Premium Dihapus, Asing Dominasi Pasar BBM
A
A
A
JAKARTA - Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) Ery Purnomohadi menegaskan, penghapusan RON 88 atau setara premium merupakan sistem liberal yang ujungnya akan membuka seluas-luasnya kepada asing menguasasi segmen pasar bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri.
Padahal, menurut dia, PT Pertamina (persero) belum sanggup untuk bersaing dengan perusahaan migas asing.
"Dari segi manajemen kalah jauh, dari segi sistem kalah jauh, sehingga pertarungannya menjadi tidak imbang," kata dia di Jakarta, Kamis (25/12/2014).
Menurut Ery, pemerintah sebagai pemegang saham Pertamina tidak seharusnya membiarkan perusahaan BUMN tak berkembang dan sudah sepantasnya pemerintah melindungi bisnis Pertamina.
"Masa pemerintah membiarkan Pertamina hancur. Masa pasar kita akan didominasi asing dan market kita diambil orang?" ujarnya.
Jika ini terjadi, dia menilai, maka pemerintah telah mengembalikan sistem ekonomi Indonesia ke jaman penjajahan Belanda. Dalam artian, telah memberikan ruan sebesar-besarnya untuk asing menguasai segmen pasar di dalam negeri.
"Kalau tidak ada subsidi, ini mirip jaman VOC," ungkapnya.
Hiswana berharap pemerintah mencontoh sistem yang baik di Korea Selatan. Di sana, tidak ada merek asing, tapi semua merek nasional.
Dia menegaskan, harus ada regulasi atau barrier yang mengatur penghapusan subsidi RON 88 atau setara premium agar segmen pasar asing tidak mendominasi di dalam negeri. Pasalnya, perusahaan migas asing sangat mudah untuk mendirikan SPBU di dalam negeri.
Ery menuturkan, perusahaan asing tidak mau repot dalam mengembangkan bisnisnya di dalam negeri tidak mau membangun depot, tidak mau membangun kilang. Bahkan tidak mau menanggung beban sosial seperti yang dilakukan Pertamina.
Contohnya Shell dan Total tidak perlu repot-repot membangun kilang, dan hanya sewa kepada Pertamina. Hal itu, lanjut Ery, berbanding terbailik ketika Pertamina ingin ekspansi ke luar negeri.
"Artinya mereka hanya mau membangun SPBU di perkotaan saja, seperti DKI Jakarta, Surabaya. Kilang selama ini juga sewa jadi performance 92 cuma sandiwara karena itu produk Pertamina," terang Ery.
Ery meminta jika pemerintah ingin menerapkan rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas, maka pemerintah harus menciptakan aturan baru agar segmen BBM di Indonesia tidak dikuasai asing. Misalnya, perusahaan asing dilarang menjual pertamax dan harus menjual di atas performance 92.
"Bisa seperti itu, tapi juga harus ada kewajiban lain, yaitu membuat SPBU di daerah terpencil, sehingga mencipatakan keuntungan untuk negara," tutup Ery.
Padahal, menurut dia, PT Pertamina (persero) belum sanggup untuk bersaing dengan perusahaan migas asing.
"Dari segi manajemen kalah jauh, dari segi sistem kalah jauh, sehingga pertarungannya menjadi tidak imbang," kata dia di Jakarta, Kamis (25/12/2014).
Menurut Ery, pemerintah sebagai pemegang saham Pertamina tidak seharusnya membiarkan perusahaan BUMN tak berkembang dan sudah sepantasnya pemerintah melindungi bisnis Pertamina.
"Masa pemerintah membiarkan Pertamina hancur. Masa pasar kita akan didominasi asing dan market kita diambil orang?" ujarnya.
Jika ini terjadi, dia menilai, maka pemerintah telah mengembalikan sistem ekonomi Indonesia ke jaman penjajahan Belanda. Dalam artian, telah memberikan ruan sebesar-besarnya untuk asing menguasai segmen pasar di dalam negeri.
"Kalau tidak ada subsidi, ini mirip jaman VOC," ungkapnya.
Hiswana berharap pemerintah mencontoh sistem yang baik di Korea Selatan. Di sana, tidak ada merek asing, tapi semua merek nasional.
Dia menegaskan, harus ada regulasi atau barrier yang mengatur penghapusan subsidi RON 88 atau setara premium agar segmen pasar asing tidak mendominasi di dalam negeri. Pasalnya, perusahaan migas asing sangat mudah untuk mendirikan SPBU di dalam negeri.
Ery menuturkan, perusahaan asing tidak mau repot dalam mengembangkan bisnisnya di dalam negeri tidak mau membangun depot, tidak mau membangun kilang. Bahkan tidak mau menanggung beban sosial seperti yang dilakukan Pertamina.
Contohnya Shell dan Total tidak perlu repot-repot membangun kilang, dan hanya sewa kepada Pertamina. Hal itu, lanjut Ery, berbanding terbailik ketika Pertamina ingin ekspansi ke luar negeri.
"Artinya mereka hanya mau membangun SPBU di perkotaan saja, seperti DKI Jakarta, Surabaya. Kilang selama ini juga sewa jadi performance 92 cuma sandiwara karena itu produk Pertamina," terang Ery.
Ery meminta jika pemerintah ingin menerapkan rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas, maka pemerintah harus menciptakan aturan baru agar segmen BBM di Indonesia tidak dikuasai asing. Misalnya, perusahaan asing dilarang menjual pertamax dan harus menjual di atas performance 92.
"Bisa seperti itu, tapi juga harus ada kewajiban lain, yaitu membuat SPBU di daerah terpencil, sehingga mencipatakan keuntungan untuk negara," tutup Ery.
(rna)