PT GWP Belum Lunasi Utang karena Masih Ada Sengketa Klaim Piutang
A
A
A
JAKARTA - Direktur PT Geria Wijaya Prestige (GWP) dan kuasa hukum Harijanto Karjadi menegaskan pihaknya memang belum menyelesaikan fasilitas pinjaman yang diperolehnya pada 1995 dalam pembangunan Hotel Kuta Paradiso, karena saat ini masih terjadi sengketa klaim kepemilikan piutang tersebut.
Petrus Bala Pattyona, koordinator tim kuasa hukum Harijanto Karjadi, mengatakan sengketa saling klaim kepemilikan hak tagih (cessie) piutang PT GWP itu melibatkan Fireworks Ventures Limited, dan beberapa pihak lainnya. Termasuk belakangan pengusaha Tomy Winata yang membeli porsi hak tagih piutang PT GWP yang sebelumnya diklaim Bank China Construction Bank Indonesia (CCB).
“Fireworks mengklaim memiliki seluruh hak tagih piutang PT GWP, sementara beberapa yang lainnya, termasuk Tomy Winata mengklaim memiliki sebagian hak tagih itu. Proses hukum sengketa ini masih berlangsung, dan PT GWP menunggu tuntasnya sengketa hukum tersebut,” kata Petrus dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Menurut dia, sebelum sengketa klaim hak tagih piutang PT GWP itu berkekuatan hukum tetap (inkracht), pada dasarnya belum ada satu pihak pun yang benar-benar solid secara hukum punya hak mengklaim kepemilikan piutang PT GWP, terutama yang mengklaim secara parsial atau sebagian.
Petrus memaparkan, sengketa klaim kepemilikan piutang PT GWP yang masih bergulir di pengadilan, di antaranya adalah gugatan wanprestasi yang diajukan Tomy Winata terhadap PT GWP dan Harijanto Karjadi dkk selaku penjamin dalam perkara No. 233/Pdt.G.2018/PN.Jkt.Pst di PN Jakarta Pusat.
Dalam perkara itu, Tomy Winata yang membeli hak tagih piutang dari Bank CCB di harga Rp 2 miliar pada 12 Februari 2018 melalui akta bawah tangan menuntut ganti rugi lebih dari USD30 juta kepada PT GWP serta Harijanto Karjadi dkk. Namun, seluruh gugatan itu pada 18 Juli 2019 ditolak majelis hakim. Atas putusan itu, Tomy Winata melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, mengajukan banding.
Sementara itu, Fireworks Ventures Limited mengajukan gugatan kepada Tomy Winata dan Bank CCB dalam perkara No. 555/pdt.G/2018/PN. Jkt. Utr. Dalam perkara ini, pada 15 Oktober 2019, majelis hakim memutuskan Bank CCB dan Tomy Winata telah melakukan perbuatan melawan hukum terkait dengan pengalihan hak tagih piutang PT GWP pada 12 Februari 2018, dan menyatakan pengalihan itu tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.
Terhadap putusan ini, Bank CCB lewat kuasa hukum Otto Hasibuan mengajukan banding. Hal serupa ditempuh Tomy Winata melalui kuasa hukum Maqdir Ismail.
Menanggapi pernyataan jaksa penuntut umum (JPU) yang dikoordinir I Ketut Sujaya terhadap eksepsi (nota keberatan) Harijanto Karjadi tentang tidak adanya SKL (surat keterangan lunas) dan tidak ada roya atas jaminan utang PT GWP dalam sidang di PN Denpasar (26/11/2019), Petrus membenarkan memang tidak ada SKL dan belum ada roya atas jaminan karena PT GWP yang direkturnya adalah terdakwa Harijanto Karjadi memang masih mempunyai utang.
“Persoalannya adalah, kepada siapa PT GWP saat ini berutang? Karena Fireworks mengklaim memiliki seluruh piutang. Sementara itu ada pihak lain yang mengklaim memiliki sebagian piutang itu,” katanya.
Selain PT GWP belum menyelesaikan kewajiban utang karena adanya sengketa soal klaim kepemilikan piutang, Petrus memaparkan bahwa saat ini juga masih terdapat perkara pidana dugaan penggelapan sertifikat di mana obyek perkaranya adalah tiga sertifikat hak bangunan yang di atasnya berdiri bangunan Hotel Kuta Paradiso dan sertifikat hak tanggungan yang diterbitkan di atasnya, di mana Tohir Sutanto (mantan Direktur Bank Multicor) dan Priska Megasari Cahya (pegawai Bank Danamon) telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.
“Roya tentu saja tidak mungkin bisa dilakukan di atas obyek jaminan yang sedang tersangkut perkara pidana,” katanya.
Petrus Bala Pattyona mengungkapkan bahwa Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sesungguhnya telah menjual seluruh piutang PT GWP melalui Program Penjualan Aset-aset Kredit (PPAK) VI pada tahun 2004, dan BPPN telah menerima pembayaran pelunasan atas harga lelang tersebut. Selanjutnya, BPPN juga telah menerbitkan surat pencabutan sita yang pernah diletakkannya di atas obyek jaminan.
“Soal BPPN tidak menerbitkan SKL atas nama debitur PT GWP, itu semata-mata karena penerbitan SKL tersebut bukan kewenangan BPPN karena memang debitur atas nama PT GWP belum melunasi utangnya kepada pembeli piutang,” jelasnya.
Dengan kata lain katanya, mekanisme penyelesaian utang PT GWP dilakukan dengan cara BPPN melakukan penjualan hak tagih piutang tersebut melalui PPAK VI. Selanjutnya, PT GWP menjadi debitur bagi pembeli piutang yang bertindak sebagai kreditur baru menggantikan BPPN, di mana BPPN sebelumnya menerima mandat dari semua anggota bank sindikasi melalui Kesepakatan Bersama 8 November 2000 untuk menyelesaikan piutang PT GWP berdasarkan PP No. 17/1999 tentang BPPN.
