Badan Ketahanan Pangan-WFP Perbarui Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
A
A
A
JAKARTA - Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi melakukan penandatanganan Project Document (Prodoc) dengan World Food Programe (WFP) Representative and Country Director for Indonesia, Anthea Webb. Prodoc dituangkan dalam proposal bersama berjudul “Mendukung Pemerintah Indonesia untuk Mengumpulkan dan Menganalisa Data tentang Ketahanan Pangan dan Gizi Guna Optimalisasi Kebijakan serta Program”. Kerja sama dilakukan dalam kurun waktu 2017-2020.
"Kerja sama dengan WFP bertujuan untuk menguatkan kembali peta daerah tahan dan rentan rawan pangan di Indonesia," kata Agung menjelaskan kepada media seusai penandatanganan yang dilakukan di Kantor BKP Kementan, Selasa (28/11/2017).
Anthea mengatakan bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir ada perkembangan signifikan dalam ketersediaan pangan nasional, bahkan hampir merata. "Pada hari ini 2/3 dari total kabupaten di Indonesia kondisi pangannya lebih baik dari lima tahun lalu," ujarnya.
Perkembangan menggembirakan tersebut menurut Anthea, berkat kerja keras yang dilakukan petani Indonesia. "Kami sangat berterima kasih dengan kerja keras petani Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional. Begitu juga dengan BKP Kementan yang selalu memberi pembinaan dan pendampingan petani," tambahnya.
Adapun substansi kerja sama meliputi dua kegiatan. Pertama, Pemutakhiran Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas-FSVA) melalui penyempurnaan metodologi dan peningkatan kerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS).
Penyempurnaan yang dilakukan termasuk integrasi indikator ketahanan pangan yang diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS disusun oleh BPS), yang menggambarkan pola konsumsi pangan tingkat rumah tangga, dan memberikan fokus yang lebih besar pada kerentanan terhadap kerawanan pangan di wilayah perkotaan.
FSVA telah digunakan oleh Kementerian/Lembaga (Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Bappenas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan Umum), serta organisasi lainnya dalam penentuan kebijakan dan target intervensi terkait dengan ketahanan pangan dan gizi.
Kedua, Pengembangan Sistem Informasi Ketahanan Pangan dan Gizi Nasional (SIKPG) yang terpadu melalui penyempurnaan sistem yang sudah ada.
Sistem Informasi Ketahanan Pangan dan Gizi Nasional ini sejalan dengan amanat Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, dimana Pasal 75 menyatakan: Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban membangun, menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi yang terintegrasi, yang dapat digunakan untuk perencanaan, pemantauan dan evaluasi, stabilisasi pasokan dan harga pangan serta sebagai sistem peringatan dini terhadap masalah pangan dan kerentanan terhadap kerawanan pangan dan gizi.
Pengembangan FSVA dan SKPG adalah kegiatan yang dilaksanakan BKP. Dalam konteks kerja sama ini, dukungan WFP akan berfokus pada masukan kebijakan, peningkatan kapasitas dan berbagi pengetahuan untuk mendukung investasi pemerintah pada sektor ketahanan pangan dan gizi.
"Dengan pembaharuan kedua instrumen ini, diharapkan penanganan untuk kerentanan terhadap kerawanan pangan bisa dilakukan lebih baik lagi, sehingga tidak ada lagi nantinya daerah rentan rawan pangan di tanah air," tutur Agung.
"Kerja sama dengan WFP bertujuan untuk menguatkan kembali peta daerah tahan dan rentan rawan pangan di Indonesia," kata Agung menjelaskan kepada media seusai penandatanganan yang dilakukan di Kantor BKP Kementan, Selasa (28/11/2017).
Anthea mengatakan bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir ada perkembangan signifikan dalam ketersediaan pangan nasional, bahkan hampir merata. "Pada hari ini 2/3 dari total kabupaten di Indonesia kondisi pangannya lebih baik dari lima tahun lalu," ujarnya.
Perkembangan menggembirakan tersebut menurut Anthea, berkat kerja keras yang dilakukan petani Indonesia. "Kami sangat berterima kasih dengan kerja keras petani Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional. Begitu juga dengan BKP Kementan yang selalu memberi pembinaan dan pendampingan petani," tambahnya.
Adapun substansi kerja sama meliputi dua kegiatan. Pertama, Pemutakhiran Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas-FSVA) melalui penyempurnaan metodologi dan peningkatan kerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS).
Penyempurnaan yang dilakukan termasuk integrasi indikator ketahanan pangan yang diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS disusun oleh BPS), yang menggambarkan pola konsumsi pangan tingkat rumah tangga, dan memberikan fokus yang lebih besar pada kerentanan terhadap kerawanan pangan di wilayah perkotaan.
FSVA telah digunakan oleh Kementerian/Lembaga (Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Bappenas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan Umum), serta organisasi lainnya dalam penentuan kebijakan dan target intervensi terkait dengan ketahanan pangan dan gizi.
Kedua, Pengembangan Sistem Informasi Ketahanan Pangan dan Gizi Nasional (SIKPG) yang terpadu melalui penyempurnaan sistem yang sudah ada.
Sistem Informasi Ketahanan Pangan dan Gizi Nasional ini sejalan dengan amanat Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, dimana Pasal 75 menyatakan: Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban membangun, menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi yang terintegrasi, yang dapat digunakan untuk perencanaan, pemantauan dan evaluasi, stabilisasi pasokan dan harga pangan serta sebagai sistem peringatan dini terhadap masalah pangan dan kerentanan terhadap kerawanan pangan dan gizi.
Pengembangan FSVA dan SKPG adalah kegiatan yang dilaksanakan BKP. Dalam konteks kerja sama ini, dukungan WFP akan berfokus pada masukan kebijakan, peningkatan kapasitas dan berbagi pengetahuan untuk mendukung investasi pemerintah pada sektor ketahanan pangan dan gizi.
"Dengan pembaharuan kedua instrumen ini, diharapkan penanganan untuk kerentanan terhadap kerawanan pangan bisa dilakukan lebih baik lagi, sehingga tidak ada lagi nantinya daerah rentan rawan pangan di tanah air," tutur Agung.
(ven)