Pemerintah Didesak Hentikan Bayar Bunga Obligasi BLBI
A
A
A
JAKARTA - Koalisi Anti Uang (KAU) mendesak pemerintah untuk menghentikan pembayaran bunga obligsi rekapitulasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Ketua KAU Dani Setiawan menerangkan, dalam Nota Keuangan RAPBN Perubahan (RAPBN-P) 2015, pemerintah memangkas habis subsidi BBM jenis Premium. Pemerintah juga memangkas subsidi BBM jenis solar menjadi subsidi tetap sebesar Rp1.000 per liter.
Menurutnya, alasan pemerintah subsidi BBM telah menjadi beban APBN dan sekaligus membatasi keuangan negara untuk membiayai kegiatan lain yang lebih produktif.
Anehnya, lanjut dia, pemerintah tidak menganggap pembayaran utang sebagai komponen yang membebani anggaran dan membatasi kemampuan negara untuk menjalankan kewajiban konstitusi yaitu, melindungi, mencerdaskan, dan menyejahterakan rakyat.
Padahal, beban pemerintah dalam membayar utang tersebut termasuk bunga obligasi rekapitalisasi dari BLBI, akan terus menggerogoti APBN hingga 2055.
Hingga akhir 2012, pemerintah harus mengalokasikan dari APBN sekitar Rp70 triliun-Rp80 triliun setiap tahun, hanya untuk membayar bunga obligasi rekap.
KAU menghitung, dari 2013 sampai 2030 tak kurang dari angka Rp1.360 triliun. Bagi bank pemegang obligasi rekap, pembayaran bunga obligasi rekap oleh pemerintah justru menjadi sumber keuntungan bagi perusahaan.
Namun, apabila dikonversi, pembayaran bunga obligasi rekap tersebut bisa digunakan negara untuk membayar premi 100 juta warga miskin penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan selama tiga tahun.
"Kebijakan pemerintah yang meneruskan pembayaran bunga obligasi rekap ini jelas mencederai rasa keadilan bagi rakyat," kata dia dalam rilisnya kepada Sindonews, Rabu (28/1/2015).
Atas dasar itu, pihaknya mendesak pemerintah melakukan transparansi dalam NK RAPBN-P 2015 dengan cara membuka status obligasi rekap.
Termasuk serangkaian rekayasa surat utang seperti reprofiling (diperpanjang) hingga 2043 yang membuat obligasi rekap terlihat seolah sebagai surat utang negara (SUN) reguler.
Dia mengatakan, dengan transparansi itu pula maka yang terlihat dalam NK RAPBN-P 2015 tidak hanya beban bunga SUN. Tapi juga memerinci bagian yang berasal dari obligasi rekap, yang merupakan beban akibat kejahatan ekonomi dalam mega skandal BLBI.
Selain itu, pemerintah harus menghapuskan pembayaran bunga obligasi rekap dalam NK RAPBN-P 2015 dan mengalihkan dana untuk melaksanakan kewajiban konstitusional negara.
"Misalnya, untuk membangun sistem transportasi umum massal. Hasilnya tentu saja bisa meningkatkan kinerja pemerintah dalam menyediakan pelayanan umum," ujarnya.
Transportasi umum massal yang nyaman dengan biaya murah dapat menurunkan tingkat penggunaan kendaraan pribadi.
Praktis, bisa berkontribusi pada berkurangnya tingkat kemacetan. Dampak ikutan lainnya adalah bisa menurunkan konsumsi pemakaian BBM.
Pemerintah harus melakukan langkah-langkah penegakan hukum terhadap ulah para obligor yang merugikan keuangan negara.
Termasuk pada oknum pejabat negara yang memberi peluang dan melakukan pembiaran atas terjadinya kerugian negara sebagai akibat dari ulah kejahatan ekonomi yang dilakukan para obligor.
Pemerintah, lanjut Dani, dalam hal ini Dirjen Kekayaan Negara/Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, harus segera mengumumkan secara terbuka status semua obligor.
