REI Menilai BI Masih Diskriminatif kepada PNS
A
A
A
JAKARTA - Perusahaan properti yang tergabung Real Estate Indonesia (REI) menilai Bank Indonesia (BI) masih diskriminatif terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR). Menurut Ketua Umum DPP REI Soelaeman Soemawinata, bentuk diskriminasi itu terkait dengan BI Checking.
"Aturan BI terkait BI checking kami nilai masih diskriminatif terhadap PNS," tegas Soelaeman di Jakarta Kamis (19/4/2018).
Dia memberikan contoh, di kawasan Maja, Banten dari 400 PNS yang akan membeli rumah melalui fasilitas KPR, hanya 7 orang yang lolos BI Checking. Soelaeman, memberikan contoh, apabila PNS memiliki gaji pokok Rp3,5 juta dan harus membayar cicilan sebesar Rp3 juta, maka PNS tersebut tidak akan masuk ke dalam kategori yang bisa mendapatkan fasilitas KPR.
Sebab, yang dijadikan dasar adalah sepertiga gaji pokok. "Seharusnya untuk PNS BI checking ini ditiadakan saja. Kan PNS juga memiliki tunjangan yang bisa naik, bisa juga turun," tegasnya.
Selain itu, REI juga menyoroti keberpihakan regulasi terhadap penyediaan perumahan bagi masyarakat. Soelaeman memberikan contoh, sebagian besar insentif affordable housing untuk konsumen, sedangkan untuk produsen baru sebatas PPH 1% dan PSU (prasarana, sarana dan utilitas).
Hal lainnya adalah mengenai suku bunga kredit konstruksi untuk pengembang perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang cenderung berada di angka 12-13%. Padahal, pengembang yang bergerak di luar MBR bisa mendapatkan kredit konstruksi dengan suku bunga satu digit.
"Dalam rangka penyediaan perumahan bagi masyarakat, kami juga meminta kepada pengembang perumahan agar orientasinya tidak hanya pada tanah murah. Sebab, jika orientasinya tanah murah, tidak terintegrasi pada sistem perkotaan," katanya, Sehingga kawasan yang dikembangkan jauh dari sistem perkotaan yang berakibat pada peningkatan biaya bagi masyarakat.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi. Menurut dia, masih ada kebijakan perbankan yang menghambat program pemerintah terkait rumah murah untuk PNS.
Gaji pokok PNS, anggota TNI dan Polri PNS masih rendah. Sehingga tidak memenuhi ketentuan BI Checking untuk mendapatkan KPR dengan nilai harga rumah di kisaran Rp 300 juta hingga Rp 400 juta. Padahal, saat ini rata-rata harga rumah berada di kisaran Rp300 juta ke atas khususnya di kawasan perkotaan yang dekat dengan lokasi kerja. "Maslaah perizinan rumah murah juga masih sulit. Biaya sertifikasi di Jakarta hanya Rp 300 ribu, tapi di luar Jakarta malah lebih mahal, bisa Rp 3-4 juta," ungkapnya.
"Aturan BI terkait BI checking kami nilai masih diskriminatif terhadap PNS," tegas Soelaeman di Jakarta Kamis (19/4/2018).
Dia memberikan contoh, di kawasan Maja, Banten dari 400 PNS yang akan membeli rumah melalui fasilitas KPR, hanya 7 orang yang lolos BI Checking. Soelaeman, memberikan contoh, apabila PNS memiliki gaji pokok Rp3,5 juta dan harus membayar cicilan sebesar Rp3 juta, maka PNS tersebut tidak akan masuk ke dalam kategori yang bisa mendapatkan fasilitas KPR.
Sebab, yang dijadikan dasar adalah sepertiga gaji pokok. "Seharusnya untuk PNS BI checking ini ditiadakan saja. Kan PNS juga memiliki tunjangan yang bisa naik, bisa juga turun," tegasnya.
Selain itu, REI juga menyoroti keberpihakan regulasi terhadap penyediaan perumahan bagi masyarakat. Soelaeman memberikan contoh, sebagian besar insentif affordable housing untuk konsumen, sedangkan untuk produsen baru sebatas PPH 1% dan PSU (prasarana, sarana dan utilitas).
Hal lainnya adalah mengenai suku bunga kredit konstruksi untuk pengembang perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang cenderung berada di angka 12-13%. Padahal, pengembang yang bergerak di luar MBR bisa mendapatkan kredit konstruksi dengan suku bunga satu digit.
"Dalam rangka penyediaan perumahan bagi masyarakat, kami juga meminta kepada pengembang perumahan agar orientasinya tidak hanya pada tanah murah. Sebab, jika orientasinya tanah murah, tidak terintegrasi pada sistem perkotaan," katanya, Sehingga kawasan yang dikembangkan jauh dari sistem perkotaan yang berakibat pada peningkatan biaya bagi masyarakat.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi. Menurut dia, masih ada kebijakan perbankan yang menghambat program pemerintah terkait rumah murah untuk PNS.
Gaji pokok PNS, anggota TNI dan Polri PNS masih rendah. Sehingga tidak memenuhi ketentuan BI Checking untuk mendapatkan KPR dengan nilai harga rumah di kisaran Rp 300 juta hingga Rp 400 juta. Padahal, saat ini rata-rata harga rumah berada di kisaran Rp300 juta ke atas khususnya di kawasan perkotaan yang dekat dengan lokasi kerja. "Maslaah perizinan rumah murah juga masih sulit. Biaya sertifikasi di Jakarta hanya Rp 300 ribu, tapi di luar Jakarta malah lebih mahal, bisa Rp 3-4 juta," ungkapnya.
(akr)