Sengketa Piutang GWP Terkait Bos Hotel Kuta Paradiso Harus Diperiksa Independen
A
A
A
DENPASAR - Pemeriksaan terkait perkara pidana yang menjerat pemilik dan Direktur PT Geria Wijaya Prestige/GWP (Hotel Kuta Paradiso) diharapkan bisa berjalan independen dan memutus perkara berdasarkan fakta hukum. Sebelumnya tim kuasa hukum pemilik GWP menilai tidak ada legal standing pelapor terkait dengan penjualan saham dari Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi yang terjadi pada 14 November 2011.
“Kami sangat berharap hakim independen. Memeriksa dan memutus perkara berdasarkan fakta hukum,” kata Petrus Bala Pattyona, tim kuasa hukum terdakwa Harijanto Karjadi, seusai sidang lanjutan tanggapan jaksa penuntut umum (JPU) atas eksepsi (nota keberatan) terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa (26/11/2019).
Petrus mengatakan hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut harus dalam keadaan bebas tanpa pengaruh dan tekanan pihak manapun sesuai yang diamanatkan konstitusi. “Apabila kelak terbukti tidak ada kejahatan yang dilakukan terdakwa dalam perkara tersebut, maka semestinya tidak ada penghukuman. Mari kita sama-sama jaga martabat dan wibawa peradilan,” katanya.
Sebelumnya, pada sidang dengan agenda pembacaan eksepsi pada Selasa (19/11/2019), ketua majelis hakim mengingatkan bahwa insiden pemukulan terhadap majelis hakim seperti yang terjadi pada pembacaan putusan perkara perdata No. 223/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst, tanggal 18 Juli 2019 di PN Jakarta Pusat tidak terjadi dalam pemeriksaan perkara atas nama terdakwa Harijanto Karjadi.
Seperti diketahui, saat hakim membacakan pertimbangan putusan perkara perdata No. 223 di PN Jakpus, 18 Juli 2019, kuasa hukum Tomy Winata, Desrizal, tiba-tiba beranjak dari kursinya dan melepas ikat pinggang lalu menyabetkan ke arah majelis hakim. Hakim ketua Sunarso dan satu hakim anggota, Duta Baskara, terkena sabetan itu. Desrizal kemudian ditetapkan jadi tersangka penganiayaan dan perkaranya kini tengah disidangkan di PN Jakpus.
Dalam perkara gugatan wanprestasi dengan tuntutan ganti rugi lebih dari USD30 juta itu, hakim memutuskan menolak seluruh gugatan Tomy Winata terhadap PT GWP dan Harijanto Karjadi dkk.
Sebelumnya, dalam sidang di PN Denpasar, 12 November 2019, JPU yang dikoordinir I Ketut Sujaya pada intinya mendakwa Harijanto Karjadi selaku Direktur PT GWP turut terlibat dan menyetujui pemberian keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham sehubungan peristiwa pengalihan saham dari Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi dalam RUPS tanggal 14 November 2011. Akibat peristiwa tersebut, Tomy Winata selaku pelapor, merasa dirugikan lebih dari USD20 juta.
Perkara itu merupakan tindak lanjut dari laporan polisi yang dibuat Tomy Winata melalui kuasa hukumnya, Desrizal, pada 27 Februari 2018 ke Ditreskrimsus Polda Bali. Tomy Winata membuat laporan setelah sebelumnya membeli dan menerima pengalihan hak tagih piutang PT GWP dari Bank China Construction Bank Indonesia (CCB) pada 12 Februari 2018.
Petrus Bala Pattyona dkk selaku penasihat hukum Harijanto Karjadi menilai Tomy Winata tak punya legal standing (kepentingan hukum) terkait peristiwa yang terjadi pada November 2011 tersebut. Di sisi lain, pengalihan hak tagih piutang (cessie) dari Bank CCB kepada Tomy Winata telah diputus tidak mengikat secara hukum seperti tertuang dalam putusan perkara perdata No. 555/pdt/G./2019/Jkt. Utr.
Sementara, dalam gugatan wanprestasi yang diajukan Tomy Winata terhadap PT GWP dan penjaminnya, Harijanto Karjadi dkk, juga telah ditolak seluruhnya oleh PN Jakarta Pusat dalam putusan perkara No. 223/pdt.G/Jkt. Pst. Terkait dua putusan perkara perdata tersebut, kuasa hukum Tomy Winata, Maqdir Ismail, diketahui mengajukan banding.
