Bayer Diwajibkan Ganti Rugi Rp29 Triliun
A
A
A
FRANKFURT - Saham perusahaan Bayer merosot hingga 5% kemarin setelah juri pengadilan memutuskan Bayer harus membayar ganti rugi lebih dari USD2 miliar (Rp29 triliun) pada pasangan di California.
Ini menjadi keputusan juri Amerika Serikat (AS) terbesar terhadap perusahaan terkait tuduhan bahwa obat pembasmi gulma Roundup menyebabkan kanker. Keputusan juri itu membuat saham Bayer mendekati titik terendah dalam hampir tujuh tahun, meski jumlah ganti rugi dapat dikurangi oleh keputusan Mahkamah Agung (MA) AS yang membatasi rasio antara ganti rugi dan kompensasi kerusakan sebesar 9:1. Juri pengadilan menetapkan total ganti rugi sebesar USD2 miliar dan ditambah biaya kompensasi USD55 juta. Juri menyimpulkan Roundup yang berbahan dasar herbisida glyphosate itu memiliki kecacatan desain dan perusahaan gagal memperingatkan risiko kanker terkait herbisida.
Saham Bayer turun 2,5% menjadi 55,05 euro pada 09.05 GMT. Bayer menyatakan kecewa dengan keputusan itu dan akan mengajukan banding. Juru bicara Bayer menyebut, keputusan juri itu berlebihan dan tak dapat dibenarkan.Ini menjadi keputusan juri AS ketiga terhadap perusahaan dalam litigasi atas bahan kimia yang diakuisisi Bayer sebagai bagian dari pembelian Monsanto sebesar USD63 miliar tahun lalu.
“Jelas kami antisipasi bahwa ganti rugi USD2 miliar itu akan dikurangi saat banding. Meski demikian, tingkat ganti rugi itu masih menjadi kekhawatiran bagi pasar karena berada di atas kasus Hardeman,” papar para analis JP Morgan.
Dalam kasus Hardeman, juri memutuskan ganti rugi sebesar USD5 juta dibayarkan kepada penggugat. Nilai perusahaan diperkirakan berkurang hingga 5 miliar euro, tapi membutuhkan waktu hingga pertengahan 2020 untuk lebih banyak kasus dan sejumlah keputusan banding sehingga lebih jelas.
Bayer menghadapi berbagai gugatan di AS dari lebih 13.400 penggugat terkait herbisida yang dituduh berisiko kanker. Bayer merupakan penemu aspirin dan pembuat obat pencegah stroke Xarelto serta pil kontrol kelahiran Yasmin.
Nilai pasar grup itu turun lebih rendah dari yang dibayarkan Bayer untuk Monsanto setelah mengucurkan sekitar 40 miliar euro sejak keputusan juri pertama pada Agustus lalu.
Badan Proteksi Lingkungan AS bulan ini menegaskan kembali bahwa glyphosate aman digunakan. Badan Bahan Kimia Eropa dan regulator lain di dunia juga menemukan glyphosate tidak bersifat karsinogenik bagi manusia.
Namun, Badan Internasional untuk Riset Kanker Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyimpulkan pada 2015 bahwa bahan kimia itu mungkin menyebabkan kanker.
Bayer menyatakan, litigasi tak memiliki dampak pada permintaan kuat dari para pemilik kebun dan lahan di AS untuk herbisida berbasis glyphosate. Bayer menambahkan, permintaan dari para petani AS terus berlanjut karena kondisi cuaca.
Dengan adanya dorongan untuk melepas aset-aset termasuk divisi kesehatan binatang, Bayer menyatakan sepakat menjual brand Coppertone kepada pemilik Nivea, Beiersdorf, senilai USD550 juta.
