Petani Tembakau Jabar Minta Pemerintah Batalkan Kenaikan Cukai Rokok
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah menaikkan cukai dan harga jual eceran (HJE) rokok masih ditolak petani. Suara penolakan kali ini berasal dari ratusan petani tembakau asal Cianjur, Ciamis, Banjar, Sumedang, Majalengka, Garut, Pangandaran, Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Barat.
Tidak tanggung-tanggung, mereka menggeruduk Jakarta dengan menggelar aksi demo di depan Gedung Kementerian Keuangan di kawasan Lapangan Banteng. Bukan itu saja, mereka juga beraksi di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Para pendemo mengajukan dua tuntutan. Pertama, menuntut dicabut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 152/ 2019 tentang kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok. Kedua, revisi PMK No.222 / PMK.07/ 2017 tentang Penggunaan, Pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT).
"Kami menolak PMK No 152/ 2019. PMK tersebut berisi kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok yang sangat tidak manusiawi dan sangat merugikan petani dan juga buruh di industri rokok dan tembakau. Kami menuntut keadilan dari pemerintah. Kami menolak kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok yang sangat tinggi tersebut. Kami menuntut pemerintah menarik atau membatalkan PMK tersebut," papar Ketua APTI Jawa Barat, Suryana di sela-sela aksi demo para petani tembakau di Jakarta, Senin (4/11/2019).
Suryana menjelaskan, kenaikan cukai rokok dan HJE Rokok sebagaimana tertuang dalam PMK No 152/2019 terlalu besar. Kenaikan tersebut menyebabkan berkurangnya pembelian rokok yang berakibat pada berkurangnya jumlah produksi rokok dan berkurangnya pembelian tembakau hasil perkebunan petani tembakau Jawa Barat dan juga lainnya oleh produsen rokok nasional.
Selain itu, sambung dia, tingginya harga jual rokok menyebabkan semakin banyaknya rokok-rokok ilegal yang beredar di masyarakat. Hal ini bukan hanya merugikan petani, buruh industri rokok dan tembakau, tapi juga merugikan pemerintah. Karena negara akan kehilangan pendapatan dari cukai lantaran banyaknya rokok ilegal.
"Kalaupun harus naik, naiknya tidak sedrastis saat ini. Kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok saat ini mencapai 23% dan 35%. Harusnya naiknya bertahap, misalnya 10% dan periode berikutnya 7%, demikian seterusnya," saran Suryana.
Masyarakat Petani Tembakau Jawa Barat juga keberatan dengan kenaikan HJE yang berada di atas angka kewajaran, yakni 35%. Lebih tinggi dari pada angka kenaikan cukai.
Menurut Suryana, harusnya kenaikan HJE itu sebanding dengan besaran kenaikan cukai rokok. Jika kenaikan cukai rokok 10%, maka kenaikan HJE juga tidak lebih dari 10%. Bukan seperti saat ini, di atas 20%.
"Kenaikan HJE itu seharusnya seimbang dengan kenaikan cukai rokok. Selain itu bertahap, bukan sekaligus naik. Jika kenaikannya sekaligus apalagi kenaikan HJE jauh lebih tinggi dari pada kenaikan cukai, hal ini memberatkan petani tembakau. Sekarang sudah kami rasakan. Produsen rokok mengurangi pembelian tembakau hasil perkebunan para petani tembakau dari setiap daerah," keluh Suryana.
Perubahan Alokasi DBHCHT
Selain masalah cukai, Suryana juga menyorot masalah kedua yang dikeluhkan ratusan anggotanya kepada pemerintah, yakni direvisinya PMK No 222/ PMK.07/2017 tentang Penggunaan, Pemanfaatan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Dalam peraturan tersebut disebutkan penggunaan DBHCHT pengalokasiannya minimal 50% untuk kesehatan.
"Kami meminta peraturan itu direvisi. Harusnya bukan minimal 50% untuk kesehatan, melainkan maksimal 50% untuk kesehatan. Jika minimal 50% untuk kesehatan, bisa jadi keseluruhan dana DBHCHT untuk kesehatan. Padahal masih banyak sektor lain yang harus menerima pemanfaatan dana DBHCHT," tandasnya seraya meminta aturan itu direvisi.
"Bukan minimal 50% untuk kesehatan, tapi maksimal (50%) untuk kesehatan. Selebihnya untuk bidang lain yang juga bermanfaat untuk pembangunan masyarakat, daerah penerima dan bagi hasil cukai dan tembakau," papar Suryana.
Pihaknya berharap, pemerintah khususnya Kementerian Keuangan mendengarkan aspirasinya sebagai rakyat, sekaligus stakeholder dari industri rokok dan tembakau di Tanah Air. "Karena itu, kami berharap pemerintah, baik Presiden maupun Kementerian Keuangan dapat mengabulkan permintaan atau tuntutan kami," pungkasnya.
