Pengamat Perbankan Nilai Keputusan Soal Kasus BLBI, Objektif dan Adil
A
A
A
JAKARTA - Pengamat keuangan dan perbankan, Eko B Supriyanto, menilai keputusan majelis hakim Mahkamah Agung (MA) membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) merupakan langkah berani yang melegakan, sekaligus membawa angin segar.
"Para hakim agung telah membatalkan keputusan pengadilan tingkat pertama dan banding, karena mereka tidak hanya menerapkan hukum yang tersurat, melainkan juga yang tersirat, demi mewujudkan rasa keadilan," kata Eko di Jakarta, Sabtu (13/7/2019).
Menurut Eko, ini merupakan keputusan yang maju karena diambil oleh hakim yang berpikiran bebas dan merdeka serta memiliki kejujuran, kejernihan hati dan pikiran.
Keputusan ini bisa menjadi yurisprudensi karena untuk pertama kali pengadilan memutus bebas terpidana korupsi dan mengalahkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). SAT sebelumnya sudah dihukum 15 tahun oleh pengadilan banding, yang memperberat keputusan majelis tingkat pertama.
"Hampir tidak ada pengamat hukum, apalagi para aktifis anti korupsi, yang menduga SAT akan bebas. Para pemerhati umumnya meragukan keberanian para hakim dalam memutus perkara korupsi dengan anggapan bahwa mereka enggan mengambil resiko berhadapan dengan KPK. Kini anggapan tersebut terbantahkan," jelasnya.
Dengan keputusan tersebut, menurut Eko, ada beberapa hal yang perlu dicermati terkait keputusan KPK yang mempidanakan Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Nursalim (IN). Pertama, tidak ada alasan lagi bagi KPK untuk melanjutkan perkara suami istri tersebut karena faktor utama yang dijadikan sandaran sudah hilang.
"KPK mendasarkan pada keputusan majelis hakim Tipikor bahwa SAT "bersama-sama" dalam melakukan kejahatannya. Kini MA telah membatalkan keputusan tersebut sehingga tidak ada alasan lagi untuk mentersangkakan SN dan istrinya," katanya.
Kedua, majelis kasasi menetapkan bahwa perkara ini bersifat perdata, bukan pidana. Karena itu, pemerintahlah yang harus mempermasalahkan secara perdata jika memang ada kerugian dalam bentuk apapun.
Hingga kini, pemerintah tidak mempermasalahkan hal itu. Pemerintah sangat memahami duduk persoalan sebenarnya, bahkan mengakui tidak ada misrepresentasi sehingga tidak ada kerugian negara.
Ketiga, lanjut Eko, keputusan kasasi tersebut memperkuat alasan bagi kuasa hukum SN untuk mempersoalkan dan menggugat audit investigatif BPK yang dinilai cacat hukum. Audit tersebut dilakukan atas permintaan KPK sebagai dasar tuntutan pidana yang disangkakan kepada SAT, juga terhadap SN dan IN.
"Kini telah sangat tegas dinyatakan oleh hakim kasasi bahwa tidak ada unsur pidana dalam perkara ini. Maka relevansi hasil audit BPK tersebut sangat lemah," paparnya.
Eko memandang bisa saja keputusan MA membebaskan SAT tersebut sangat mengecewakan pada aktifis anti korupsi. "Itu biasa saja. Mereka semestinya menyadari bahwa hakim memutuskan perkara sesuai hati nuraninya, bukan atas dukungan atau tekanan massa. Hukum dan keadilan telah ditegakkan dan kita harus menerimanya dengan lapang dada," jelas Eko.
Dia menilai dengan optimisme yang tinggi bahwa masa depan penegakan hukum di Indonesia akan semakin baik. Masih banyak hakim yang memiliki integritas tinggi, yang mampu memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan.
Sebelumnya, Kepala Biro Humas MA Abdullah menyampaikan kepada media massa bahwa keputusan kasasi tersebut tidak bulat karena ada dissenting opinion. "Jadi tidak bulat. Ketua majelis Salman Luthan sependapat judex facti pengadilan tingkat banding. Hakim anggota I, Syamsul Rakan Chaniago, berpendapat bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan anggota 2, Mohamad Asikin, berpendapat bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan hukum adminsitrasi," kata Abdullah.
Dengan keputusan tersebut SAT melenggang keluar dari tahanan dan bisa menghirup udara bebas tanpa ada ketakutan akan disidangkan lagi dalam perkara dugaan penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian negara.