"Pengumuman itu memuat nama obligor, data jumlah utang, jumlah pembayaran, dan keberadaan mereka," katanya.
Selain itu, pemerintah juga harus melakukan pemantauan dengan cermat terhadap sepak terjang para obligor yang sudah melakukan kejahatan ekonomi mega skandal BLBI.
Terutama, dalam upaya mereka untuk mencoba mengambil alih dan menguasai kembali aset mereka yang sudah didivestasi oleh BPPN/PPA. Termasuk tindakan para obligor yang menimbulkan gangguan terhadap operasi perusahaan mereka yang sudah didivestasi oleh BPPN/PPA.
Pemerintah juga tidak boleh membiarkan para obligor yang sudah melakukan kejahatan ekonomi mega skandal BLBI kembali mengangkangi aset-aset mereka yang sudah didivestasi oleh BPPN/PPA.
Untuk mencegah terulangnya praktik kejahatan ekonomi dalam kegiatan korporasi dan memaksa negara untuk melakukan talangan atas kerugian yang timbul akibat dari kejahatan ekonomi yang dilakukan para obligor BLBI.
Kemudian, pemerintah harus memastikan bahwa perusahaan yang sudah didivestasi oleh BPPN/PPA terbebas dari gangguan pemilik lamanya, yaitu para obligor yang sudah melakukan kejahatan ekonomi mega skandal BLBI.
Gangguan itu dinilai bisa berdampak negatif terhadap perekonomian, khususnya bisa berdampak tidak optimalnya penerimaan pajak oleh negara. Gangguan yang dilakukan pemilik lama akan berpengaruh pada kinerja perusahaan.
Padahal, kata Dani, perusahaan itu harus didorong dan dipastikan oleh pemerintah untuk bisa menciptakan lapangan kerja dan memberikan penerimaan pada negara dalam bentuk pajak.
Terakhir, pemerintah harus bertindak tegas terhadap para obligor yang sudah melakukan kejahatan ekonomi mega skandal BLBI dengan cara memasukkan mereka kedalam daftar hitam.
Ketua KAU Dani Setiawan menerangkan, dalam Nota Keuangan RAPBN Perubahan (RAPBN-P) 2015, pemerintah memangkas habis subsidi BBM jenis Premium. Pemerintah juga memangkas subsidi BBM jenis solar menjadi subsidi tetap sebesar Rp1.000 per liter.
Menurutnya, alasan pemerintah subsidi BBM telah menjadi beban APBN dan sekaligus membatasi keuangan negara untuk membiayai kegiatan lain yang lebih produktif.
Anehnya, lanjut dia, pemerintah tidak menganggap pembayaran utang sebagai komponen yang membebani anggaran dan membatasi kemampuan negara untuk menjalankan kewajiban konstitusi yaitu, melindungi, mencerdaskan, dan menyejahterakan rakyat.
Padahal, beban pemerintah dalam membayar utang tersebut termasuk bunga obligasi rekapitalisasi dari BLBI, akan terus menggerogoti APBN hingga 2055.
Hingga akhir 2012, pemerintah harus mengalokasikan dari APBN sekitar Rp70 triliun-Rp80 triliun setiap tahun, hanya untuk membayar bunga obligasi rekap.
KAU menghitung, dari 2013 sampai 2030 tak kurang dari angka Rp1.360 triliun. Bagi bank pemegang obligasi rekap, pembayaran bunga obligasi rekap oleh pemerintah justru menjadi sumber keuntungan bagi perusahaan.
Namun, apabila dikonversi, pembayaran bunga obligasi rekap tersebut bisa digunakan negara untuk membayar premi 100 juta warga miskin penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan selama tiga tahun.
"Kebijakan pemerintah yang meneruskan pembayaran bunga obligasi rekap ini jelas mencederai rasa keadilan bagi rakyat," kata dia dalam rilisnya kepada Sindonews, Rabu (28/1/2015).
