Mengenal Jerome Powell, Pilihan Trump untuk Bos The Fed
A
A
A
WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat Donald John Trump pada Kamis waktu AS mengumumkan Jerome Hayden Powell atau biasa dipanggil Jay Powell sebagai pengganti Janet Yellen, sebagai Ketua The Federal Reserve, bank sentral Negeri Paman Sam. Yellen sendiri segera pensiun di Februari 2018.
Powell akhirnya menyisihkan kandidat lain, yaitu ekonom Universitas Stanford John Taylor, mantan gubernur The Fed Kevin Warsh, dan Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS Gary Cohn.
Mengutip dari Washington Post, Jumat (3/11/2017), Powell merupakan orang dari Partai Republik, sama dengan partainya Trump. Ia merupakan mantan eksekutif di Carlyle Group, salah satu lembaga keuangan yang bermarkas di Washington.
Setelah keluar dari Carlyle, alumnus Princeton University itu pada 2010 masuk ke Pusat Kebijakan Bipartisan, sebuah lembaga think tank di Washington. Pada 25 Mei 2012, ia diminta oleh Barack Obama untuk menjadi anggota Dewan Gubernur Federal Reserve. "Jadi dia adalah orang yang tepat di saat yang tepat," ujar Jason Grumet, presiden Pusat Kebijakan Bipartisan mengomentari penunjukan Powell.
Menurut Jason, Powell akan membawa sebuah presentasi yang faktual ke Capitol Hill yang memungkinkannya menjadi efektif. Dan hal ini dianggap tepat untuk memimpin puncak ekonomi Amerika Serikat.
Pria kelahiran Washington DC pada 4 Februari 1953 ini, dipercaya akan bisa menyetir The Fed. Meski sejatinya Powell seorang pengacara bukan ekonom PhD seperti Yellen dan dua pemegang jabatan sebelumnya: Ben Bernanke dan Alan Greenspan. Tetapi rekan-rekannya di The Fed mengatakan dia orang yang cepat belajar.
"Ketika dia muncul di The Fed, pada dasarnya dia tidak tahu banyak tentang makroekonomi atau kebijakan moneter," kata Kepala Ekonom UBS Seth Carpenter, yang menghabiskan 15 tahun di The Fed. Namun, lanjut Seth, Powell dengan sadar menghabiskan banyak waktu bersama staf dan kolega untuk belajar sedalam dan setulus mungkin.
Selain latar belakangnya bukan ahli ekonomi, Powell juga diragukan karena ia seorang pengusaha. Selama di Carlyle, ia memperluas kekayaannya. Situs Wikipedia mencatat kekayaan bersihnya antara USD19,7 juta hingga USD55 juta. Powell yang akan menjadi Bos The Fed terkaya sejak bankir Marriner Eccles yang memegang jabatan The Fed 1934-1948.
Soal ini, mantan Presiden Federal Reserve Bank of Dallas, Richard Fisher menilai meski Powell orang yang kaya, tapi dirinya orang yang sabar. "Saya tidak pernah melihatnya kehilangan kesabaran. Bahkan Jay tidak mempromosikan dirinya untuk meraih jabatan seperti yang dilakukan banyak orang di Washington," tuturnya.
Karena sifatnya yang "kalem", menurut CNBC, pasar menilai Powell sebagai pemimpin yang "membosankan" bagi pelaku pasar di Wall Street. Beberapa kalangan menilainya cenderung tunduk pada kepentingan bank-bank besar.
Meski ada keraguan, namun sosok Powell dianggap tepat bagi kebijakan Trump, menurut dua orang yang mengetahui pemikiran sang presiden. Karena Powell merupakan seorang dovish seperti halnya Yellen, yaitu tidak agresif untuk menaikkan suku bunga terlalu cepat. Berbeda dengan Taylor dan Warsh yang keras mengkritik kebijakan suku bunga rendah The Fed. Hasrat menaikkan suku bunga lebih cepat berpotensi membatasi reli pasar.
Tentu saja Trump tidak mau mengambil risiko itu. Powell secara luas diperkirakan akan mempertahankan taktik Yellen, meskipun dengan sedikit sentuhan Wall Street. Dan hal lain yang disukai Trump dari Powell yaitu terbuka untuk perubahan peraturan alias deregulasi. "Dia bukan tipe orang yang akan segera mengerahkan dirinya. Powell memiliki latar belakang pasar, yang dibutuhkan di The Fed," kata Fisher.
