Cukai Rokok Naik Disebut Tak Sumbang Banyak ke Penerimaan Negara
A
A
A
JAKARTA - Kenaikan cukai rokok sebesar 25% menurut ekonom, tidak akan menyumbang banyak ke penerimaan negara. Pasalnya kenaikan ini tetap tidak dapat mengkompensasi penurunan penerimaan pada golongan I Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret Putih Mesin (SPM) Sigaret Kretek Tangan (SKT).
"Karena itu, saya agak pesimis bahwa rencana kenaikan cukai rokok sebesar 23% benar-benar mencapai target penerimaan sebesar Rp.171,9 triliun," ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad saat dihubungi di Jakarta.
Target penerimaan cukai dalam RAPBN yang ditetapkan sebesar Rp171,9 triliun cukup besar atau terjadi kenaikan sebesar 8,2% dibandingkan Outlook 2019. Tetapi perlu diingat bahwa pertumbuhan alamiah cukai dalam lima tahun terakhir hanya sebesar 3,35%. Artinya ada batas kenaikan harga rokok yang membuat konsumsi rokok berkurang.
Sehingga apabila harga rokok dinaikkan, maka konsumsi rokok berkurang khususnya untuk rokok yang masuk dalam golongan I seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.010/2018 tanggal 12 Desember 2018. Padahal golongan ini yang pangsanya paling besar di antara golongan lainnya. "Implikasinya penerimaan negara dari cukai akan berkurang dari golongan ini," katanya.
Di sisi lain, pada golongan II B di SKM, golongan II B di SPM dan golongan III di SKM yang justru berpotensi meningkat konsumsinya karena harganya paling murah di antara golongan tarif diatasnya. Masyarakat tidak punya pilihan karena rokok tersebut paling murah dan produsen akan meningkatkan produksinya. Meski demikian, karena tarif cukai ini paling rendah dan jumlahnya lebih sedikit, maka tetap tidak dapat mengkompensasi penurunan penerimaan pada golongan I di atas.
Tauhid mengungkapkan, pemerintah cukup ambisius, meski tahun lalu tidak ada kenaikan sehingga tahun ini dinaikkan dua kali lipatnya. "Biasanya rumus umum kenaikan tersebut pertumbuhan ekonomi, inflasi dan faktor lainnya yang dikalkulasikan kurang lebih 10%. Namun sekarang justru lebih besar," ungkapnya.
Ia juga mengaku cukup kuatir dengan kenaikan tarif cukai ini pada golongan SKT yang berdampak pada jumlah produksi yang semakin berkurang dan imbasnya akan terjadi penurunan tenaga kerja yang terlibat pada industri ini.
"Jangan sampai kebijakan ini pada akhirnya meningkatkan pendapatan negara, namun juga berdampak pada penurunan produksi yang imbasnya akan berdampak pada keberlangsungan tenaga kerja," ungkap Tauhid.
Satu lagi bahwa apabila kenaikan pada golongan II B di SKM, golongan II B di SPM dan golongan III di SKM terlalu tinggi maka akan memunculkan peluang rokok illegal muncul kembali sehingga ini akan berdampak pada penerimaan negara juga justru berkurang.
"Karena itu, saya agak pesimis bahwa rencana kenaikan cukai rokok sebesar 23% benar-benar mencapai target penerimaan sebesar Rp.171,9 triliun," ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad saat dihubungi di Jakarta.
Target penerimaan cukai dalam RAPBN yang ditetapkan sebesar Rp171,9 triliun cukup besar atau terjadi kenaikan sebesar 8,2% dibandingkan Outlook 2019. Tetapi perlu diingat bahwa pertumbuhan alamiah cukai dalam lima tahun terakhir hanya sebesar 3,35%. Artinya ada batas kenaikan harga rokok yang membuat konsumsi rokok berkurang.
Sehingga apabila harga rokok dinaikkan, maka konsumsi rokok berkurang khususnya untuk rokok yang masuk dalam golongan I seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.010/2018 tanggal 12 Desember 2018. Padahal golongan ini yang pangsanya paling besar di antara golongan lainnya. "Implikasinya penerimaan negara dari cukai akan berkurang dari golongan ini," katanya.
Di sisi lain, pada golongan II B di SKM, golongan II B di SPM dan golongan III di SKM yang justru berpotensi meningkat konsumsinya karena harganya paling murah di antara golongan tarif diatasnya. Masyarakat tidak punya pilihan karena rokok tersebut paling murah dan produsen akan meningkatkan produksinya. Meski demikian, karena tarif cukai ini paling rendah dan jumlahnya lebih sedikit, maka tetap tidak dapat mengkompensasi penurunan penerimaan pada golongan I di atas.
Tauhid mengungkapkan, pemerintah cukup ambisius, meski tahun lalu tidak ada kenaikan sehingga tahun ini dinaikkan dua kali lipatnya. "Biasanya rumus umum kenaikan tersebut pertumbuhan ekonomi, inflasi dan faktor lainnya yang dikalkulasikan kurang lebih 10%. Namun sekarang justru lebih besar," ungkapnya.
Ia juga mengaku cukup kuatir dengan kenaikan tarif cukai ini pada golongan SKT yang berdampak pada jumlah produksi yang semakin berkurang dan imbasnya akan terjadi penurunan tenaga kerja yang terlibat pada industri ini.
"Jangan sampai kebijakan ini pada akhirnya meningkatkan pendapatan negara, namun juga berdampak pada penurunan produksi yang imbasnya akan berdampak pada keberlangsungan tenaga kerja," ungkap Tauhid.
Satu lagi bahwa apabila kenaikan pada golongan II B di SKM, golongan II B di SPM dan golongan III di SKM terlalu tinggi maka akan memunculkan peluang rokok illegal muncul kembali sehingga ini akan berdampak pada penerimaan negara juga justru berkurang.
(akr)