Atas dasar itu, pihaknya mendesak pemerintah melakukan transparansi dalam NK RAPBN-P 2015 dengan cara membuka status obligasi rekap.
Termasuk serangkaian rekayasa surat utang seperti reprofiling (diperpanjang) hingga 2043 yang membuat obligasi rekap terlihat seolah sebagai surat utang negara (SUN) reguler.
Dia mengatakan, dengan transparansi itu pula maka yang terlihat dalam NK RAPBN-P 2015 tidak hanya beban bunga SUN. Tapi juga memerinci bagian yang berasal dari obligasi rekap, yang merupakan beban akibat kejahatan ekonomi dalam mega skandal BLBI.
Selain itu, pemerintah harus menghapuskan pembayaran bunga obligasi rekap dalam NK RAPBN-P 2015 dan mengalihkan dana untuk melaksanakan kewajiban konstitusional negara.
"Misalnya, untuk membangun sistem transportasi umum massal. Hasilnya tentu saja bisa meningkatkan kinerja pemerintah dalam menyediakan pelayanan umum," ujarnya.
Transportasi umum massal yang nyaman dengan biaya murah dapat menurunkan tingkat penggunaan kendaraan pribadi.
Praktis, bisa berkontribusi pada berkurangnya tingkat kemacetan. Dampak ikutan lainnya adalah bisa menurunkan konsumsi pemakaian BBM.
Pemerintah harus melakukan langkah-langkah penegakan hukum terhadap ulah para obligor yang merugikan keuangan negara.
Termasuk pada oknum pejabat negara yang memberi peluang dan melakukan pembiaran atas terjadinya kerugian negara sebagai akibat dari ulah kejahatan ekonomi yang dilakukan para obligor.
Pemerintah, lanjut Dani, dalam hal ini Dirjen Kekayaan Negara/Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, harus segera mengumumkan secara terbuka status semua obligor.
"Pengumuman itu memuat nama obligor, data jumlah utang, jumlah pembayaran, dan keberadaan mereka," katanya.
Selain itu, pemerintah juga harus melakukan pemantauan dengan cermat terhadap sepak terjang para obligor yang sudah melakukan kejahatan ekonomi mega skandal BLBI.
Terutama, dalam upaya mereka untuk mencoba mengambil alih dan menguasai kembali aset mereka yang sudah didivestasi oleh BPPN/PPA. Termasuk tindakan para obligor yang menimbulkan gangguan terhadap operasi perusahaan mereka yang sudah didivestasi oleh BPPN/PPA.
Pemerintah juga tidak boleh membiarkan para obligor yang sudah melakukan kejahatan ekonomi mega skandal BLBI kembali mengangkangi aset-aset mereka yang sudah didivestasi oleh BPPN/PPA.
Untuk mencegah terulangnya praktik kejahatan ekonomi dalam kegiatan korporasi dan memaksa negara untuk melakukan talangan atas kerugian yang timbul akibat dari kejahatan ekonomi yang dilakukan para obligor BLBI.
Kemudian, pemerintah harus memastikan bahwa perusahaan yang sudah didivestasi oleh BPPN/PPA terbebas dari gangguan pemilik lamanya, yaitu para obligor yang sudah melakukan kejahatan ekonomi mega skandal BLBI.
Gangguan itu dinilai bisa berdampak negatif terhadap perekonomian, khususnya bisa berdampak tidak optimalnya penerimaan pajak oleh negara. Gangguan yang dilakukan pemilik lama akan berpengaruh pada kinerja perusahaan.
Padahal, kata Dani, perusahaan itu harus didorong dan dipastikan oleh pemerintah untuk bisa menciptakan lapangan kerja dan memberikan penerimaan pada negara dalam bentuk pajak.
Terakhir, pemerintah harus bertindak tegas terhadap para obligor yang sudah melakukan kejahatan ekonomi mega skandal BLBI dengan cara memasukkan mereka kedalam daftar hitam.
(izz)