Omnibus Law Diusulkan Tampung Prinsip Persaingan Usaha
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah kalangan meminta Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law menampung prinsip persaingan usaha. Ketua Pokja Omnibus Law Majelis Nasional KAHMI, Suparji Ahmad mengatakan, omnibus law dalam konteks persaingan usaha harusnya mampu memenuhi prinsip dasar predictability, stability dan fairness.
“Ketiga prinsip ini penting dalam konteks persaingan usaha. Predictability artinya pelaku usaha bisa memprediksi apa yang akan terjadi dan harus dilakukan, stability berarti ada keseimbangan, serta prinsip kejujuran,” ungkapnya dalam diskusi yang digelar Pusat Kajian dan Advokasi Persaingan Usaha (Puskapu) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta, Kamis (13/2/2020). Diskusi ini melihat berbagai perspektif mengenai pentingnya prinsip persaingan usaha sebelum RUU ini dirumuskan menjadi UU.
Suparji menilai perumusan Undang-Undang Omnibus Law pada dasarnya sebagai upaya negara hadir mengatasi permasalahan yang akan menghambat distribusi kesejahteraan diantara warga negara.
“RUU Omnibus Law cenderung menjadi menciptakan restriksi pasar dan ketakutan bagi pelaku usaha, karena mentransformasi perkara perdata menjadi perkara pidana dan lebih kuat aspek kriminalisasinya daripada aspek kemudahan, keseimbangan dan insentif ekonomi yang didapat,” ungkapnya.
Sementara itu, Staf Ahli Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang juga Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira mengatakan, menghadapi persaingan usaha ke depan, diperlukan kolaborasi antar berbagai pihak dalam memecahkan permasalahan hambatan pasar dan menciptakan iklim usaha dan investasi yang kondusif sehingga tercipta kepercayaan pasar.
Adapun, Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih mengatakan, praktik pidana dalam persaingan usaha bukan pidana biasa yang memerlukan berbagai analisa ekonomi.
“Di luar negeri, sesungguhnya KPPU memiliki bagian khusus yang mengawasi proses tender. Dalam penentuan quota impor, seperti quota impor daging sapi, KPPU juga diharapkan dapat berperan sebagai pihak yang dapat mengawasi,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, KPPU juga dalam memberikan sanksi mempertimbangkan aspek keadilan dalam persaingan usaha, dengan mempertimbangkan level kesalahan disesuaikan dengan sanksi yang diberikan, seperti dalam hal pelanggaran dalam mekanisme merger, berdasarkan peraturan yang ada, dapat dikenakan sanksi denda maksimu sebesar Rp25 milar kepada pelaku usaha.
“Tapi KPPU tidak pernah memberikan sanksi maksimum terhadap pelanggaran yang ada, karena mempertimbangkan level kesalahan yang dilakukan.
Menurut Guntur, kategori praktik pidana dalam persaingan usaha adalah bukan pidana biasa yang memerlukan berbagai analisa ekonomi sehingga dapat ditemukan bentuk pelanggaran yang ada.
“Di lain sisi, nature pegusaha tidak mungkin menjadi pelapor, oleh karena itu dalam pengawasan persaingan usaha dan penegakkan hukum, KPPU memerlukan kerjasama dengan para-pihak seperti Puskapu. Memang harus ada role model persaingan usaha yang sehat dan itu seharusnya dilakukan oleh BUMN,” tandasnya.
Ketua Dewan Pengawas Puskapu Tawaf T. Wirawan menilai bahwa persaingan usaha memiliki dua dimensi, yaitu dimenasi perilaku dan struktur pasar. Undang-undang Persaingan usaha seyogyanya harus membedakan dua hal terebut dalam tiga kategori, yaitu kegiatan yang dilarang, perjanjian yang dilarang dan siapa yang dominan.
