Tolak Banding Asian Agri, Pengadilan Pajak Salahi UU
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar Hukum Pajak Muhammad Djafar Saidi menilai putusan Pengadilan Pajak yang menolak memproses banding dua perusahaan Grup Asian Agri merupakan kesalahan besar karena penyelesaian sengketa pajak secara khusus diatur dalam ranah hukum perpajakan.
“Ada kesalahan Pengadilan Pajak terkait putusan tidak dapat diterima atas banding dua perusahaan Grup Asian Agri. Banding tak boleh ditolak dan harus diproses terus sampai pada putusan final,” kata Djafar dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/11/2014).
Menurut dia, salah besar kalau Pengadilan Pajak menganggap bahwa ketetapan Ditjen Pajak (DJP) itu berada dalam ranah administrasi negara. Sengketa atas ketetapan pajak, lanjutnya, jelas berada dalam lapangan hukum pajak dan hukum pajak berbeda dengan hukum tata usaha negara (TUUN).
Dalam putusan yang dibacakan Rabu lalu (5/11/2014), dua majelis yang masing-masing berisi tiga hakim Pengadilan Pajak tidak secara bulat memutuskan bahwa banding dari dua perusahaan Asian Agri tidak dapat diterima.
Hakim anggota di dua majelis itu, Djangkung Sudjarwadi yang merupakan satu-satunya hakim majelis dengan latar belakang hukum, berpendapat berbeda.
Mantan fiskus bergelar Sarjana Hukum dan Master Hukum (LLM) ini menyatakan Pengadilan Pajak berwenang untuk mengadili sengketa dan proses dilanjutkan ke pemeriksaan materi. Alasannya, kata dia, terbanding (Ditjen Pajak) dalam beberapa suratnya berpendapat bahwa permohonan banding pemohon banding memenuhi ketentuan formal pengajuan banding.
Terbanding tak konsisten, dalam pembacaan dissenting opinion pada sidang yang khusus dihadiri Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany, Djangkung mengatakan, permohonan banding antara lain memenuhi ketentuan pasal 27 UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU No. 28/2007 pasal 35 ayat 1 dan 2 serta pasal 36 ayat 1, 2 dan 3 serta pasal 37 ayat 1 UU No. 14/2002 tentang Pengadilan Pajak.
“Pasal 2 huruf e terkait putusan pengadilan negeri (PN), lingkungan/kamar perdata, sedangkan putusan MA No. 2239K/Pidsus/2012 adalah terkait putusan PN, pengadilan tinggi (PT), sampai dengan Mahkamah Agung (MA) lingkungan kamar pidana sehingga rujukan tersebut tidak tepat," ujar Djangkung.
Selain itu, kata Djangkung, UU No. 5/1986 tentang TUN hanya mengatur lembaga gugatan oleh orang atau badan hukum perdata sebagai penggugat dengan badan atau pejabat TUN sebagai tergugat. Tidak mengatur lembaga banding antara pemohon banding dengan terbanding.
“Padahal sengketa a quo adalah sengketa banding, bukan sengketa gugatan. Sehingga rujukan ke pasal 2 huruf e tersebut tidak berdasar dan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum,” Tandasnya.
“Ada kesalahan Pengadilan Pajak terkait putusan tidak dapat diterima atas banding dua perusahaan Grup Asian Agri. Banding tak boleh ditolak dan harus diproses terus sampai pada putusan final,” kata Djafar dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/11/2014).
Menurut dia, salah besar kalau Pengadilan Pajak menganggap bahwa ketetapan Ditjen Pajak (DJP) itu berada dalam ranah administrasi negara. Sengketa atas ketetapan pajak, lanjutnya, jelas berada dalam lapangan hukum pajak dan hukum pajak berbeda dengan hukum tata usaha negara (TUUN).
Dalam putusan yang dibacakan Rabu lalu (5/11/2014), dua majelis yang masing-masing berisi tiga hakim Pengadilan Pajak tidak secara bulat memutuskan bahwa banding dari dua perusahaan Asian Agri tidak dapat diterima.
Hakim anggota di dua majelis itu, Djangkung Sudjarwadi yang merupakan satu-satunya hakim majelis dengan latar belakang hukum, berpendapat berbeda.
Mantan fiskus bergelar Sarjana Hukum dan Master Hukum (LLM) ini menyatakan Pengadilan Pajak berwenang untuk mengadili sengketa dan proses dilanjutkan ke pemeriksaan materi. Alasannya, kata dia, terbanding (Ditjen Pajak) dalam beberapa suratnya berpendapat bahwa permohonan banding pemohon banding memenuhi ketentuan formal pengajuan banding.
Terbanding tak konsisten, dalam pembacaan dissenting opinion pada sidang yang khusus dihadiri Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany, Djangkung mengatakan, permohonan banding antara lain memenuhi ketentuan pasal 27 UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU No. 28/2007 pasal 35 ayat 1 dan 2 serta pasal 36 ayat 1, 2 dan 3 serta pasal 37 ayat 1 UU No. 14/2002 tentang Pengadilan Pajak.
“Pasal 2 huruf e terkait putusan pengadilan negeri (PN), lingkungan/kamar perdata, sedangkan putusan MA No. 2239K/Pidsus/2012 adalah terkait putusan PN, pengadilan tinggi (PT), sampai dengan Mahkamah Agung (MA) lingkungan kamar pidana sehingga rujukan tersebut tidak tepat," ujar Djangkung.
Selain itu, kata Djangkung, UU No. 5/1986 tentang TUN hanya mengatur lembaga gugatan oleh orang atau badan hukum perdata sebagai penggugat dengan badan atau pejabat TUN sebagai tergugat. Tidak mengatur lembaga banding antara pemohon banding dengan terbanding.
“Padahal sengketa a quo adalah sengketa banding, bukan sengketa gugatan. Sehingga rujukan ke pasal 2 huruf e tersebut tidak berdasar dan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum,” Tandasnya.
(gpr)