BKPM Sebut Revitalisasi Industri Tekstil Butuh Rp175 Triliun
A
A
A
JAKARTA - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengungkapkan, kebutuhan anggaran untuk revitalisasi industri tekstil dari hulu ke hilir dalam waktu tujuh tahun mencapai sebesar Rp175 triliun. Untuk mesi saja, biaya yang diperlukan sekitar Rp75 triliun.
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menerangkan, setelah berdiskusi dengan para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Bahlil sementara ini telah mengambil beberapa kesimpulan untuk menyelesaikan permasalahan lesunya industri tekstil Tanah Air. Pertama, perlu ada revitalisasi pabrik di Tanah Air.
"Kita harus meningkatkan devisa dari sebelumnya USD13,2 Miliar/tahun pada tahun 2018, menjadi USD49 M per tahun pada 2030 nanti, dengan net devisa sebesar USD 30 M/tahun," ujar Bahlil di Jakarta, Kamis (12/11/2019).
Sambung dia menerangkan, setidaknya terdapat tiga poin penting yang diperintahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk ditindaklanjuti yakni bahan baku hulu. Terutama di Kalimantan dan Jawa, yang harganya kurang kompetitif karena diserbu oleh produk dari luar negeri.
Karena itu dibutuhkan kehadiran pemerintah dalam rangka peremajaan mesin dan investasi serta bagaimana agar produk ini agar jangan dulu dibuka secara luas. "Sehingga kita tidak mendapatkan penetrasi pasar dari luar," katanya.
Dalam pertemuan tersebut, disimpulkan bahwa persoalan prinsip yang terjadi dalam industri tekstil di Indonesia yaitu tingginya harga bahan baku industri hilir, harga energi yang mahal dan sistem proteksi pasar yang kurang berpihak pada pelaku usaha dalam negeri (baik PMA maupun PMDN). Untuk ini, pemerintah diterangkan bakal mencari solusi agar harga tekstil domestik tidak jauh beda dengan negara lain sehingga dapat meningkatkan daya saing industri di pasar global.
“Garmen merupakan salah satu kontribusi terbesar dalam ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Kita tahu bahwa akhir-akhir ini banyak produk dari luar Indonesia yang melakukan penetrasi yang sangat luar biasa, sehingga menguasai pasar domestik,” ujar Bahlil kepada media.
Kepala BKPM meminta kepada asosiasi untuk memetakan isu strategis terkait pengembangan industri tekstil dan alternatif solusinya. Dokumen tersebut nantinya akan menjadi masukan BKPM untuk berkoordinasi lebih lanjut dengan Kementerian/Lembaga teknis dan stakeholder terkait. Selanjutnya, BKPM akan mengundang kementerian teknis untuk menyelesaikan permasalahan ini bersama-sama.
“Kami paham bahwa pengusaha perlu kepastian regulasi dari Pemerintah. Bagaimana kita membuat suatu regulasi yang berpihak pada pengusaha, tapi tidak merugikan negara. Sehingga harga dan produk kita dapat lebih kompetitif dengan barang-barang dari luar yang masuk ke Indonesia” jelasnya.
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menerangkan, setelah berdiskusi dengan para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Bahlil sementara ini telah mengambil beberapa kesimpulan untuk menyelesaikan permasalahan lesunya industri tekstil Tanah Air. Pertama, perlu ada revitalisasi pabrik di Tanah Air.
"Kita harus meningkatkan devisa dari sebelumnya USD13,2 Miliar/tahun pada tahun 2018, menjadi USD49 M per tahun pada 2030 nanti, dengan net devisa sebesar USD 30 M/tahun," ujar Bahlil di Jakarta, Kamis (12/11/2019).
Sambung dia menerangkan, setidaknya terdapat tiga poin penting yang diperintahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk ditindaklanjuti yakni bahan baku hulu. Terutama di Kalimantan dan Jawa, yang harganya kurang kompetitif karena diserbu oleh produk dari luar negeri.
Karena itu dibutuhkan kehadiran pemerintah dalam rangka peremajaan mesin dan investasi serta bagaimana agar produk ini agar jangan dulu dibuka secara luas. "Sehingga kita tidak mendapatkan penetrasi pasar dari luar," katanya.
Dalam pertemuan tersebut, disimpulkan bahwa persoalan prinsip yang terjadi dalam industri tekstil di Indonesia yaitu tingginya harga bahan baku industri hilir, harga energi yang mahal dan sistem proteksi pasar yang kurang berpihak pada pelaku usaha dalam negeri (baik PMA maupun PMDN). Untuk ini, pemerintah diterangkan bakal mencari solusi agar harga tekstil domestik tidak jauh beda dengan negara lain sehingga dapat meningkatkan daya saing industri di pasar global.
“Garmen merupakan salah satu kontribusi terbesar dalam ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Kita tahu bahwa akhir-akhir ini banyak produk dari luar Indonesia yang melakukan penetrasi yang sangat luar biasa, sehingga menguasai pasar domestik,” ujar Bahlil kepada media.
Kepala BKPM meminta kepada asosiasi untuk memetakan isu strategis terkait pengembangan industri tekstil dan alternatif solusinya. Dokumen tersebut nantinya akan menjadi masukan BKPM untuk berkoordinasi lebih lanjut dengan Kementerian/Lembaga teknis dan stakeholder terkait. Selanjutnya, BKPM akan mengundang kementerian teknis untuk menyelesaikan permasalahan ini bersama-sama.
“Kami paham bahwa pengusaha perlu kepastian regulasi dari Pemerintah. Bagaimana kita membuat suatu regulasi yang berpihak pada pengusaha, tapi tidak merugikan negara. Sehingga harga dan produk kita dapat lebih kompetitif dengan barang-barang dari luar yang masuk ke Indonesia” jelasnya.
(akr)