Utama Dalam Program Sejuta Rumah

Jum'at, 12 Mei 2017 - 18:45 WIB
Tiga Kendala Utama Dalam Program Sejuta Rumah
Tiga Kendala Utama Dalam Program Sejuta Rumah
A A A
JAKARTA - Sudah dua tahun tepatnya 26 April 2017, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mencanangkan Program Sejuta Rumah (PSR). Kebijakan ini dikeluarkan guna meningkatkan penyediaan dan keterjangkauan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) agar memiliki rumah.

Seiring berjalannya waktu, Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) mencatat ada dua kendala utama dalam pembangunan PSR selama ini. Ketua Umum DPP REI Soelaeman Soemawinata mengatakan, secara umum program ini sudah berjalan baik, dimana ada peningkatan penyediaan rumah rakyat, baik yang dilakukan pemerintah dan pengembang swasta.

Namun, Eman-pria tersebut akrab disapa-mencatat ada dua kendala utama di lapangan sehingga perlu ditangani segera agar PSR berjalan dengan baik. “Persoalan utama pengembangan sejuta rumah adalah ketersediaan lahan,” ujarnya kepada SINDOnews, Jumat (12/5/2017).

Konsep sejuta rumah pada awalnya pun seperti cek kosong. Artinya pengembang dari sisi suplai diminta mencari tanah sendiri untuk dibangun rumah subsidi. Lahan pun dibeli secara sporadis, sehingga lokasi rumah FLPP sering berada jauh dari pusat kota atau konsentrasi pasar masyarakat yang membutuhkan.

Eman pun mencontohkan kasus di Kota Semarang, Jawa Tengah, dan di Serang, Banten, dimana rumah untuk MBR dibangun jauh dari tempat masyarakat bekerja. Kondisi serupa banyak terjadi hampir semua daerah di Indonesia. Alhasil antara pasokan dan permintaan menjadi tidak sinkron.

“Ini persoalan yang sampai sekarang masih berjalan, karena harga tanah terus meningkat dan sulit sekali dikontrol, sehingga pasokan menjauh dari kebutuhan. Pemerintah perlu turun tangan dalam penyediaan atau pengendalian harga tanah untuk rumah subsidi,” papar Eman.

Sisi lain, harga jual rumah FLPP rata-rata naik 5% setiap tahun. Kenaikan tersebut dipicu pertumbuhan ekonomi daerah, harga tanah, laju inflasi, dan kemahalan konstruksi di setiap daerah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, REI menilai perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap harga jual rumah FLPP, baik dari sisi besaran maupun tingkat kenaikan berdasarkan kondisi di masing-masing daerah.

Sebagai contoh batasan harga jual rumah FLPP di Provinsi Sumatra Barat pada 2017 adalah sebesar Rp123 juta per unit. Harga tersebut, menurut REI, tidak realistis diberlakukan di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang lokasinya berada jauh dari daratan Pulau Sumatra. Sehingga biaya konstruksi lebih mahal dibanding kabupaten atau kota lain di Sumatra Barat.

“Kami menilai perlu ada zonasi khusus perumahan subsidi terutama untuk daerah-daerah pulau, apalagi yang berada di pulau terluar seperti Mentawai,” rinci Eman.

Persoalan kedua adalah keterjangkauan masyarakat. REI menyoroti harga cicilan rumah subsidi di sejumlah provinsi yang belum ideal, yakni di atas 40% dari penghasilan Upah Minimum Provinsi (UMP). Beberapa provinsi dimaksud antara lain Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Eman memberi contoh di NTT, besaran UMP masih Rp1,5 juta per bulan, dengan harga rumah FLPP Rp130 jutaan, terjadi gap kemampuan masyarakat untuk mencicil sekitar Rp200 ribu-Rp300 ribu karena cicilan rumah ditentukan adalah sepertiga dari penghasilan.

Masalah lagi, REI melihat sebagian besar yang menyerap subsidi FLPP adalah pekerja swasta yakni hampir 74%. Sementara PNS dan TNI/Polri masih kecil sekali. Padahal dari informasi yang diperoleh, ada 150 ribu personel Polri dan 990 ribu PNS di seluruh Indonesia belum memiliki rumah. Menurut Eman, sebagian besar kelompok aparatur ini tidak lolos proses BI Checking karena memiliki berbagai kredit konsumtif.

REI akan mengirimkan surat ke Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) supaya BI Checking ini bisa diperlonggar supaya lebih banyak PNS yang bisa memiliki rumah. “Karena begini, yang selama ini diperhitungkan bank hanya gaji pokok, padahal PNS biasa memiliki tunjangan lain tetapi tidak diperhitungkan. Mungkin itu bisa jadi pertimbangan,” kata dia.

Persoalan utama ketiga yang masih menjadi hambatan serius Program Sejuta Rumah adalah maslaah perizinan. Meski Peraturan Pemerintah No 64/2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Surat Edaran Mendagri mengenai penyederhanaan perizinan rumah MBR sudah dikeluarkan, namun di daerah belum berjalan.

Sebagian besar bupati dan walikota, ungkap Eman, belum merespons positif kebijakan tersebut. Ini sekaligus memperlihatkan kalau masalah perumahan belum menjadi persoalan strategis di daerah. Sebagai garda terdepan dalam mendukung program sejuta rumah, REI pada tahun ini menargetkan pembangunan 210 ribu unit rumah subsidi di seluruh Indonesia.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6066 seconds (0.1#10.140)