Petrus Bala Pattyona, koordinator tim kuasa hukum Harijanto Karjadi, mengatakan sengketa saling klaim kepemilikan hak tagih (cessie) piutang PT GWP itu melibatkan Fireworks Ventures Limited, dan beberapa pihak lainnya. Termasuk belakangan pengusaha Tomy Winata yang membeli porsi hak tagih piutang PT GWP yang sebelumnya diklaim Bank China Construction Bank Indonesia (CCB).
“Fireworks mengklaim memiliki seluruh hak tagih piutang PT GWP, sementara beberapa yang lainnya, termasuk Tomy Winata mengklaim memiliki sebagian hak tagih itu. Proses hukum sengketa ini masih berlangsung, dan PT GWP menunggu tuntasnya sengketa hukum tersebut,” kata Petrus dalam keterangan tertulis di Jakarta.
Menurut dia, sebelum sengketa klaim hak tagih piutang PT GWP itu berkekuatan hukum tetap (inkracht), pada dasarnya belum ada satu pihak pun yang benar-benar solid secara hukum punya hak mengklaim kepemilikan piutang PT GWP, terutama yang mengklaim secara parsial atau sebagian.
Petrus memaparkan, sengketa klaim kepemilikan piutang PT GWP yang masih bergulir di pengadilan, di antaranya adalah gugatan wanprestasi yang diajukan Tomy Winata terhadap PT GWP dan Harijanto Karjadi dkk selaku penjamin dalam perkara No. 233/Pdt.G.2018/PN.Jkt.Pst di PN Jakarta Pusat.
Dalam perkara itu, Tomy Winata yang membeli hak tagih piutang dari Bank CCB di harga Rp 2 miliar pada 12 Februari 2018 melalui akta bawah tangan menuntut ganti rugi lebih dari USD30 juta kepada PT GWP serta Harijanto Karjadi dkk. Namun, seluruh gugatan itu pada 18 Juli 2019 ditolak majelis hakim. Atas putusan itu, Tomy Winata melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, mengajukan banding.
Sementara itu, Fireworks Ventures Limited mengajukan gugatan kepada Tomy Winata dan Bank CCB dalam perkara No. 555/pdt.G/2018/PN. Jkt. Utr. Dalam perkara ini, pada 15 Oktober 2019, majelis hakim memutuskan Bank CCB dan Tomy Winata telah melakukan perbuatan melawan hukum terkait dengan pengalihan hak tagih piutang PT GWP pada 12 Februari 2018, dan menyatakan pengalihan itu tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.
Terhadap putusan ini, Bank CCB lewat kuasa hukum Otto Hasibuan mengajukan banding. Hal serupa ditempuh Tomy Winata melalui kuasa hukum Maqdir Ismail.
Menanggapi pernyataan jaksa penuntut umum (JPU) yang dikoordinir I Ketut Sujaya terhadap eksepsi (nota keberatan) Harijanto Karjadi tentang tidak adanya SKL (surat keterangan lunas) dan tidak ada roya atas jaminan utang PT GWP dalam sidang di PN Denpasar (26/11/2019), Petrus membenarkan memang tidak ada SKL dan belum ada roya atas jaminan karena PT GWP yang direkturnya adalah terdakwa Harijanto Karjadi memang masih mempunyai utang.
“Persoalannya adalah, kepada siapa PT GWP saat ini berutang? Karena Fireworks mengklaim memiliki seluruh piutang. Sementara itu ada pihak lain yang mengklaim memiliki sebagian piutang itu,” katanya.
Selain PT GWP belum menyelesaikan kewajiban utang karena adanya sengketa soal klaim kepemilikan piutang, Petrus memaparkan bahwa saat ini juga masih terdapat perkara pidana dugaan penggelapan sertifikat di mana obyek perkaranya adalah tiga sertifikat hak bangunan yang di atasnya berdiri bangunan Hotel Kuta Paradiso dan sertifikat hak tanggungan yang diterbitkan di atasnya, di mana Tohir Sutanto (mantan Direktur Bank Multicor) dan Priska Megasari Cahya (pegawai Bank Danamon) telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.
“Roya tentu saja tidak mungkin bisa dilakukan di atas obyek jaminan yang sedang tersangkut perkara pidana,” katanya.
Petrus Bala Pattyona mengungkapkan bahwa Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sesungguhnya telah menjual seluruh piutang PT GWP melalui Program Penjualan Aset-aset Kredit (PPAK) VI pada tahun 2004, dan BPPN telah menerima pembayaran pelunasan atas harga lelang tersebut. Selanjutnya, BPPN juga telah menerbitkan surat pencabutan sita yang pernah diletakkannya di atas obyek jaminan.
“Soal BPPN tidak menerbitkan SKL atas nama debitur PT GWP, itu semata-mata karena penerbitan SKL tersebut bukan kewenangan BPPN karena memang debitur atas nama PT GWP belum melunasi utangnya kepada pembeli piutang,” jelasnya.
Dengan kata lain katanya, mekanisme penyelesaian utang PT GWP dilakukan dengan cara BPPN melakukan penjualan hak tagih piutang tersebut melalui PPAK VI. Selanjutnya, PT GWP menjadi debitur bagi pembeli piutang yang bertindak sebagai kreditur baru menggantikan BPPN, di mana BPPN sebelumnya menerima mandat dari semua anggota bank sindikasi melalui Kesepakatan Bersama 8 November 2000 untuk menyelesaikan piutang PT GWP berdasarkan PP No. 17/1999 tentang BPPN.
(akr)