Kursi The Fed sendiri memainkan tiga peran utama: menetapkan kebijakan moneter (suku bunga), mengawasi peraturan bank, dan menjadi wajah publik institusi tersebut.
Powell akhirnya menyisihkan kandidat lain, yaitu ekonom Universitas Stanford John Taylor, mantan gubernur The Fed Kevin Warsh, dan Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS Gary Cohn.
Mengutip dari Washington Post, Jumat (3/11/2017), Powell merupakan orang dari Partai Republik, sama dengan partainya Trump. Ia merupakan mantan eksekutif di Carlyle Group, salah satu lembaga keuangan yang bermarkas di Washington.
Setelah keluar dari Carlyle, alumnus Princeton University itu pada 2010 masuk ke Pusat Kebijakan Bipartisan, sebuah lembaga think tank di Washington. Pada 25 Mei 2012, ia diminta oleh Barack Obama untuk menjadi anggota Dewan Gubernur Federal Reserve. "Jadi dia adalah orang yang tepat di saat yang tepat," ujar Jason Grumet, presiden Pusat Kebijakan Bipartisan mengomentari penunjukan Powell.
Menurut Jason, Powell akan membawa sebuah presentasi yang faktual ke Capitol Hill yang memungkinkannya menjadi efektif. Dan hal ini dianggap tepat untuk memimpin puncak ekonomi Amerika Serikat.
Pria kelahiran Washington DC pada 4 Februari 1953 ini, dipercaya akan bisa menyetir The Fed. Meski sejatinya Powell seorang pengacara bukan ekonom PhD seperti Yellen dan dua pemegang jabatan sebelumnya: Ben Bernanke dan Alan Greenspan. Tetapi rekan-rekannya di The Fed mengatakan dia orang yang cepat belajar.
"Ketika dia muncul di The Fed, pada dasarnya dia tidak tahu banyak tentang makroekonomi atau kebijakan moneter," kata Kepala Ekonom UBS Seth Carpenter, yang menghabiskan 15 tahun di The Fed. Namun, lanjut Seth, Powell dengan sadar menghabiskan banyak waktu bersama staf dan kolega untuk belajar sedalam dan setulus mungkin.
Selain latar belakangnya bukan ahli ekonomi, Powell juga diragukan karena ia seorang pengusaha. Selama di Carlyle, ia memperluas kekayaannya. Situs Wikipedia mencatat kekayaan bersihnya antara USD19,7 juta hingga USD55 juta. Powell yang akan menjadi Bos The Fed terkaya sejak bankir Marriner Eccles yang memegang jabatan The Fed 1934-1948.
Soal ini, mantan Presiden Federal Reserve Bank of Dallas, Richard Fisher menilai meski Powell orang yang kaya, tapi dirinya orang yang sabar. "Saya tidak pernah melihatnya kehilangan kesabaran. Bahkan Jay tidak mempromosikan dirinya untuk meraih jabatan seperti yang dilakukan banyak orang di Washington," tuturnya.
Karena sifatnya yang "kalem", menurut CNBC, pasar menilai Powell sebagai pemimpin yang "membosankan" bagi pelaku pasar di Wall Street. Beberapa kalangan menilainya cenderung tunduk pada kepentingan bank-bank besar.
Meski ada keraguan, namun sosok Powell dianggap tepat bagi kebijakan Trump, menurut dua orang yang mengetahui pemikiran sang presiden. Karena Powell merupakan seorang dovish seperti halnya Yellen, yaitu tidak agresif untuk menaikkan suku bunga terlalu cepat. Berbeda dengan Taylor dan Warsh yang keras mengkritik kebijakan suku bunga rendah The Fed. Hasrat menaikkan suku bunga lebih cepat berpotensi membatasi reli pasar.
Tentu saja Trump tidak mau mengambil risiko itu. Powell secara luas diperkirakan akan mempertahankan taktik Yellen, meskipun dengan sedikit sentuhan Wall Street. Dan hal lain yang disukai Trump dari Powell yaitu terbuka untuk perubahan peraturan alias deregulasi. "Dia bukan tipe orang yang akan segera mengerahkan dirinya. Powell memiliki latar belakang pasar, yang dibutuhkan di The Fed," kata Fisher.
Kursi The Fed sendiri memainkan tiga peran utama: menetapkan kebijakan moneter (suku bunga), mengawasi peraturan bank, dan menjadi wajah publik institusi tersebut.
(ven)