Dalam UU 5/1999, tampaknya tidak secara jelas mengatur aspek perilaku dan struktur yang merusak persaingan usaha yang sehat. Seperti dalam kasus impor bawang putih, harus dilihat apakah itu bentuk monopoli, oligopoli, monopsoni atau oligopsoni.
“Ketiga prinsip ini penting dalam konteks persaingan usaha. Predictability artinya pelaku usaha bisa memprediksi apa yang akan terjadi dan harus dilakukan, stability berarti ada keseimbangan, serta prinsip kejujuran,” ungkapnya dalam diskusi yang digelar Pusat Kajian dan Advokasi Persaingan Usaha (Puskapu) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta, Kamis (13/2/2020). Diskusi ini melihat berbagai perspektif mengenai pentingnya prinsip persaingan usaha sebelum RUU ini dirumuskan menjadi UU.
Suparji menilai perumusan Undang-Undang Omnibus Law pada dasarnya sebagai upaya negara hadir mengatasi permasalahan yang akan menghambat distribusi kesejahteraan diantara warga negara.
“RUU Omnibus Law cenderung menjadi menciptakan restriksi pasar dan ketakutan bagi pelaku usaha, karena mentransformasi perkara perdata menjadi perkara pidana dan lebih kuat aspek kriminalisasinya daripada aspek kemudahan, keseimbangan dan insentif ekonomi yang didapat,” ungkapnya.
Sementara itu, Staf Ahli Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang juga Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira mengatakan, menghadapi persaingan usaha ke depan, diperlukan kolaborasi antar berbagai pihak dalam memecahkan permasalahan hambatan pasar dan menciptakan iklim usaha dan investasi yang kondusif sehingga tercipta kepercayaan pasar.
Adapun, Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih mengatakan, praktik pidana dalam persaingan usaha bukan pidana biasa yang memerlukan berbagai analisa ekonomi.
“Di luar negeri, sesungguhnya KPPU memiliki bagian khusus yang mengawasi proses tender. Dalam penentuan quota impor, seperti quota impor daging sapi, KPPU juga diharapkan dapat berperan sebagai pihak yang dapat mengawasi,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, KPPU juga dalam memberikan sanksi mempertimbangkan aspek keadilan dalam persaingan usaha, dengan mempertimbangkan level kesalahan disesuaikan dengan sanksi yang diberikan, seperti dalam hal pelanggaran dalam mekanisme merger, berdasarkan peraturan yang ada, dapat dikenakan sanksi denda maksimu sebesar Rp25 milar kepada pelaku usaha.
“Tapi KPPU tidak pernah memberikan sanksi maksimum terhadap pelanggaran yang ada, karena mempertimbangkan level kesalahan yang dilakukan.
Menurut Guntur, kategori praktik pidana dalam persaingan usaha adalah bukan pidana biasa yang memerlukan berbagai analisa ekonomi sehingga dapat ditemukan bentuk pelanggaran yang ada.
“Di lain sisi, nature pegusaha tidak mungkin menjadi pelapor, oleh karena itu dalam pengawasan persaingan usaha dan penegakkan hukum, KPPU memerlukan kerjasama dengan para-pihak seperti Puskapu. Memang harus ada role model persaingan usaha yang sehat dan itu seharusnya dilakukan oleh BUMN,” tandasnya.
Ketua Dewan Pengawas Puskapu Tawaf T. Wirawan menilai bahwa persaingan usaha memiliki dua dimensi, yaitu dimenasi perilaku dan struktur pasar. Undang-undang Persaingan usaha seyogyanya harus membedakan dua hal terebut dalam tiga kategori, yaitu kegiatan yang dilarang, perjanjian yang dilarang dan siapa yang dominan.
Dalam UU 5/1999, tampaknya tidak secara jelas mengatur aspek perilaku dan struktur yang merusak persaingan usaha yang sehat. Seperti dalam kasus impor bawang putih, harus dilihat apakah itu bentuk monopoli, oligopoli, monopsoni atau oligopsoni.
(ind)