Holding Pertambangan Dinilai Munculkan Tiga Masalah Krusial
A
A
A
JAKARTA - Pro-kontra pembentukan induk usaha (holding) BUMN di sektor pertambangan semakin mengemuka. Hal ini seiring rencana pemerintah mengelar Rapat Umum Pemegang saham Luar Biasa yang akan menghapus status persero PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, PT Timah (Persero) Tbk, dan PT Bukit Asam (Persero) Tbk pada 29 November 2017.
Pengamat hukum sumber daya alam dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi berpendapat, pembentukan holding BUMN pertambangan berpotensi memunculkan sedikitnya tiga masalah krusial. Pertama, dengan dihapusnya status persero pada tiga BUMN tadi maka upaya intervensi pemerintah dan pengawasan DPR akan berkurang. Ketentuan ini tertuang dalam Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
"Walaupun dalam keterangannya pemerintah mengklaim negara masih memiliki peran dalam pengawasan, tapi jelas upaya tadi tidak akan bisa secara langsung atau bakal bertingkat. Ini karena kepemilikan saham Antam, Timah dan Bukit Asam akan berada di bawah Inalum lantaran status persero mereka telah dihapus," ungkap Redi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (16/11/2017).
Kedua, lanjut Redi, masalah lain yang berpotensi muncul adalah masuknya sejumlah kepentingan seiring dengan perubahan status tiga BUMN tadi. "Ini berpotensi menjadi lahan baru dan memunculkan praktik mafia pertambangan baru. Padahal saat ini pengawasan atas tiga BUMN tadi terbilang ketat, karena diawasi pemerintah, DPR dan investor, karena ketiganya juga emiten di pasar modal," imbuh Redi.
Adapun masalah ketiga yang juga berpotensi timbul akibat pelaksanaan konsep BUMN pertambangan berangkat dari menurunnya kontrol rakyat terhadap kinerja keuangan ketiga BUMN tersebut. Berangkat dari situ, Redi mendesak pemerintah menghitung ulang untung-rugi dari wacana pembentukan holding BUMN pertambangan.
"Apalagi saat ini kinerja Antam dan Bukit Asam sedang bagus. Sebenarnya muara dari masalah holding BUMN itu ada di PP 72/2016. Aturan ini jelas berbahaya bagi perusahaan negara karena rakyat bisa kehilangan perusahaan yang potensial," tandasnya.
Terpisah, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno dalam keterangan tertulisnya mengatakan, pembentukan holding BUMN pertambangan diharap memberikan manfaat bagi seluruh pemangku kepentingan dengan terciptanya BUMN industri pertambangan dengan skala usaha yang lebih besar, sehingga mampu bersaing dalam skala regional.
"Sinergi BUMN pertambangan ini juga diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dan kekuatan finansial sehingga memudahkan pengembangan usaha khususnya di bidang hilirisasi," imbuhnya.
Dia menegaskan, meski berubah statusnya, ketiga anggota holding itu tetap diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal-hal yang sifatnya strategis, sehingga negara tetap memiliki kontrol terhadap ketiganya, baik secara langsung melalui saham dwiwarna, maupun tidak langsung melalui PT Inalum (Persero) yang 100% sahamnya dimiliki negara.
“Segala hal strategis yang dilakukan oleh perusahaan anggota holding, semua tetap dalam kontrol negara sama dengan sebelum menjadi anggota holding, termasuk yang terkait hubungan dengan DPR apabila akan diprivatisasi,” tambah Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Hambra.
Pengamat hukum sumber daya alam dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi berpendapat, pembentukan holding BUMN pertambangan berpotensi memunculkan sedikitnya tiga masalah krusial. Pertama, dengan dihapusnya status persero pada tiga BUMN tadi maka upaya intervensi pemerintah dan pengawasan DPR akan berkurang. Ketentuan ini tertuang dalam Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
"Walaupun dalam keterangannya pemerintah mengklaim negara masih memiliki peran dalam pengawasan, tapi jelas upaya tadi tidak akan bisa secara langsung atau bakal bertingkat. Ini karena kepemilikan saham Antam, Timah dan Bukit Asam akan berada di bawah Inalum lantaran status persero mereka telah dihapus," ungkap Redi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (16/11/2017).
Kedua, lanjut Redi, masalah lain yang berpotensi muncul adalah masuknya sejumlah kepentingan seiring dengan perubahan status tiga BUMN tadi. "Ini berpotensi menjadi lahan baru dan memunculkan praktik mafia pertambangan baru. Padahal saat ini pengawasan atas tiga BUMN tadi terbilang ketat, karena diawasi pemerintah, DPR dan investor, karena ketiganya juga emiten di pasar modal," imbuh Redi.
Adapun masalah ketiga yang juga berpotensi timbul akibat pelaksanaan konsep BUMN pertambangan berangkat dari menurunnya kontrol rakyat terhadap kinerja keuangan ketiga BUMN tersebut. Berangkat dari situ, Redi mendesak pemerintah menghitung ulang untung-rugi dari wacana pembentukan holding BUMN pertambangan.
"Apalagi saat ini kinerja Antam dan Bukit Asam sedang bagus. Sebenarnya muara dari masalah holding BUMN itu ada di PP 72/2016. Aturan ini jelas berbahaya bagi perusahaan negara karena rakyat bisa kehilangan perusahaan yang potensial," tandasnya.
Terpisah, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno dalam keterangan tertulisnya mengatakan, pembentukan holding BUMN pertambangan diharap memberikan manfaat bagi seluruh pemangku kepentingan dengan terciptanya BUMN industri pertambangan dengan skala usaha yang lebih besar, sehingga mampu bersaing dalam skala regional.
"Sinergi BUMN pertambangan ini juga diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dan kekuatan finansial sehingga memudahkan pengembangan usaha khususnya di bidang hilirisasi," imbuhnya.
Dia menegaskan, meski berubah statusnya, ketiga anggota holding itu tetap diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal-hal yang sifatnya strategis, sehingga negara tetap memiliki kontrol terhadap ketiganya, baik secara langsung melalui saham dwiwarna, maupun tidak langsung melalui PT Inalum (Persero) yang 100% sahamnya dimiliki negara.
“Segala hal strategis yang dilakukan oleh perusahaan anggota holding, semua tetap dalam kontrol negara sama dengan sebelum menjadi anggota holding, termasuk yang terkait hubungan dengan DPR apabila akan diprivatisasi,” tambah Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Hambra.
(fjo)