Industri Properti Khawatirkan Pelemahan Rupiah
A
A
A
JAKARTA - Industri properti di Tanah Air mulai khawatir atas gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Jika melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berlangsung lama, dikhawatirkan banyak pengembang properti kolaps.
"Nilai tukar yang semakin tinggi memberikan dampak serius terhadap industri properti. Terutama segmen properti kelas atas akan menghadapi masalah serius," tegas Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata di Jakarta, Rabu (9/5/2018).
Dia mengungkapkan, REI khawatir sektor riil tidak bergerak karena banyak dana yang mengendap di instrumen keuangan, seperti obligasi, valas, deposito dan tabungan.
"Saat ini saja uang yang ditabung di bank, tidak masuk sektor riil. Kita khawatir orang tidak akan mau membeli properti, karena masuk tabungan dan deposito," ungkapnya.
Soelaeman mengungkapkan dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dana baru yang masuk ke instrumen keuangan mencapai Rp1.400 triliun.
REI, lanjut dia, meminta kepada pengembang untuk melakukan hedging. Meski hal tersebut diyakini tak mampu membendung gejolak industri properti jika pelemahan ripiah terhadap dolar AS berlangsung dalam jangka panjang. "Apartemen atau perumahan dengan unsur impor tinggi ini yang paling mengkhawatirkan," ungkapnya.
Hanya segmen perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang tidak terpengaruh gejolak nilai tukar karena ada subsidi dari pemerintah. "Kami terus memberikan semangat kepada pengembang untuk terus berproduksi meski dengan margin terbatas," papar Soelaeman.
Industri properti, lanjut dia, sudah mematok harga produknya saat pre sales sehingga tidak mungkin menaikkan harga jual sepihak karena nilai tukar rupiah yang melemah.
"Yang juga harus diperhatikan yakni para pengembang melakukan proteksi terhadap kenaikan harga material dan bunga bank. Jika tidak mampu mengantisipasi, industri properti akan berguguran. Apalagi tidak semua pengembang memiliki dana besar untuk hedging," tegasnya.
REI, kata Soelaeman juga meminta perbankan untuk mendukung pertumbuhan sektor riil. Tidak hanya peduli dengan sektor internal perbankan saja.
"Perbankan jangan peduli dengan dirinya sendiri. Kalau SBI naik maka suku bunga perbankan naik. Tapi saat SBI turun, perbankan tidak mau turun. Itu tentu tidak baik untuk pertumbuhan sektor riil," tegasnya.
Yang paling riskan, lanjut dia, apabila pada kondisi saat ini, suku bunga dinaikkan, maka akan banyak kredit perumahan macet. "Semua developer akan tumbang," urainya.
"Nilai tukar yang semakin tinggi memberikan dampak serius terhadap industri properti. Terutama segmen properti kelas atas akan menghadapi masalah serius," tegas Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata di Jakarta, Rabu (9/5/2018).
Dia mengungkapkan, REI khawatir sektor riil tidak bergerak karena banyak dana yang mengendap di instrumen keuangan, seperti obligasi, valas, deposito dan tabungan.
"Saat ini saja uang yang ditabung di bank, tidak masuk sektor riil. Kita khawatir orang tidak akan mau membeli properti, karena masuk tabungan dan deposito," ungkapnya.
Soelaeman mengungkapkan dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dana baru yang masuk ke instrumen keuangan mencapai Rp1.400 triliun.
REI, lanjut dia, meminta kepada pengembang untuk melakukan hedging. Meski hal tersebut diyakini tak mampu membendung gejolak industri properti jika pelemahan ripiah terhadap dolar AS berlangsung dalam jangka panjang. "Apartemen atau perumahan dengan unsur impor tinggi ini yang paling mengkhawatirkan," ungkapnya.
Hanya segmen perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang tidak terpengaruh gejolak nilai tukar karena ada subsidi dari pemerintah. "Kami terus memberikan semangat kepada pengembang untuk terus berproduksi meski dengan margin terbatas," papar Soelaeman.
Industri properti, lanjut dia, sudah mematok harga produknya saat pre sales sehingga tidak mungkin menaikkan harga jual sepihak karena nilai tukar rupiah yang melemah.
"Yang juga harus diperhatikan yakni para pengembang melakukan proteksi terhadap kenaikan harga material dan bunga bank. Jika tidak mampu mengantisipasi, industri properti akan berguguran. Apalagi tidak semua pengembang memiliki dana besar untuk hedging," tegasnya.
REI, kata Soelaeman juga meminta perbankan untuk mendukung pertumbuhan sektor riil. Tidak hanya peduli dengan sektor internal perbankan saja.
"Perbankan jangan peduli dengan dirinya sendiri. Kalau SBI naik maka suku bunga perbankan naik. Tapi saat SBI turun, perbankan tidak mau turun. Itu tentu tidak baik untuk pertumbuhan sektor riil," tegasnya.
Yang paling riskan, lanjut dia, apabila pada kondisi saat ini, suku bunga dinaikkan, maka akan banyak kredit perumahan macet. "Semua developer akan tumbang," urainya.
(ven)