Tom Lembong Ingin Hilangkan Ketergantungan RI dengan USD
A
A
A
JAKARTA - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menyatakan, Indonesia perlu menghilangkan ketergantungan dengan dolar Amerika Serikat (USD). Salah satunya, dengan menerima lebih banyak transaksi dari mata uang negara lain.
Pasalnya, kata dia, ketergantungan nilai tukar rupiah terhadap USD menimbulkan risiko pada kondisi perekonomian di Tanah Air. Khususnya, saat mata uang negeri Paman Sam tersebut tengah mengalami penguatan.
"Saya melihat tahun lalu Trump terpilih jadi Presiden AS dan tiba-tiba ada optimisme luar biasa, di sana dia akan menggenjot perekonomian. Dolar menguat terus kita tertekan. Tiba-tiba tahun ini kita dapat lucky dip, kita mujur dan Washington ternyata tidak sedinamis seperti yang dibayangkan. Jadi kita lega dolar melemah, rupiah kita tidak tertekan. Tapi saya tetap melihat ada resiko," ujarnya dalam acara Rakornas Kadin, Jakarta, Selasa (3/10/2017).
Menurutnya, saat ini AS tengah mengembangkan inovasi di bidang digital. Jika hal tersebut mampu meningkatkan pertumbuhan ekonominya, maka bank sentral AS berpotensi kembali menaikkan tingkat suku bunganya (The Fed) dan USD semakin perkasa.
"Dan kita klepek-klepek. Antisipasi kurangi itu ya kita beralih ke mata uang yang lain misal yen. Kalau kita memulai coba main di renmimbi yang sudah resmiin, jadi salah satu mata uang global oleh IMF. Ini tidak hanya mengelola resiko tetapi kurangi ketergantungan pada dolar," imbuh dia.
Adapun transaksi yang bisa dilakukan dengan mata uang dari negara lain adalah transaksi wisatawan mancanegara (wisman) yang tengah melancong ke Indonesia. Misalnya, jika toko-toko yang ada di Bali bisa menerima transaksi dengan mata uang negara lain maka wisman akan merasa nyaman dan pengeluaran diyakini akan jauh lebih besar.
"Pengusaha yang punya vila, toko, restoran di Bali mungkin bisa menerima transaksi dengan mata uang asing asal wisatawannya sehingga bisa membuat mereka lebih lancar spendingnya dan nyaman. Ini kan sebenarnya sudah biasa. Kita juga bisa menerapkan ke klien kita misal yang beli CPO bisa bayar pake yen atau yuan. Pelan-pelan kita bisa menerbitkan instrumen investasi tidak harus dengan dolar. Bisa pakai Euro," tuturnya.
Dia menilai, cara tersebut akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap dolar AS. Dengan demikian, ekonomi Indonesia juga diharapkan lebih stabil dan tidak selalu terpengaruh pada kebijakan ekonomi AS.
"Jadi menurut saya ini salah satu hal yg bisa kita lakukan untuk mengurangi ketegangan dan ketergantungan akan dolar dan bisa membuat investor Eropa, Jepang dan China lebih nyaman," pungkasnya.
Pasalnya, kata dia, ketergantungan nilai tukar rupiah terhadap USD menimbulkan risiko pada kondisi perekonomian di Tanah Air. Khususnya, saat mata uang negeri Paman Sam tersebut tengah mengalami penguatan.
"Saya melihat tahun lalu Trump terpilih jadi Presiden AS dan tiba-tiba ada optimisme luar biasa, di sana dia akan menggenjot perekonomian. Dolar menguat terus kita tertekan. Tiba-tiba tahun ini kita dapat lucky dip, kita mujur dan Washington ternyata tidak sedinamis seperti yang dibayangkan. Jadi kita lega dolar melemah, rupiah kita tidak tertekan. Tapi saya tetap melihat ada resiko," ujarnya dalam acara Rakornas Kadin, Jakarta, Selasa (3/10/2017).
Menurutnya, saat ini AS tengah mengembangkan inovasi di bidang digital. Jika hal tersebut mampu meningkatkan pertumbuhan ekonominya, maka bank sentral AS berpotensi kembali menaikkan tingkat suku bunganya (The Fed) dan USD semakin perkasa.
"Dan kita klepek-klepek. Antisipasi kurangi itu ya kita beralih ke mata uang yang lain misal yen. Kalau kita memulai coba main di renmimbi yang sudah resmiin, jadi salah satu mata uang global oleh IMF. Ini tidak hanya mengelola resiko tetapi kurangi ketergantungan pada dolar," imbuh dia.
Adapun transaksi yang bisa dilakukan dengan mata uang dari negara lain adalah transaksi wisatawan mancanegara (wisman) yang tengah melancong ke Indonesia. Misalnya, jika toko-toko yang ada di Bali bisa menerima transaksi dengan mata uang negara lain maka wisman akan merasa nyaman dan pengeluaran diyakini akan jauh lebih besar.
"Pengusaha yang punya vila, toko, restoran di Bali mungkin bisa menerima transaksi dengan mata uang asing asal wisatawannya sehingga bisa membuat mereka lebih lancar spendingnya dan nyaman. Ini kan sebenarnya sudah biasa. Kita juga bisa menerapkan ke klien kita misal yang beli CPO bisa bayar pake yen atau yuan. Pelan-pelan kita bisa menerbitkan instrumen investasi tidak harus dengan dolar. Bisa pakai Euro," tuturnya.
Dia menilai, cara tersebut akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap dolar AS. Dengan demikian, ekonomi Indonesia juga diharapkan lebih stabil dan tidak selalu terpengaruh pada kebijakan ekonomi AS.
"Jadi menurut saya ini salah satu hal yg bisa kita lakukan untuk mengurangi ketegangan dan ketergantungan akan dolar dan bisa membuat investor Eropa, Jepang dan China lebih nyaman," pungkasnya.
(akr)