Perkuat Modal BPR, OJK Siapkan Aturan Merger
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana mengeluarkan peraturan OJK terkait penggabungan, peleburan dan pengambilalihan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang bakal dirilis tengah tahun ini. Aturan tersebut dibutuhkan dalam menghadapi perkembangan bisnis dan persaingan dengan fintech maupun bank umum di era digital sekarang ini.
"Mengacu pada master plan dari tahun 2015 hingga 2019 ini, BPR harus menjadi lembaga keuangan yang kontributif, stabil, dan inklusif. Untuk pengembangan BPR dalam persaingan dibutuhkan adanya penguatan internal dengan kelembagaan BPR. Dibutuhkan kebijakan permodalan untuk pendirian BPR baru dan existing BPR," ucap Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR Ayahandayani di Bandung, Jumat (3/5/2019).
OJK mendorong BPR untuk melebur dan konsolidasi, dimana 722 BPR per Januari 2019 yang belum memenuhi ketentuan modal inti harus mampu mencapai modal minimal Rp6 miliar. Dalam POJK tersebut diatur dan ditetapkan seluruh BPR wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp 3 miliar paling lambat 31 Desember 2019, dan modal inti minimum sebesar Rp 6 miliar paling lambat 31 Desember 2024.
Kalau BPR tidak berhasil memenuhi ketentuan tersebut, maka kegiatan usaha dan perluasan jaringannya akan dibatasi. Berdasarkan POJK itu pula, kualitas aset pun ditambahkan kategori kualitas aset dengan perhatian khusus. Penilaian kualitas kredit pun turut dibedakan. "Untuk kredit besar, BPR harus dinilai berdasarkan 3 pilar, prospek usaha, kebijakan debitur, dan kemampuan membayar," jelasnya.
Dalam hal manajemen risiko, BPR besar harus melaporkan penerapan manajemen risiko dalam 2019 berdasarkan pedoman OJK. Untuk BPR KU 3 menerapkan 6 risiko BPR KU 2 hanya menerapkan 4 risiko dan BPR KU 1 hanya menerapkan 3 risiko disesuaikan kompleksitasnya. Dengan adanya kewajiban BPR harus menyesuaikan dengan perkembangan IT, BPR akan bekerja sama dengan lembaga lain seperti perusahaan IT untuk core banking dan fintech terkait pengembangan produk dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian.
"OJK sudah berkoordinasi dengan BI untuk kebijakan BPR terkait keikutsertaan dalam sistem pembayaran. BPR dapat ikut dalam sistem pembayaran secara tidak langsung. Inovasi produk BPR akan tetap sesuai dengan aturan perbankan dengan bekerjasama dengan bank umum," terang dia.
BPR butuh menjalankan fungsi audit intern, fungsi audit kepatuhan, dan menerapkan manajemen risiko serta menerapkan kepatuhan terhadap prinsip kehati-hatian. Penguatan infrastruktur akan dilaksanakan melalui penerapan kurikulum baru dalam perekrutan pegawai.
BPR juga harus menerapkan standar IT yang harus dipenuhi dalam akhir tahun 2019 sehingga bisa mendorong BPR untuk memiliki delivery channel yang lebih luas. Selain itu, BPR butuh core banking center yang terintegrasi. Untuk penguatan daya saing, branding BPR sudah diperkuat. Internal OJK saat ini juga menguatkan pengawasan terhadap BPR.
Mulai Desember 2019, BPR tidak lagi memberikan laporan kepada Bank Indonesia, melainkan kepada OJK. BPR sejak 2019 akan melaporkan ke OJK melalui Aplikasi laporan perbankan dan BI maupun LPS bisa mengakses. Efisiensi laporan akan mencakup semua jenis laporan dan tanggal pengiriman laporan pun dimajukan.
"Mengacu pada master plan dari tahun 2015 hingga 2019 ini, BPR harus menjadi lembaga keuangan yang kontributif, stabil, dan inklusif. Untuk pengembangan BPR dalam persaingan dibutuhkan adanya penguatan internal dengan kelembagaan BPR. Dibutuhkan kebijakan permodalan untuk pendirian BPR baru dan existing BPR," ucap Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR Ayahandayani di Bandung, Jumat (3/5/2019).
OJK mendorong BPR untuk melebur dan konsolidasi, dimana 722 BPR per Januari 2019 yang belum memenuhi ketentuan modal inti harus mampu mencapai modal minimal Rp6 miliar. Dalam POJK tersebut diatur dan ditetapkan seluruh BPR wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp 3 miliar paling lambat 31 Desember 2019, dan modal inti minimum sebesar Rp 6 miliar paling lambat 31 Desember 2024.
Kalau BPR tidak berhasil memenuhi ketentuan tersebut, maka kegiatan usaha dan perluasan jaringannya akan dibatasi. Berdasarkan POJK itu pula, kualitas aset pun ditambahkan kategori kualitas aset dengan perhatian khusus. Penilaian kualitas kredit pun turut dibedakan. "Untuk kredit besar, BPR harus dinilai berdasarkan 3 pilar, prospek usaha, kebijakan debitur, dan kemampuan membayar," jelasnya.
Dalam hal manajemen risiko, BPR besar harus melaporkan penerapan manajemen risiko dalam 2019 berdasarkan pedoman OJK. Untuk BPR KU 3 menerapkan 6 risiko BPR KU 2 hanya menerapkan 4 risiko dan BPR KU 1 hanya menerapkan 3 risiko disesuaikan kompleksitasnya. Dengan adanya kewajiban BPR harus menyesuaikan dengan perkembangan IT, BPR akan bekerja sama dengan lembaga lain seperti perusahaan IT untuk core banking dan fintech terkait pengembangan produk dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian.
"OJK sudah berkoordinasi dengan BI untuk kebijakan BPR terkait keikutsertaan dalam sistem pembayaran. BPR dapat ikut dalam sistem pembayaran secara tidak langsung. Inovasi produk BPR akan tetap sesuai dengan aturan perbankan dengan bekerjasama dengan bank umum," terang dia.
BPR butuh menjalankan fungsi audit intern, fungsi audit kepatuhan, dan menerapkan manajemen risiko serta menerapkan kepatuhan terhadap prinsip kehati-hatian. Penguatan infrastruktur akan dilaksanakan melalui penerapan kurikulum baru dalam perekrutan pegawai.
BPR juga harus menerapkan standar IT yang harus dipenuhi dalam akhir tahun 2019 sehingga bisa mendorong BPR untuk memiliki delivery channel yang lebih luas. Selain itu, BPR butuh core banking center yang terintegrasi. Untuk penguatan daya saing, branding BPR sudah diperkuat. Internal OJK saat ini juga menguatkan pengawasan terhadap BPR.
Mulai Desember 2019, BPR tidak lagi memberikan laporan kepada Bank Indonesia, melainkan kepada OJK. BPR sejak 2019 akan melaporkan ke OJK melalui Aplikasi laporan perbankan dan BI maupun LPS bisa mengakses. Efisiensi laporan akan mencakup semua jenis laporan dan tanggal pengiriman laporan pun dimajukan.
(akr)