Tidak tanggung-tanggung, mereka menggeruduk Jakarta dengan menggelar aksi demo di depan Gedung Kementerian Keuangan di kawasan Lapangan Banteng. Bukan itu saja, mereka juga beraksi di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Para pendemo mengajukan dua tuntutan. Pertama, menuntut dicabut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 152/ 2019 tentang kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok. Kedua, revisi PMK No.222 / PMK.07/ 2017 tentang Penggunaan, Pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT).
"Kami menolak PMK No 152/ 2019. PMK tersebut berisi kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok yang sangat tidak manusiawi dan sangat merugikan petani dan juga buruh di industri rokok dan tembakau. Kami menuntut keadilan dari pemerintah. Kami menolak kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok yang sangat tinggi tersebut. Kami menuntut pemerintah menarik atau membatalkan PMK tersebut," papar Ketua APTI Jawa Barat, Suryana di sela-sela aksi demo para petani tembakau di Jakarta, Senin (4/11/2019).
Suryana menjelaskan, kenaikan cukai rokok dan HJE Rokok sebagaimana tertuang dalam PMK No 152/2019 terlalu besar. Kenaikan tersebut menyebabkan berkurangnya pembelian rokok yang berakibat pada berkurangnya jumlah produksi rokok dan berkurangnya pembelian tembakau hasil perkebunan petani tembakau Jawa Barat dan juga lainnya oleh produsen rokok nasional.
Selain itu, sambung dia, tingginya harga jual rokok menyebabkan semakin banyaknya rokok-rokok ilegal yang beredar di masyarakat. Hal ini bukan hanya merugikan petani, buruh industri rokok dan tembakau, tapi juga merugikan pemerintah. Karena negara akan kehilangan pendapatan dari cukai lantaran banyaknya rokok ilegal.
"Kalaupun harus naik, naiknya tidak sedrastis saat ini. Kenaikan cukai dan harga jual eceran rokok saat ini mencapai 23% dan 35%. Harusnya naiknya bertahap, misalnya 10% dan periode berikutnya 7%, demikian seterusnya," saran Suryana.
Masyarakat Petani Tembakau Jawa Barat juga keberatan dengan kenaikan HJE yang berada di atas angka kewajaran, yakni 35%. Lebih tinggi dari pada angka kenaikan cukai.
Menurut Suryana, harusnya kenaikan HJE itu sebanding dengan besaran kenaikan cukai rokok. Jika kenaikan cukai rokok 10%, maka kenaikan HJE juga tidak lebih dari 10%. Bukan seperti saat ini, di atas 20%.
"Kenaikan HJE itu seharusnya seimbang dengan kenaikan cukai rokok. Selain itu bertahap, bukan sekaligus naik. Jika kenaikannya sekaligus apalagi kenaikan HJE jauh lebih tinggi dari pada kenaikan cukai, hal ini memberatkan petani tembakau. Sekarang sudah kami rasakan. Produsen rokok mengurangi pembelian tembakau hasil perkebunan para petani tembakau dari setiap daerah," keluh Suryana.
Perubahan Alokasi DBHCHT
Selain masalah cukai, Suryana juga menyorot masalah kedua yang dikeluhkan ratusan anggotanya kepada pemerintah, yakni direvisinya PMK No 222/ PMK.07/2017 tentang Penggunaan, Pemanfaatan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Dalam peraturan tersebut disebutkan penggunaan DBHCHT pengalokasiannya minimal 50% untuk kesehatan.
"Kami meminta peraturan itu direvisi. Harusnya bukan minimal 50% untuk kesehatan, melainkan maksimal 50% untuk kesehatan. Jika minimal 50% untuk kesehatan, bisa jadi keseluruhan dana DBHCHT untuk kesehatan. Padahal masih banyak sektor lain yang harus menerima pemanfaatan dana DBHCHT," tandasnya seraya meminta aturan itu direvisi.
"Bukan minimal 50% untuk kesehatan, tapi maksimal (50%) untuk kesehatan. Selebihnya untuk bidang lain yang juga bermanfaat untuk pembangunan masyarakat, daerah penerima dan bagi hasil cukai dan tembakau," papar Suryana.
Pihaknya berharap, pemerintah khususnya Kementerian Keuangan mendengarkan aspirasinya sebagai rakyat, sekaligus stakeholder dari industri rokok dan tembakau di Tanah Air. "Karena itu, kami berharap pemerintah, baik Presiden maupun Kementerian Keuangan dapat mengabulkan permintaan atau tuntutan kami," pungkasnya.
(ven)