Bayer juga menyatakan, Monsanto tampaknya akan berpotensi memiliki masalah lebih luas. Saat ini Monsanto sedang diinvestigasi kejaksaan Prancis karena mengumpulkan data orang berpengaruh, seperti para jurnalis dan peneliti di Prancis, yang dilakukan di penjuru Eropa. (Syarifudin)
Ini menjadi keputusan juri Amerika Serikat (AS) terbesar terhadap perusahaan terkait tuduhan bahwa obat pembasmi gulma Roundup menyebabkan kanker. Keputusan juri itu membuat saham Bayer mendekati titik terendah dalam hampir tujuh tahun, meski jumlah ganti rugi dapat dikurangi oleh keputusan Mahkamah Agung (MA) AS yang membatasi rasio antara ganti rugi dan kompensasi kerusakan sebesar 9:1. Juri pengadilan menetapkan total ganti rugi sebesar USD2 miliar dan ditambah biaya kompensasi USD55 juta. Juri menyimpulkan Roundup yang berbahan dasar herbisida glyphosate itu memiliki kecacatan desain dan perusahaan gagal memperingatkan risiko kanker terkait herbisida.
Saham Bayer turun 2,5% menjadi 55,05 euro pada 09.05 GMT. Bayer menyatakan kecewa dengan keputusan itu dan akan mengajukan banding. Juru bicara Bayer menyebut, keputusan juri itu berlebihan dan tak dapat dibenarkan.Ini menjadi keputusan juri AS ketiga terhadap perusahaan dalam litigasi atas bahan kimia yang diakuisisi Bayer sebagai bagian dari pembelian Monsanto sebesar USD63 miliar tahun lalu.
“Jelas kami antisipasi bahwa ganti rugi USD2 miliar itu akan dikurangi saat banding. Meski demikian, tingkat ganti rugi itu masih menjadi kekhawatiran bagi pasar karena berada di atas kasus Hardeman,” papar para analis JP Morgan.
Dalam kasus Hardeman, juri memutuskan ganti rugi sebesar USD5 juta dibayarkan kepada penggugat. Nilai perusahaan diperkirakan berkurang hingga 5 miliar euro, tapi membutuhkan waktu hingga pertengahan 2020 untuk lebih banyak kasus dan sejumlah keputusan banding sehingga lebih jelas.
Bayer menghadapi berbagai gugatan di AS dari lebih 13.400 penggugat terkait herbisida yang dituduh berisiko kanker. Bayer merupakan penemu aspirin dan pembuat obat pencegah stroke Xarelto serta pil kontrol kelahiran Yasmin.
Nilai pasar grup itu turun lebih rendah dari yang dibayarkan Bayer untuk Monsanto setelah mengucurkan sekitar 40 miliar euro sejak keputusan juri pertama pada Agustus lalu.
Badan Proteksi Lingkungan AS bulan ini menegaskan kembali bahwa glyphosate aman digunakan. Badan Bahan Kimia Eropa dan regulator lain di dunia juga menemukan glyphosate tidak bersifat karsinogenik bagi manusia.
Namun, Badan Internasional untuk Riset Kanker Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyimpulkan pada 2015 bahwa bahan kimia itu mungkin menyebabkan kanker.
Bayer menyatakan, litigasi tak memiliki dampak pada permintaan kuat dari para pemilik kebun dan lahan di AS untuk herbisida berbasis glyphosate. Bayer menambahkan, permintaan dari para petani AS terus berlanjut karena kondisi cuaca.
Dengan adanya dorongan untuk melepas aset-aset termasuk divisi kesehatan binatang, Bayer menyatakan sepakat menjual brand Coppertone kepada pemilik Nivea, Beiersdorf, senilai USD550 juta.
Bayer juga menyatakan, Monsanto tampaknya akan berpotensi memiliki masalah lebih luas. Saat ini Monsanto sedang diinvestigasi kejaksaan Prancis karena mengumpulkan data orang berpengaruh, seperti para jurnalis dan peneliti di Prancis, yang dilakukan di penjuru Eropa. (Syarifudin)
(nfl)