Penerimaan Negara Rendah Jadi Tantangan Tim Ekonomi Jokowi
A
A
A
JAKARTA - Rendahnya realisasi penerimaan negara jelang akhir tahun 2019 menjadi peringatan bagi tim ekonomi Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membawa perubahan. Menurut Pengamat Ekonomi INDEF, Andri Satrio Nugoroho, baginya ada sejumlah poin yang bisa dibaca dari belum tercapainya target penerimaan negara.
Pertama, adanya pelemahan daya beli yang bisa dilihat dari rendahnya realisasi pendapatan pajak PPN Dalam Negeri yang turun 2,4% (Januari-Oktober) atau lebih dibandingkan periode sama di tahun lalu."PPn dalam negeri ini merupakan kontributor terbesar terhadap penerimaan pajak," kata Andri di Jakarta, Senin (2/12/2019).
Kedua, adanya pelemahan industri domestik yang terlihat dari PPh badan yang turun sebesar 0,7%. Lebih detil, sektor dengan kontribusi penerimaan pajak terbesar yaitu industri pengolahan turun sebesar 3,5%. Sektor yang mendukungnya seperti perdagangan juga tumbuh rendah sebesar 2,5%. "Secara makro, kombinasi rendahnya daya beli domestik dan melemahnya industri dalam negeri mampu menurunkan penerimaan pendapatan dari pajak secara signifikan," ungkapnya.
Lebih lanjut, Andri menyebut inflasi yang rendah saat ini masih belum meningkatkan daya beli masyarakat. Hal itu terang dia terlihat dari upah riil yang masih stagnan. Di sisi lain, industri masih melihat apakah ada perubahan regulasi dalam tahun transisi saat ini.
Ditambah juga melihat kondisi global saat ini yang masih belum memberikan kepastian mengenai belum turunnya tensi perang dagang. "Sehingga menahan kemampuan untuk ekspansi bisnisnya," kata Andri.
Andri tidak mau masuk terlalu jauh mengenai kinerja para menteri Jokowi. Namun dia menyesalkan keberadaan menteri-menteri di periode lalu yang tak memiliki kompetensi sesuai dengan kementerian yang dipimpin. "Kemarin cukup menyesal karena beberapa jabatan strategis diisi oleh parpol non latar belakang sesuai dengan kementerian," kata Andri.
Untuk diketahui, jajaran tim ekonomi kabinet kali ini justru dipimpin oleh petinggi partai politik, Airlangga Hartarto. Pada periode lalu, Airlangga menjabat Menteri Perindustrian. Saat masih dipimpin Airlangga, Kementerian itu secara terbuka mengakui investasi di industri pengolahan nonmigas (manufaktur) hanya mencapai Rp226,18 triliun sepanjang 2018, atau merosot 17,69 persen dari capaian tahun 2017 sebesar Rp274,8 triliun.
Terkait penerimaan negara sendiri, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2019 baru mencapai Rp 1.173,9 triliun atau hanya 65,7% dari target APBN 2019. Itu disampaikan dalam rapat dengan DPR pada 18 November lalu. Realisasi defisit APBN mencapai 1,8% terhadap PDB. Padahal desain defisit di APBN adalah 1,84 persen atau hanya tersisa ruang defisit 0,4 poin.
Pertama, adanya pelemahan daya beli yang bisa dilihat dari rendahnya realisasi pendapatan pajak PPN Dalam Negeri yang turun 2,4% (Januari-Oktober) atau lebih dibandingkan periode sama di tahun lalu."PPn dalam negeri ini merupakan kontributor terbesar terhadap penerimaan pajak," kata Andri di Jakarta, Senin (2/12/2019).
Kedua, adanya pelemahan industri domestik yang terlihat dari PPh badan yang turun sebesar 0,7%. Lebih detil, sektor dengan kontribusi penerimaan pajak terbesar yaitu industri pengolahan turun sebesar 3,5%. Sektor yang mendukungnya seperti perdagangan juga tumbuh rendah sebesar 2,5%. "Secara makro, kombinasi rendahnya daya beli domestik dan melemahnya industri dalam negeri mampu menurunkan penerimaan pendapatan dari pajak secara signifikan," ungkapnya.
Lebih lanjut, Andri menyebut inflasi yang rendah saat ini masih belum meningkatkan daya beli masyarakat. Hal itu terang dia terlihat dari upah riil yang masih stagnan. Di sisi lain, industri masih melihat apakah ada perubahan regulasi dalam tahun transisi saat ini.
Ditambah juga melihat kondisi global saat ini yang masih belum memberikan kepastian mengenai belum turunnya tensi perang dagang. "Sehingga menahan kemampuan untuk ekspansi bisnisnya," kata Andri.
Andri tidak mau masuk terlalu jauh mengenai kinerja para menteri Jokowi. Namun dia menyesalkan keberadaan menteri-menteri di periode lalu yang tak memiliki kompetensi sesuai dengan kementerian yang dipimpin. "Kemarin cukup menyesal karena beberapa jabatan strategis diisi oleh parpol non latar belakang sesuai dengan kementerian," kata Andri.
Untuk diketahui, jajaran tim ekonomi kabinet kali ini justru dipimpin oleh petinggi partai politik, Airlangga Hartarto. Pada periode lalu, Airlangga menjabat Menteri Perindustrian. Saat masih dipimpin Airlangga, Kementerian itu secara terbuka mengakui investasi di industri pengolahan nonmigas (manufaktur) hanya mencapai Rp226,18 triliun sepanjang 2018, atau merosot 17,69 persen dari capaian tahun 2017 sebesar Rp274,8 triliun.
Terkait penerimaan negara sendiri, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2019 baru mencapai Rp 1.173,9 triliun atau hanya 65,7% dari target APBN 2019. Itu disampaikan dalam rapat dengan DPR pada 18 November lalu. Realisasi defisit APBN mencapai 1,8% terhadap PDB. Padahal desain defisit di APBN adalah 1,84 persen atau hanya tersisa ruang defisit 0,4 poin.
(akr)