“Seluruh kerugian sebagaimana disebutkan oleh JPU yang katanya dialami oleh Tomy Winata sudah digugat oleh yang bersangkutan dalam perkara No. 223 di PN Jakarta Pusat, yang nyatanya ditolak majelis hakim. Justru sebaliknya, dalam perkara No. 555 di PN Jakarta Utara, Fireworks Ventures Limited yang dinyatakan telah dirugikan oleh Bank CCB dan Tomy Winata,” ungkap Petrus Bala Pattyona.
“Kami sangat berharap hakim independen. Memeriksa dan memutus perkara berdasarkan fakta hukum,” kata Petrus Bala Pattyona, tim kuasa hukum terdakwa Harijanto Karjadi, seusai sidang lanjutan tanggapan jaksa penuntut umum (JPU) atas eksepsi (nota keberatan) terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa (26/11/2019).
Petrus mengatakan hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut harus dalam keadaan bebas tanpa pengaruh dan tekanan pihak manapun sesuai yang diamanatkan konstitusi. “Apabila kelak terbukti tidak ada kejahatan yang dilakukan terdakwa dalam perkara tersebut, maka semestinya tidak ada penghukuman. Mari kita sama-sama jaga martabat dan wibawa peradilan,” katanya.
Sebelumnya, pada sidang dengan agenda pembacaan eksepsi pada Selasa (19/11/2019), ketua majelis hakim mengingatkan bahwa insiden pemukulan terhadap majelis hakim seperti yang terjadi pada pembacaan putusan perkara perdata No. 223/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst, tanggal 18 Juli 2019 di PN Jakarta Pusat tidak terjadi dalam pemeriksaan perkara atas nama terdakwa Harijanto Karjadi.
Seperti diketahui, saat hakim membacakan pertimbangan putusan perkara perdata No. 223 di PN Jakpus, 18 Juli 2019, kuasa hukum Tomy Winata, Desrizal, tiba-tiba beranjak dari kursinya dan melepas ikat pinggang lalu menyabetkan ke arah majelis hakim. Hakim ketua Sunarso dan satu hakim anggota, Duta Baskara, terkena sabetan itu. Desrizal kemudian ditetapkan jadi tersangka penganiayaan dan perkaranya kini tengah disidangkan di PN Jakpus.
Dalam perkara gugatan wanprestasi dengan tuntutan ganti rugi lebih dari USD30 juta itu, hakim memutuskan menolak seluruh gugatan Tomy Winata terhadap PT GWP dan Harijanto Karjadi dkk.
Sebelumnya, dalam sidang di PN Denpasar, 12 November 2019, JPU yang dikoordinir I Ketut Sujaya pada intinya mendakwa Harijanto Karjadi selaku Direktur PT GWP turut terlibat dan menyetujui pemberian keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham sehubungan peristiwa pengalihan saham dari Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi dalam RUPS tanggal 14 November 2011. Akibat peristiwa tersebut, Tomy Winata selaku pelapor, merasa dirugikan lebih dari USD20 juta.
Perkara itu merupakan tindak lanjut dari laporan polisi yang dibuat Tomy Winata melalui kuasa hukumnya, Desrizal, pada 27 Februari 2018 ke Ditreskrimsus Polda Bali. Tomy Winata membuat laporan setelah sebelumnya membeli dan menerima pengalihan hak tagih piutang PT GWP dari Bank China Construction Bank Indonesia (CCB) pada 12 Februari 2018.
Petrus Bala Pattyona dkk selaku penasihat hukum Harijanto Karjadi menilai Tomy Winata tak punya legal standing (kepentingan hukum) terkait peristiwa yang terjadi pada November 2011 tersebut. Di sisi lain, pengalihan hak tagih piutang (cessie) dari Bank CCB kepada Tomy Winata telah diputus tidak mengikat secara hukum seperti tertuang dalam putusan perkara perdata No. 555/pdt/G./2019/Jkt. Utr.
Sementara, dalam gugatan wanprestasi yang diajukan Tomy Winata terhadap PT GWP dan penjaminnya, Harijanto Karjadi dkk, juga telah ditolak seluruhnya oleh PN Jakarta Pusat dalam putusan perkara No. 223/pdt.G/Jkt. Pst. Terkait dua putusan perkara perdata tersebut, kuasa hukum Tomy Winata, Maqdir Ismail, diketahui mengajukan banding.
“Seluruh kerugian sebagaimana disebutkan oleh JPU yang katanya dialami oleh Tomy Winata sudah digugat oleh yang bersangkutan dalam perkara No. 223 di PN Jakarta Pusat, yang nyatanya ditolak majelis hakim. Justru sebaliknya, dalam perkara No. 555 di PN Jakarta Utara, Fireworks Ventures Limited yang dinyatakan telah dirugikan oleh Bank CCB dan Tomy Winata,” ungkap Petrus Bala Pattyona.
(akr)