Industri Manufaktur Jadi Kontributor PPh Nonmigas Terbesar 2017
A
A
A
JAKARTA - Industri pengolahan memiliki andil besar dalam menyumbangkan pajak penghasilan (PPh) nonmigas kepada negara setiap tahunnya. Tercatat, sepanjang 2017 penerimaan pajak dari sektor manufaktur tumbuh 17,1%.
"Tidak hanya sebagai penyumbang terbesar pada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, industri manufaktur juga mampu memberikan kontribusi tertinggi sebagai penyetor pajak," kata Menteri Perindustrian (Menperin)Airlangga Hartarto di Jakarta, Selasa (9/1/2018).
Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak tahun 2017 telah menyentuh angka Rp1.151 triliun. Adapun PPh dari sektor nonmigas sebesar Rp596,89 triliun.
Industri pengolahan menjadi kontributor tertinggi terhadap penerimaan PPh nonmigas, di mana tahun ini persentasenya mencapai 31,8%. Selanjutnya, diikuti sektor perdagangan 19,3%, jasa keuangan 14%, dan pertanian 1,7%. Sementara itu, tiga sektor yang berkontribusi besar terhadap PDB nasional, yaitu industri pengolahan yang mencapai 22%, perdagangan 13,8% dan pertanian 13,8%.
"Aktivitas industri konsisten membawa multiplier effect yang signifikan bagi perekonomian Indonesia," tambah Menperin.
Sumbangsih tersebut, jelasnya, antara lain melalui peningkatan pada nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja lokal, dan penerimaan devisa dari ekspor. Karena itu, imbuh Airlangga, Kementerian Perindustrian fokus menjalankan kebijakan hilirisasi industri.
Peningkatan nilai tambah ini misalnya dilakukan oleh industri berbasis agro dan tambang mineral yang telah menghasilkan berbagai produk hilir seperti turunan kelapa sawit dan stainless steel. Untuk jumlah ragam produk hilir kelapa sawit, meningkat menjadi 154 produk sepanjang tahun 2015-2017 dibanding tahun 2014 sekitar 126 produk.
Pada periode 2015-2017, telah berproduksi industri smelter terintegrasi dengan produk turunannya berupa stainless steel yang memiliki kapasitas 2 juta ton per tahun. Jumlah ini naik dibanding dengan tahun 2014 yang hanya mencapai 65.000 ton produk setengah jadi berupa feronikel dan nickel matte.
Mengenai penyerapan tenaga kerja, Kemenperin memprediksi total tenaga kerja yang terserap di sektor manufaktur pada 2017 sebanyak 17,01 juta orang, naik dibandingkan tahun 2016 yang mencapai 15,54 juta orang. Capaian ini mendorong pengurangan tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.
Kemenperin mencatat, ekspor industri pengolahan nonmigas sampai November tahun 2017 sebesar USD114,67 miliar atau naik 14,25% dibandingkan periode yang sama tahun 2016 sekitar USD100,36 miliar. Ekspor industri pengolahan nonmigas ini memberikan kontribusi hingga 74,51% dari total ekspor nasional sampai November 2017 yang mencapai USD153,90 miliar.
Guna semakin mendongkrak daya saing manufaktur nasional, hal utama yang sedang diupayakan Kemenperin adalah memfasilitasi pemberian insentif fiskal kepada industri yang mengembangkan pendidikan vokasi dan membangun pusat inovasi di Indonesia.
"Dalam rapat terbatas, saya sampaikan bahwa Kemenperin sudah mengajukan kepada Kementerian Keuangan terkait pemberian tax allowance sebesar 200% untuk vokasi dan 300% untuk research and development," jelasnya.
Menperin menyatakan, fasilitas insentif fiskal tersebut merupakan hasil benchmark dengan Thailand dan negara lain. Diharapkan, hal itu akan meningkatkan daya saing Indonesia dibanding negara ASEAN lainnya.
"Tidak hanya sebagai penyumbang terbesar pada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, industri manufaktur juga mampu memberikan kontribusi tertinggi sebagai penyetor pajak," kata Menteri Perindustrian (Menperin)Airlangga Hartarto di Jakarta, Selasa (9/1/2018).
Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak tahun 2017 telah menyentuh angka Rp1.151 triliun. Adapun PPh dari sektor nonmigas sebesar Rp596,89 triliun.
Industri pengolahan menjadi kontributor tertinggi terhadap penerimaan PPh nonmigas, di mana tahun ini persentasenya mencapai 31,8%. Selanjutnya, diikuti sektor perdagangan 19,3%, jasa keuangan 14%, dan pertanian 1,7%. Sementara itu, tiga sektor yang berkontribusi besar terhadap PDB nasional, yaitu industri pengolahan yang mencapai 22%, perdagangan 13,8% dan pertanian 13,8%.
"Aktivitas industri konsisten membawa multiplier effect yang signifikan bagi perekonomian Indonesia," tambah Menperin.
Sumbangsih tersebut, jelasnya, antara lain melalui peningkatan pada nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja lokal, dan penerimaan devisa dari ekspor. Karena itu, imbuh Airlangga, Kementerian Perindustrian fokus menjalankan kebijakan hilirisasi industri.
Peningkatan nilai tambah ini misalnya dilakukan oleh industri berbasis agro dan tambang mineral yang telah menghasilkan berbagai produk hilir seperti turunan kelapa sawit dan stainless steel. Untuk jumlah ragam produk hilir kelapa sawit, meningkat menjadi 154 produk sepanjang tahun 2015-2017 dibanding tahun 2014 sekitar 126 produk.
Pada periode 2015-2017, telah berproduksi industri smelter terintegrasi dengan produk turunannya berupa stainless steel yang memiliki kapasitas 2 juta ton per tahun. Jumlah ini naik dibanding dengan tahun 2014 yang hanya mencapai 65.000 ton produk setengah jadi berupa feronikel dan nickel matte.
Mengenai penyerapan tenaga kerja, Kemenperin memprediksi total tenaga kerja yang terserap di sektor manufaktur pada 2017 sebanyak 17,01 juta orang, naik dibandingkan tahun 2016 yang mencapai 15,54 juta orang. Capaian ini mendorong pengurangan tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.
Kemenperin mencatat, ekspor industri pengolahan nonmigas sampai November tahun 2017 sebesar USD114,67 miliar atau naik 14,25% dibandingkan periode yang sama tahun 2016 sekitar USD100,36 miliar. Ekspor industri pengolahan nonmigas ini memberikan kontribusi hingga 74,51% dari total ekspor nasional sampai November 2017 yang mencapai USD153,90 miliar.
Guna semakin mendongkrak daya saing manufaktur nasional, hal utama yang sedang diupayakan Kemenperin adalah memfasilitasi pemberian insentif fiskal kepada industri yang mengembangkan pendidikan vokasi dan membangun pusat inovasi di Indonesia.
"Dalam rapat terbatas, saya sampaikan bahwa Kemenperin sudah mengajukan kepada Kementerian Keuangan terkait pemberian tax allowance sebesar 200% untuk vokasi dan 300% untuk research and development," jelasnya.
Menperin menyatakan, fasilitas insentif fiskal tersebut merupakan hasil benchmark dengan Thailand dan negara lain. Diharapkan, hal itu akan meningkatkan daya saing Indonesia dibanding negara ASEAN lainnya.
(fjo)