Sesuai ketentuan Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sudah diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi, jaksa tidak bisa lagi melakukan upaya hukum Peninjauan Perkara (PK). Dengan demikian maka keputusan pembebasan SAT sudah bersifat tetap (inkracht).
"Para hakim agung telah membatalkan keputusan pengadilan tingkat pertama dan banding, karena mereka tidak hanya menerapkan hukum yang tersurat, melainkan juga yang tersirat, demi mewujudkan rasa keadilan," kata Eko di Jakarta, Sabtu (13/7/2019).
Menurut Eko, ini merupakan keputusan yang maju karena diambil oleh hakim yang berpikiran bebas dan merdeka serta memiliki kejujuran, kejernihan hati dan pikiran.
Keputusan ini bisa menjadi yurisprudensi karena untuk pertama kali pengadilan memutus bebas terpidana korupsi dan mengalahkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). SAT sebelumnya sudah dihukum 15 tahun oleh pengadilan banding, yang memperberat keputusan majelis tingkat pertama.
"Hampir tidak ada pengamat hukum, apalagi para aktifis anti korupsi, yang menduga SAT akan bebas. Para pemerhati umumnya meragukan keberanian para hakim dalam memutus perkara korupsi dengan anggapan bahwa mereka enggan mengambil resiko berhadapan dengan KPK. Kini anggapan tersebut terbantahkan," jelasnya.
Dengan keputusan tersebut, menurut Eko, ada beberapa hal yang perlu dicermati terkait keputusan KPK yang mempidanakan Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Nursalim (IN). Pertama, tidak ada alasan lagi bagi KPK untuk melanjutkan perkara suami istri tersebut karena faktor utama yang dijadikan sandaran sudah hilang.
"KPK mendasarkan pada keputusan majelis hakim Tipikor bahwa SAT "bersama-sama" dalam melakukan kejahatannya. Kini MA telah membatalkan keputusan tersebut sehingga tidak ada alasan lagi untuk mentersangkakan SN dan istrinya," katanya.
Kedua, majelis kasasi menetapkan bahwa perkara ini bersifat perdata, bukan pidana. Karena itu, pemerintahlah yang harus mempermasalahkan secara perdata jika memang ada kerugian dalam bentuk apapun.
Hingga kini, pemerintah tidak mempermasalahkan hal itu. Pemerintah sangat memahami duduk persoalan sebenarnya, bahkan mengakui tidak ada misrepresentasi sehingga tidak ada kerugian negara.
Ketiga, lanjut Eko, keputusan kasasi tersebut memperkuat alasan bagi kuasa hukum SN untuk mempersoalkan dan menggugat audit investigatif BPK yang dinilai cacat hukum. Audit tersebut dilakukan atas permintaan KPK sebagai dasar tuntutan pidana yang disangkakan kepada SAT, juga terhadap SN dan IN.
"Kini telah sangat tegas dinyatakan oleh hakim kasasi bahwa tidak ada unsur pidana dalam perkara ini. Maka relevansi hasil audit BPK tersebut sangat lemah," paparnya.
Eko memandang bisa saja keputusan MA membebaskan SAT tersebut sangat mengecewakan pada aktifis anti korupsi. "Itu biasa saja. Mereka semestinya menyadari bahwa hakim memutuskan perkara sesuai hati nuraninya, bukan atas dukungan atau tekanan massa. Hukum dan keadilan telah ditegakkan dan kita harus menerimanya dengan lapang dada," jelas Eko.
Dia menilai dengan optimisme yang tinggi bahwa masa depan penegakan hukum di Indonesia akan semakin baik. Masih banyak hakim yang memiliki integritas tinggi, yang mampu memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan.
Sebelumnya, Kepala Biro Humas MA Abdullah menyampaikan kepada media massa bahwa keputusan kasasi tersebut tidak bulat karena ada dissenting opinion. "Jadi tidak bulat. Ketua majelis Salman Luthan sependapat judex facti pengadilan tingkat banding. Hakim anggota I, Syamsul Rakan Chaniago, berpendapat bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan anggota 2, Mohamad Asikin, berpendapat bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan hukum adminsitrasi," kata Abdullah.
Dengan keputusan tersebut SAT melenggang keluar dari tahanan dan bisa menghirup udara bebas tanpa ada ketakutan akan disidangkan lagi dalam perkara dugaan penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian negara.
Sesuai ketentuan Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sudah diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi, jaksa tidak bisa lagi melakukan upaya hukum Peninjauan Perkara (PK). Dengan demikian maka keputusan pembebasan SAT sudah bersifat tetap (inkracht).
(ven)