Pengembang di Depok resah tanggapi Perda RTRW
A
A
A
Sindonews.com - Saat ini hanya orang kaya yang mampu membeli rumah di Depok. Itulah umpatan para pengembang perumahan skala kecil dan menengah bersama masyarakat.
Sebab Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Depok yang sudah disahkan DPRD mengatur para pengembang hanya boleh membangun, menjual dan memasarkan perumahan dengan luas tanah 120 meter persegi. Perda tersebut kini masih berada di Propinsi Jawa Barat dan belum efektif untuk dilaksanakan.
Komisaris PT Griya Bukit Mas Pitara Abdul Khair mengungkapkan sejujurnya dia tidak bermasalah dengan kebijakan tersebut. Namun, harga rumah di Depok dengan luas tanah minimal 120 meter persegi akan semakin mahal.
"Tipe 36/78 saja harganya sekarang Rp350 juta, gi mana kalau tanah 120 meter persegi. Kalau kita bandingkan bisa 50 persennya, bisa-bisa harga rumah di Depok di atas Rp450 juta. Itu enggak masuk akal," tukasnya kepada wartawan, Senin (7/10/2013).
Kebijakan tersebut, kata Khair, bertentangan dengan semangat pemerintah yang hendak membangun rumah murah bagi rakyat. Pihaknya berencana menyiasatinya dengan mengubah segmentasi pasar yakni membangun town house dan menyasar konsumen menengah ke atas.
"Lahan sekarang di Depok semakin terbatas kan, kalau 120 meter persegi butuh lahan luas. Kecuali untuk town house boleh, bisa segmennya tinggi. Enggak masalah sih buat kami, tetapi kalau pasangan muda atau yang baru kerja di bawah 10 tahun, kebijakan itu sulit," jelasnya.
Saat ini, Khair telah memiliki lebih dari dua perumahan di Depok. Dia pun masih berpegangan dengan peraturan yang lama yakni membangun dengan tipe 36/72 dan 36/78.
"Kebetulan proyek yang kami lakukan disetuji sebelum perda itu dilakukan keluar. Nanti rumah di Depok hanya dibeli orang yang mampu. Semakin terbatasnya lahan, dibikin rumah susun boleh. Selama izin dari provinsi belum turun kami masih pakai aturan yang lama, sebenarnya kalau mau tekan jumlah pendatang bisa disiasati rumah vertikal. Itu masih lebih nyambung, kalau begini kan hanya orang kaya yang mampu beli rumah di Depok," katanya.
Hal senada dikatakan pengembang perumahan lainnya yang juga ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Depok, Mustofa. Dia mengkritik kebijakan tersebut karena belum tepat dilakukan di tengah Upah Minimum Kota (UMK) masyarakat Depok masih Rp2.042.000.
"Belum tepat bagi kami, harga rumah bisa Rp400 juta sampai Rp500 juta. Bayangkan harus beli dengan DP tinggi, cicilan tinggi. Sementara Depok UMK nya saja Rp2.042.000, enggak sanggup, enggak memadai," tegas Mustofa.
Dia menilai, nantinya ada pergeseran tren di Depok di mana hanya akan ada rumah-rumah kelas menengah atas. Kebijakan ini, kata dia, membuat para pengembang resah.
"Kami resah, ini bukan kebijakan yang baik. Belum nanti beban listriknya. Sekarang ini kami masih pakai yang lama," tutupnya.
Sebab Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Depok yang sudah disahkan DPRD mengatur para pengembang hanya boleh membangun, menjual dan memasarkan perumahan dengan luas tanah 120 meter persegi. Perda tersebut kini masih berada di Propinsi Jawa Barat dan belum efektif untuk dilaksanakan.
Komisaris PT Griya Bukit Mas Pitara Abdul Khair mengungkapkan sejujurnya dia tidak bermasalah dengan kebijakan tersebut. Namun, harga rumah di Depok dengan luas tanah minimal 120 meter persegi akan semakin mahal.
"Tipe 36/78 saja harganya sekarang Rp350 juta, gi mana kalau tanah 120 meter persegi. Kalau kita bandingkan bisa 50 persennya, bisa-bisa harga rumah di Depok di atas Rp450 juta. Itu enggak masuk akal," tukasnya kepada wartawan, Senin (7/10/2013).
Kebijakan tersebut, kata Khair, bertentangan dengan semangat pemerintah yang hendak membangun rumah murah bagi rakyat. Pihaknya berencana menyiasatinya dengan mengubah segmentasi pasar yakni membangun town house dan menyasar konsumen menengah ke atas.
"Lahan sekarang di Depok semakin terbatas kan, kalau 120 meter persegi butuh lahan luas. Kecuali untuk town house boleh, bisa segmennya tinggi. Enggak masalah sih buat kami, tetapi kalau pasangan muda atau yang baru kerja di bawah 10 tahun, kebijakan itu sulit," jelasnya.
Saat ini, Khair telah memiliki lebih dari dua perumahan di Depok. Dia pun masih berpegangan dengan peraturan yang lama yakni membangun dengan tipe 36/72 dan 36/78.
"Kebetulan proyek yang kami lakukan disetuji sebelum perda itu dilakukan keluar. Nanti rumah di Depok hanya dibeli orang yang mampu. Semakin terbatasnya lahan, dibikin rumah susun boleh. Selama izin dari provinsi belum turun kami masih pakai aturan yang lama, sebenarnya kalau mau tekan jumlah pendatang bisa disiasati rumah vertikal. Itu masih lebih nyambung, kalau begini kan hanya orang kaya yang mampu beli rumah di Depok," katanya.
Hal senada dikatakan pengembang perumahan lainnya yang juga ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Depok, Mustofa. Dia mengkritik kebijakan tersebut karena belum tepat dilakukan di tengah Upah Minimum Kota (UMK) masyarakat Depok masih Rp2.042.000.
"Belum tepat bagi kami, harga rumah bisa Rp400 juta sampai Rp500 juta. Bayangkan harus beli dengan DP tinggi, cicilan tinggi. Sementara Depok UMK nya saja Rp2.042.000, enggak sanggup, enggak memadai," tegas Mustofa.
Dia menilai, nantinya ada pergeseran tren di Depok di mana hanya akan ada rumah-rumah kelas menengah atas. Kebijakan ini, kata dia, membuat para pengembang resah.
"Kami resah, ini bukan kebijakan yang baik. Belum nanti beban listriknya. Sekarang ini kami masih pakai yang lama," tutupnya.
(izz)