Indonesia Kirim Balik 428 Kontainer Berisi Limbah B3
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah bersikap tegas terhadap importir sampah yang melanggar aturan. Importir pun diminta melakukan reekspor terhadap 428 kontainer yang berisi skrap plastik tercampur sampah dan/atau limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) ke negara asal. Pelaksanaan reekspor dikoordinasikan oleh Bea dan Cukai.
Penegasan tersebut ditandaskan Dirjen Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati, kemarin. Menurut Vivien, penanganan importasi limbah ilegal ini memerlukan suatu proses yang tidak sebentar.
Maka, lanjutnya, secara nasional diperlukan penguatan pemahaman antarinstansi terkait untuk penanganannya termasuk juga dalam melakukan pengawasan di border dan di post border. Diperlukan data dan informasi yang akurat serta prosedur yang jelas bilamana akan dilakukan pengembalian limbah illegal tersebut ke negara asal.
Menurut Vivien, dalam penanganan permasalahan reekspor kontainer ilegal karena berisi limbah non B3 dalam kondisi kotor dan/atau terkontaminasi dan tercampur limbah B3 dan/atau sampah yang harus dikembalikan ke negara asal, maka penanganan yang sedang dan akan dilakukan berdasarkan mekanisme B to B, berdasarkan kontrak kerja sama importir dengan eksportir dibawah koordinasi Bea Cukai dan sesuai Permendag 31 Tahun 2016 terhitung pelaksanaanya dalam waktu 90 hari.
Namun, ujarnya, jika pelaksanaan reekspor tersebut tidak terlaksana dalam mekanisme B to B, maka akan ditindaklanjuti dengan mekanisme Konvensi Basel melalui notifikasi antara focal point Pemerintah Indonesia dengan focal point negara asal limbah atau dengan focal point negara eksportir.
Kemudian, seandainya tidak ada tanggapan dari negara asal limbah dan negara eksportir, maka akan dilakukan pendekatan bilateral melalui jalur negosiasi Kementerian Luar Negeri dan melalui Sekretariat Konvensi Basel.
Sedangkan paksaan reekspor terhadap importir adalah dengan perintah pengadilan. “Dalam hal reekspor tidak berjalan dengan baik, maka Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) KLHK akan menindak tegas jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak reekspor ke negara asal,” tandas Vivien Ratnawati.
Selama periode April-September 2019, KLHK telah memeriksa total 882 kontainer berisi skrap plastik dan skrap kertas. Dari 882 kontainer itu, sebanyak 428 kontainer ditemukan berisi skrap plastik tercampur sampah dan/atau limbah B3 sehingga harus direekspor.
Kemudian 454 sisanya dinyatakan bersih, dan 374 kontainer di antaranya sudah direekspor itu datang dari berbagai negara yaitu Prancis, Jerman, Belanda, Slovenia, Belgia, Inggris, Selandia Baru, Australia, Amerika, Spanyol, Kanada, Hongkong, dan Jepang. KLHK juga sudah mengeluarkan surat rekomendasi agar importir melakukan reekspor terhadap 428 kontainer yang bermasalah tersebut.
Diharapkan, dengan penguatan kerja sama dan koordinasi yang baik antara semua pihak baik internal KLHK maupun dengan instansi lainnya, permasalahan importasi limbah non B3 yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut dapat segera tertangani, sehingga dapat mencegah masuknya limbah ilegal ke Indonesia. “Harga diri bangsa Indonesia tetap harus dijaga dengan menjaga Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan sampah dunia,” tandasnya.
Vivien mengungkapkan, hingga 30 Oktober 2019, ratusan kontainer impor limbah non B3 yang masuk ke wilayah Indonesia melalui sejumlah pelabuhan yaitu Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Batu Ampar, Pelabuhan Tanjung Priok, dan Kawasan Berikat Banten telah ditahan oleh Bea dan Cukai setempat.
Melalui hasil pemeriksaan bersama antara KLHK dengan Bea Cukai, teridentifikasi bahwa kontainer yang berisi limbah non B3 tersebut sebagian terkontaminasi limbah B3 dan/atau tercampur sampah
“Hal ini tentu saja menjadi sorotan serius dan mengkhawatirkan karena jika ini tidak segera dicegah dan ditangani, maka Indonesia hanya akan menjadi tempat sampah bagi negara lain. Ini dapat mengakibatkan wilayah Indonesia terbebani limbah dan sampah serta residu yang dihasilkannya, sehingga berdampak pada menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan,” paparnya.
Menurut Vivien, tidak diperbolehkan masuknya sampah ke wilayah Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan larangan tentang masuknya limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) ke Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Merujuk pada undang-undang tersebut di atas, lanjut Vivien, maka tidak diperbolehkan memasukkan limbah dan sampah ke dalam wilayah NKRI. Pengecualiannya diberlakukan untuk limbah yang diatur oleh perundang-undangan lainnya.
Melalui Peraturan Kementerian Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non B3 yang saat ini sudah akan diterbitkan peraturan baru penggantinya, maka diperbolehkan untuk impor 6 komoditi limbah non B3 ke dalam wilayah NKRI. Yakni skrap logam, kertas, plastik, kaca, karet dan tekstil.
“KLHK sendiri secara serius menangani permasalahan importasi limbah non B3 yang tercampur sampah dan/atau limbah B3 tersebut. Berbagai upaya dilakukan baik yang sifatnya langsung dalam menangani pemeriksaan kontainer maupun upaya preventif lainnya seperti memperketat prosedur evaluasi terhadap fasilitas pengelolaan limbah importir dan neraca massa penggunaan bahan baku dan limbah yang dihasilkan,” ungkapnya.
