Diambang Defisit Migas, Pemerintah Dorong Kegiatan Eksplorasi

Selasa, 19 Februari 2019 - 14:15 WIB
Diambang Defisit Migas, Pemerintah Dorong Kegiatan Eksplorasi
Diambang Defisit Migas, Pemerintah Dorong Kegiatan Eksplorasi
A A A
JAKARTA - Defisit migas untuk memenuhi kebutuhan nasional diperkirakan mulai terjadi pada 2025 hingga mencapai puncaknya pada 2050. Salah satu upaya untuk menekan defisit migas tersebut adalah menggiatkan eksplorasi guna memperoleh cadangan baru yang dapat meningkatkan produksi migas nasional.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, saat ini ada dana yang cukup besar untuk eksplorasi, baik dalam maupun luar wilayah kerja minyak dan gas. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, saat ini terdapat modal komitmen kerja pasti dari perusahaan-perusahaan migas sebesar USD2,1 miliar (sekitar Rp31,5 triliun), di mana USD1,1 miliar di antaranya akan digunakan untuk kegiatan eksplorasi.

"Ini dana yang bisa digunakan untuk eksplorasi 5-10 tahun ke depan. Dana ini kami harapkan terus bertambah," ujar Arcandra dalam seminar energi "Neraca Energi Indonesia, Suatu Tinjauan Kritis Sektor Migas" yang digelar Ikatan Alumni Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung di Jakarta, Selasa (19/2/2019).

Menurut Arcandra, dana eksplorasi saat ini yang berasal dari komitmen kerja pasti dari kontrak-kontrak dengan skema gross split jauh lebih baik dibanding sebelumnya yang hanya sebesar USD5 juta. Dana tersebut sangat kecil dengan begitu banyak basin yang belum dieksplorasi.

Selain dana eksplorasi, pemerintah juga berencana memperbaiki dari sisi penggunaan data untuk kebutuhan seismik. Data-data kebutuhan untuk eksplorasi akan dibuka bagi perusahaan-perusahaan yang berminat.

"Data-data akuisisi akan dibebaskan. Karena selama ini, dana PNBP (penerimaan negara bukan pajak) dari akses data hanya sekitar USD1 juta. Jadi kita akan revisi Permen Nomor 27 Tahun 2006," ungkap Arcandra.

Ketua Alumni Teknik Geologi ITB Syamsu Alam mengatakan, hingga 2050 kebutuhan migas khususnya minyak secara persentase belum berkurang secara signifikan dan mencapai 2-3 juta barel per hari (bph).

Di sisi lain, jika melihat cadangan Indonesia sebesar 3,5 miliar setara minyak (BOE) atau hanya 0,2% dari cadangan minyak dunia, dibutuhkan upaya luar biasa agar produksi nasional bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.

"Kita harus ingat, produksi minyak saat ini 800.000 itu yang 200.000 bph berasal dari Banyu Urip. Kalau tidak ada Banyu Urip, produksi hanya 500.000. Kalau tidak menemukan Banyu Urip lainnya, kita akan menghadapi masalah besar nantinya," ujar Syamsu.

Wakil Ketua Alumni Teknik Geologi ITB Nanang Abdul Manaf menambahkan, berdasarkan neraca sumber energi primer minyak dan gas bumi 2025 dan 2050, pada 2025 akan ada defisit minyak sebesar 1,39 juta bph dan 2.837 juta standar kaki kubik per hari (MMCFD) gas. Defisit akan makin besar pada 2050, yakni 3,82 juta BOPD minyak dan 24.398 MMSCFD gas.

Nanang mengatakan ada beberapa langkah untuk meningkatkan produksi dan menutup defisit pada 2025 dan 2050. Langkah tersebut di antaranya adalah insentif untuk usaha-usaha eksplorasi sebagai antisipasi jangka panjang, percepatan POD/POFD, secondary dan tertiary recovery project (EOR), dan pencarian upside potential di mature field.

"Selain itu perlu mendorong BUMN migas atau perusahaan energi nasional untuk mencari sumber energi di luar Indonesia," kata Nanang yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur PT Pertamina EP ini.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6463 seconds (0.1#10.140)