BUMN Dinilai Tidak Akan Menjadi Roda Ekonomi
A
A
A
JAKARTA - Pengamat pesimistis suntikan modal melalui penyertaan modal negara (PMN) dapat mendorong kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi lebih baik. Tidak adanya strategi, arah pengelolaan dan audit, perusahaan pelat merah tidak akan menjadi roda ekonomi negara. Kebijakan tersebut justru akan merugikan negara.
Hal ini disampaikan pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy. Dia menilai kebijakan yang diambil tidak jelas asal-usulnya dan penuh kontradiksi. Ini mengingat kebijakan tersebut berlawanan dengan semangat privatisasi BUMN yang dulu didesak pada 2008.
"Ada yang tidak fair, sejumlah orang di BUMN dulu menuntut pemisahan sekarang justru mengemis duit negara. Dulu minta dipisahkan sehingga BUMN diaudit oleh BPK. Berarti ini sudah tidak jelas arahnya," ujar Ichsanuddin, Rabu (11/2/2015).
Menurutnya, ada ketidakjelasan strategi (Kementerian BUMN). Apakah BUMN sebagai perusahaan publik atau komersial. Untuk itu harus tegas ranahnya. Ironis melihat wacana privatisasi tidak pernah berhenti namun tetap mengemis pada rakyat.
Ichsan berpendapat, dalam lima tahun ke depan walaupun mendapat injeksi PMN, dipastikan BUMN tidak akan menjadi penggerak perekonomian. Karena asing mendominasi dalam penguasaan hulu hingga hilir bisnis.
Di negara lain, seperti Singapura dan Malaysia jelas terbukti state capitalism menang melawan corporate capitalism. Tapi di Indonesia sangat ironis. Karena tidak terjadi pengelolaan ekonomi yang terstruktur dari sumber daya hingga distribusi. Sementara di China, Malaysia dan Singapura semuanya terdata dari hulu hingga distribusi.
"Kepercayaan diri mengelola BUMN diluluhlantakkan karena menjunjung tinggi pasar bebas. Semua dikuasai asing. Jadi tamu di rumah sendiri dan bertentangan dengan konstitusi," tegasnya.
Hal senada dikatakan pengamat dari BUMN Watch, Naldy Nazar Haroen. Dia menegaskan kebijakan suntikan modal akan sia-sia tanpa adanya audit independen terhadap BUMN.
"Harus ada transparansi terlebih dahulu. Selama ini seluruh proses audit sudah direkayasa. Evaluasi atas analisanya masih belum terbukti," tandas Naldy.
Seperti diketahui, Komisi VI DPR menyetujui besaran PMN pada BUMN dalam RAPBNP TA 2015 untuk disampaikan ke Badan Anggaran sesuai peraturan perundang-undangan:
PT Angkasa Pura II : Rp2 triliun
PT ASDP : Rp1 triliun
PT Pelni : Rp500 miliar
PT Djakarta Lloyd tidak disetujui (usulan Rp350 miliar)
PT Hutama Karya: Rp3,6 triliun
Perum Perumnas : Rp2 triliun
PT Waskita Karya : Rp3,5 triliun
PT Adhi Karya dapat : Rp1,4 triliun
PT Perkebunan Nusantara III : Rp3,5 triliun.
PT Permodalan Nasional Madani : Rp1 triliun
PT Garam : Rp300 miliar
PT Rajawali Nusantara Indonesia tidak disetujui (usulan Rp280 miliar)
Perum Bulog : Rp3 triliun
PT Pertani : Rp470 miliar
PT Sang Hyang Seri : Rp400 miliar
PT Perikanan Nusantara : Rp200 miliar
Perum Perikanan Nusantara : Rp300 miliar
PT Dirgantara Indonesia : Rp400 miliar
PT Dok Perkapalan Surabaya : Rp200 miliar
PT Dok Kodja Bahari : Rp900 miliar
PT Industri Kapal Indonesia : Rp200 miliar
PT Aneka Tambang : Rp3,5 triliun
PT Pindad Rp700 : miliar
PT KAI : Rp2,750 triliun
PT Perusahaan Pengelola Aset : Rp2 triliun
PT Pengembangan Pariwisata : Rp250 miliar
PT Bank Mandiri tidak disetujui (usulan Rp5,6 triliun)
PT Pelindo IV : Rp2 triliun
PT Krakatau Steel : Rp956 miliar
PT BPUI : Rp250 miliar
Total PMN disetujui Rp37,276 triliun
Ada pula catatan yang diberikan Komisi VI DPR RI pada PMN PTPN III sebesar Rp3,5 triliun digunakan untuk:
1. PTPN VII : Rp175 miliar
2. PTPN IX : Rp1 triliun
3. PTPN X : Rp975 miliar
4. PTPN XI : Rp650 miliar
5. PTPN XII : Rp700 miliar
Hal ini disampaikan pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy. Dia menilai kebijakan yang diambil tidak jelas asal-usulnya dan penuh kontradiksi. Ini mengingat kebijakan tersebut berlawanan dengan semangat privatisasi BUMN yang dulu didesak pada 2008.