Selain itu, KLHK juga mendukung direvisinya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non B3 serta perbaikan tata kelola sampah dalam mendukung penyediaan bahan baku industri dalam negeri.
Penegasan tersebut ditandaskan Dirjen Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati, kemarin. Menurut Vivien, penanganan importasi limbah ilegal ini memerlukan suatu proses yang tidak sebentar.
Maka, lanjutnya, secara nasional diperlukan penguatan pemahaman antarinstansi terkait untuk penanganannya termasuk juga dalam melakukan pengawasan di border dan di post border. Diperlukan data dan informasi yang akurat serta prosedur yang jelas bilamana akan dilakukan pengembalian limbah illegal tersebut ke negara asal.
Menurut Vivien, dalam penanganan permasalahan reekspor kontainer ilegal karena berisi limbah non B3 dalam kondisi kotor dan/atau terkontaminasi dan tercampur limbah B3 dan/atau sampah yang harus dikembalikan ke negara asal, maka penanganan yang sedang dan akan dilakukan berdasarkan mekanisme B to B, berdasarkan kontrak kerja sama importir dengan eksportir dibawah koordinasi Bea Cukai dan sesuai Permendag 31 Tahun 2016 terhitung pelaksanaanya dalam waktu 90 hari.
Namun, ujarnya, jika pelaksanaan reekspor tersebut tidak terlaksana dalam mekanisme B to B, maka akan ditindaklanjuti dengan mekanisme Konvensi Basel melalui notifikasi antara focal point Pemerintah Indonesia dengan focal point negara asal limbah atau dengan focal point negara eksportir.
Kemudian, seandainya tidak ada tanggapan dari negara asal limbah dan negara eksportir, maka akan dilakukan pendekatan bilateral melalui jalur negosiasi Kementerian Luar Negeri dan melalui Sekretariat Konvensi Basel.
Sedangkan paksaan reekspor terhadap importir adalah dengan perintah pengadilan. “Dalam hal reekspor tidak berjalan dengan baik, maka Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) KLHK akan menindak tegas jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak reekspor ke negara asal,” tandas Vivien Ratnawati.
Selama periode April-September 2019, KLHK telah memeriksa total 882 kontainer berisi skrap plastik dan skrap kertas. Dari 882 kontainer itu, sebanyak 428 kontainer ditemukan berisi skrap plastik tercampur sampah dan/atau limbah B3 sehingga harus direekspor.
Kemudian 454 sisanya dinyatakan bersih, dan 374 kontainer di antaranya sudah direekspor itu datang dari berbagai negara yaitu Prancis, Jerman, Belanda, Slovenia, Belgia, Inggris, Selandia Baru, Australia, Amerika, Spanyol, Kanada, Hongkong, dan Jepang. KLHK juga sudah mengeluarkan surat rekomendasi agar importir melakukan reekspor terhadap 428 kontainer yang bermasalah tersebut.
Diharapkan, dengan penguatan kerja sama dan koordinasi yang baik antara semua pihak baik internal KLHK maupun dengan instansi lainnya, permasalahan importasi limbah non B3 yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut dapat segera tertangani, sehingga dapat mencegah masuknya limbah ilegal ke Indonesia. “Harga diri bangsa Indonesia tetap harus dijaga dengan menjaga Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan sampah dunia,” tandasnya.
Vivien mengungkapkan, hingga 30 Oktober 2019, ratusan kontainer impor limbah non B3 yang masuk ke wilayah Indonesia melalui sejumlah pelabuhan yaitu Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Batu Ampar, Pelabuhan Tanjung Priok, dan Kawasan Berikat Banten telah ditahan oleh Bea dan Cukai setempat.
Melalui hasil pemeriksaan bersama antara KLHK dengan Bea Cukai, teridentifikasi bahwa kontainer yang berisi limbah non B3 tersebut sebagian terkontaminasi limbah B3 dan/atau tercampur sampah
“Hal ini tentu saja menjadi sorotan serius dan mengkhawatirkan karena jika ini tidak segera dicegah dan ditangani, maka Indonesia hanya akan menjadi tempat sampah bagi negara lain. Ini dapat mengakibatkan wilayah Indonesia terbebani limbah dan sampah serta residu yang dihasilkannya, sehingga berdampak pada menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan,” paparnya.
Menurut Vivien, tidak diperbolehkan masuknya sampah ke wilayah Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan larangan tentang masuknya limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) ke Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Merujuk pada undang-undang tersebut di atas, lanjut Vivien, maka tidak diperbolehkan memasukkan limbah dan sampah ke dalam wilayah NKRI. Pengecualiannya diberlakukan untuk limbah yang diatur oleh perundang-undangan lainnya.
Melalui Peraturan Kementerian Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non B3 yang saat ini sudah akan diterbitkan peraturan baru penggantinya, maka diperbolehkan untuk impor 6 komoditi limbah non B3 ke dalam wilayah NKRI. Yakni skrap logam, kertas, plastik, kaca, karet dan tekstil.
“KLHK sendiri secara serius menangani permasalahan importasi limbah non B3 yang tercampur sampah dan/atau limbah B3 tersebut. Berbagai upaya dilakukan baik yang sifatnya langsung dalam menangani pemeriksaan kontainer maupun upaya preventif lainnya seperti memperketat prosedur evaluasi terhadap fasilitas pengelolaan limbah importir dan neraca massa penggunaan bahan baku dan limbah yang dihasilkan,” ungkapnya.
Selain itu, KLHK juga mendukung direvisinya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non B3 serta perbaikan tata kelola sampah dalam mendukung penyediaan bahan baku industri dalam negeri.
(don)