Kontribusi Industri Tembakau ke Penerimaan Negara Lebihi Telekomunikasi
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Perpajakan dari Center Indonesia for Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengemukakan bahwa kontribusi industri tembakau terhadap penerimaan negara sangatlah besar. Bahkan, kontribusinya jauh lebih besar dibanding industri telekomunikasi dan konstruksi.
(Baca Juga: Pemerintah Diminta Cari Alternatif Penerimaan Cukai Selain Rokok
Dia mengatakan, setiap rupiah yang dibelanjakan untuk produk hasil tembakau, seperti rokok maka yang masuk ke kas negara mencapai 71%. Sisanya sekitar 29% baru masuk ke industri.
"Rp1 yang dibelanjakan untuk produk hasil tembakau itu, 71% diberikan ke negara lewat PPN dan pajak rokok. Lalu 29% ke industri. Ternyata perokok itu kontribusinya besar," katanya dalam acara Weekly Forum bertajuk Peran Tembakau Terhadap Pembangunan Nasional di Auditorium Gedung SINDO, Jakarta, Jumat (23/3/2018).
Sambung dia, porsi industri hasil tembakau terhadap Produk DOmestik Bruto (PDB) memang tidak besar yaitu sekitar Rp250 triliun hingga Rp300 triliun. Porsi industri jasa konstruksi dan telekomunikasi justru jauh lebih besar, namun kontribusinya terhadap penerimaan negara tidak sebesar indusri tembakau.
"Industri hasil tembakau dibanding telekomunikasi dan jasa konstruksi, ternyata porsi ke PDB telekomunikasi besar, kontraktor besar. Tapi kontribusi ke penerimaan negara kecil. Industri rokok itu kan sizenya Rp250-300 triliun ke PDB, tapi 70% ke negara kontribusinya," imbuh dia.
Oleh sebab itu, sambung pria yang akrab disapa Pras ini, pemerintah sejatinya lebih tepat untuk mengatur keberadaan industri hasil tembakau ketimbang menghilangkannya. Sebab, Organisasi Kesehastan Dunia (World Health Organization/WHO) sekalipun tidak yakin akan bisa menghilangkan rokok sama sekali di dunia ini.
"Memang tidak mudah melihat kompleksitas yang ada. Ini dimusuhi tapi diharapkan uangnya. Menurut WHO, tahun 2025 akan ada 1 miliar perokok di dunia. Jadi bahkan WHO sendiri tidak yakin bisa menurunkan prevelensi merokok dan melarang atau menghilangkan rokok sama sekali. Jadi dari sisi ekonomi lebih baik kita atur, bagaimana menghasilkan output outcome yang baik untuk negara ini," tandasnya.
(Baca Juga: Pemerintah Diminta Cari Alternatif Penerimaan Cukai Selain Rokok
Dia mengatakan, setiap rupiah yang dibelanjakan untuk produk hasil tembakau, seperti rokok maka yang masuk ke kas negara mencapai 71%. Sisanya sekitar 29% baru masuk ke industri.
"Rp1 yang dibelanjakan untuk produk hasil tembakau itu, 71% diberikan ke negara lewat PPN dan pajak rokok. Lalu 29% ke industri. Ternyata perokok itu kontribusinya besar," katanya dalam acara Weekly Forum bertajuk Peran Tembakau Terhadap Pembangunan Nasional di Auditorium Gedung SINDO, Jakarta, Jumat (23/3/2018).
Sambung dia, porsi industri hasil tembakau terhadap Produk DOmestik Bruto (PDB) memang tidak besar yaitu sekitar Rp250 triliun hingga Rp300 triliun. Porsi industri jasa konstruksi dan telekomunikasi justru jauh lebih besar, namun kontribusinya terhadap penerimaan negara tidak sebesar indusri tembakau.
"Industri hasil tembakau dibanding telekomunikasi dan jasa konstruksi, ternyata porsi ke PDB telekomunikasi besar, kontraktor besar. Tapi kontribusi ke penerimaan negara kecil. Industri rokok itu kan sizenya Rp250-300 triliun ke PDB, tapi 70% ke negara kontribusinya," imbuh dia.
Oleh sebab itu, sambung pria yang akrab disapa Pras ini, pemerintah sejatinya lebih tepat untuk mengatur keberadaan industri hasil tembakau ketimbang menghilangkannya. Sebab, Organisasi Kesehastan Dunia (World Health Organization/WHO) sekalipun tidak yakin akan bisa menghilangkan rokok sama sekali di dunia ini.
"Memang tidak mudah melihat kompleksitas yang ada. Ini dimusuhi tapi diharapkan uangnya. Menurut WHO, tahun 2025 akan ada 1 miliar perokok di dunia. Jadi bahkan WHO sendiri tidak yakin bisa menurunkan prevelensi merokok dan melarang atau menghilangkan rokok sama sekali. Jadi dari sisi ekonomi lebih baik kita atur, bagaimana menghasilkan output outcome yang baik untuk negara ini," tandasnya.
(akr)