"Ada yang tidak fair, sejumlah orang di BUMN dulu menuntut pemisahan sekarang justru mengemis duit negara. Dulu minta dipisahkan sehingga BUMN diaudit oleh BPK. Berarti ini sudah tidak jelas arahnya," ujar Ichsanuddin, Rabu (11/2/2015).
Menurutnya, ada ketidakjelasan strategi (Kementerian BUMN). Apakah BUMN sebagai perusahaan publik atau komersial. Untuk itu harus tegas ranahnya. Ironis melihat wacana privatisasi tidak pernah berhenti namun tetap mengemis pada rakyat.
Ichsan berpendapat, dalam lima tahun ke depan walaupun mendapat injeksi PMN, dipastikan BUMN tidak akan menjadi penggerak perekonomian. Karena asing mendominasi dalam penguasaan hulu hingga hilir bisnis.
Di negara lain, seperti Singapura dan Malaysia jelas terbukti state capitalism menang melawan corporate capitalism. Tapi di Indonesia sangat ironis. Karena tidak terjadi pengelolaan ekonomi yang terstruktur dari sumber daya hingga distribusi. Sementara di China, Malaysia dan Singapura semuanya terdata dari hulu hingga distribusi.
"Kepercayaan diri mengelola BUMN diluluhlantakkan karena menjunjung tinggi pasar bebas. Semua dikuasai asing. Jadi tamu di rumah sendiri dan bertentangan dengan konstitusi," tegasnya.
Hal senada dikatakan pengamat dari BUMN Watch, Naldy Nazar Haroen. Dia menegaskan kebijakan suntikan modal akan sia-sia tanpa adanya audit independen terhadap BUMN.
"Harus ada transparansi terlebih dahulu. Selama ini seluruh proses audit sudah direkayasa. Evaluasi atas analisanya masih belum terbukti," tandas Naldy.
Seperti diketahui, Komisi VI DPR menyetujui besaran PMN pada BUMN dalam RAPBNP TA 2015 untuk disampaikan ke Badan Anggaran sesuai peraturan perundang-undangan:
PT Angkasa Pura II : Rp2 triliun
PT ASDP : Rp1 triliun
PT Pelni : Rp500 miliar
PT Djakarta Lloyd tidak disetujui (usulan Rp350 miliar)
PT Hutama Karya: Rp3,6 triliun
Perum Perumnas : Rp2 triliun
PT Waskita Karya : Rp3,5 triliun
PT Adhi Karya dapat : Rp1,4 triliun
PT Perkebunan Nusantara III : Rp3,5 triliun.
PT Permodalan Nasional Madani : Rp1 triliun
PT Garam : Rp300 miliar
PT Rajawali Nusantara Indonesia tidak disetujui (usulan Rp280 miliar)
Perum Bulog : Rp3 triliun
PT Pertani : Rp470 miliar
PT Sang Hyang Seri : Rp400 miliar
PT Perikanan Nusantara : Rp200 miliar
Perum Perikanan Nusantara : Rp300 miliar
PT Dirgantara Indonesia : Rp400 miliar
PT Dok Perkapalan Surabaya : Rp200 miliar
PT Dok Kodja Bahari : Rp900 miliar
PT Industri Kapal Indonesia : Rp200 miliar
PT Aneka Tambang : Rp3,5 triliun
PT Pindad Rp700 : miliar
PT KAI : Rp2,750 triliun
PT Perusahaan Pengelola Aset : Rp2 triliun
PT Pengembangan Pariwisata : Rp250 miliar
PT Bank Mandiri tidak disetujui (usulan Rp5,6 triliun)
PT Pelindo IV : Rp2 triliun
PT Krakatau Steel : Rp956 miliar
PT BPUI : Rp250 miliar
Total PMN disetujui Rp37,276 triliun
Ada pula catatan yang diberikan Komisi VI DPR RI pada PMN PTPN III sebesar Rp3,5 triliun digunakan untuk:
1. PTPN VII : Rp175 miliar
2. PTPN IX : Rp1 triliun
3. PTPN X : Rp975 miliar
4. PTPN XI : Rp650 miliar
5. PTPN XII : Rp700 miliar
(dmd)