Aturan PLTS Atap Direvisi, Listrik Lebih dari Panel Surya Tak Lagi Dibeli PLN
Jum'at, 28 Juli 2023 - 12:51 WIB
JAKARTA - Revisi aturan Pembangkit Listrik Tenaga Surya atau PLTS Atap membuat tidak lagi menghargai masyarakat yang memproduksi listrik sendiri dari panel surya . Hal itu termasuk dalam revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 Tentang PLTS Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum.
Namun demikian Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa menerangkan, masyarakat yang memasang panel surya akan tetap terhubung dengan jaringan PLN . Listrik yang dihasilkan dari panel surya akan tetap terserap oleh PLN. Akan tetapi sudah tidak ada lagi harganya.
"Jika kemudian ada over capacity (listrik PLTS), kalau dia (masyarakat) mengirim, istilahnya itu menjadi sodakoh, jadi kita mensodaqohkan listrik kepada PLN, karena tidak akan dihargai lagi, itu yang membedakan dengan aturan sebelumnya," ujar Fabby dalam Market Review IDXChannel, Jumat (28/7/2023).
Fabby menjelaskan, pada peraturan sebelumnya dimuat aturan net metering. Yaitu masyarakat yang menggunakan PLTS atap maka produksinya akan terserap oleh PLN. Kemudian akan dikembalikan kompensasi berupa potongan tagihan listrik PLN.
Akan tetapi dalam revisi Permen ESDM 26/2021 itu menghapuskan ketentuan net metering. Hal itulah yang membuat PLN tidak lagi menghargai listrik PLTS yang diproduksi oleh masyarakat. "Sehingga kelebihan energi listrik yang dikirimkan ke PLN tidak lagi dihargai 100%," sambungnya.
Menurut Fabby kebijakan tersebut diambil lantaran saat ini PLN mengalami over suply listrik. Sehingga dikhawatirkan jika terus membayari listrik PLTS masyarakat justru akan berdampak revenue perseroan ke depannya.
"Tapi alasan PLN karena PLN saat ini mengalami over capacity yang cukup besar, dan kalau PLN masih harus menerima listrik dari PLTS atap, PLN merasa kehilangan revenue," lanjutnya.
Padahal menurut Fabby Indonesia cukup potensial untuk menggarap pembangkit listrik dari tenaga surya. Berhubung Indonesia secara geografis juga berada di bawah katulistiwa yang mendapatkan pancaran sinar matahari sepanjang tahun.
Di satu sisi penerapan PLTS atap ini juga tergolong lebih murah, terutama dari sisi ongkos lingkungan. Sebab tidak perlu menambang batubara, menggunakan alat berat tapi cukup menampung sinar matahari.
"Hari ini PLTS atap memberikan harga listrik yang murah sebetulnya, bahkan untuk skala besar PLTS itu lebih murah dibandingkan dengan PLTU, ini membuat PLTS penting," pungkasnya.
Namun demikian Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa menerangkan, masyarakat yang memasang panel surya akan tetap terhubung dengan jaringan PLN . Listrik yang dihasilkan dari panel surya akan tetap terserap oleh PLN. Akan tetapi sudah tidak ada lagi harganya.
"Jika kemudian ada over capacity (listrik PLTS), kalau dia (masyarakat) mengirim, istilahnya itu menjadi sodakoh, jadi kita mensodaqohkan listrik kepada PLN, karena tidak akan dihargai lagi, itu yang membedakan dengan aturan sebelumnya," ujar Fabby dalam Market Review IDXChannel, Jumat (28/7/2023).
Fabby menjelaskan, pada peraturan sebelumnya dimuat aturan net metering. Yaitu masyarakat yang menggunakan PLTS atap maka produksinya akan terserap oleh PLN. Kemudian akan dikembalikan kompensasi berupa potongan tagihan listrik PLN.
Akan tetapi dalam revisi Permen ESDM 26/2021 itu menghapuskan ketentuan net metering. Hal itulah yang membuat PLN tidak lagi menghargai listrik PLTS yang diproduksi oleh masyarakat. "Sehingga kelebihan energi listrik yang dikirimkan ke PLN tidak lagi dihargai 100%," sambungnya.
Menurut Fabby kebijakan tersebut diambil lantaran saat ini PLN mengalami over suply listrik. Sehingga dikhawatirkan jika terus membayari listrik PLTS masyarakat justru akan berdampak revenue perseroan ke depannya.
"Tapi alasan PLN karena PLN saat ini mengalami over capacity yang cukup besar, dan kalau PLN masih harus menerima listrik dari PLTS atap, PLN merasa kehilangan revenue," lanjutnya.
Padahal menurut Fabby Indonesia cukup potensial untuk menggarap pembangkit listrik dari tenaga surya. Berhubung Indonesia secara geografis juga berada di bawah katulistiwa yang mendapatkan pancaran sinar matahari sepanjang tahun.
Di satu sisi penerapan PLTS atap ini juga tergolong lebih murah, terutama dari sisi ongkos lingkungan. Sebab tidak perlu menambang batubara, menggunakan alat berat tapi cukup menampung sinar matahari.
"Hari ini PLTS atap memberikan harga listrik yang murah sebetulnya, bahkan untuk skala besar PLTS itu lebih murah dibandingkan dengan PLTU, ini membuat PLTS penting," pungkasnya.
(akr)
tulis komentar anda