Proteksi Industri Sawit, Negara Perlu Benahi Regulasi dan Hukum
Rabu, 20 September 2023 - 16:07 WIB
JAKARTA - Pemerintah perlu menyiapkan regulasi dan produk hukum yang baik agar komoditas unggulan seperti minyak sawit (crude palm oil/CPO) tidak semakin terpuruk. Dalam dua tahun terakhir, berbagai produk regulasi dan produk hukum menimbulkan banyak persoalan di sektor hulu hingga hilir yang membuat industri sawit semakin tidak kompetitif, bahkan di dalam negeri.
Negara harus sepakat bahwa sektor sawit merupakan industri strategis yang punya peran besar dan harus dilindungi untuk mensejahterakan masyarakat. Sebagai sektor strategis, negara harus memahami bahwa swasta merupakan pengelola terbesar di sektor tersebut.
Itu sebabnya, kebijakan antara swasta dan pemerintah pastinya memiliki azas berbeda dan tidak dapat disetarakan secara hukum, misalnya dalam kasus dugaan korupsi minyak goreng . “Swasta mencari keuntungan dalam berbisnis, sementara negara harus melayani masyakarat misalnya memberi subsidi Bantuan Langsung Tunai agar kepentingan publik terjaga,” kata Akademisi Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Sadino di Jakarta, Selasa (19/9/2023).
Sadino menilai, tidak tepat negara menjatuhkan sanksi kepada swasta dengan mengacu pada audit Badan Pengawasan Pembangunan dan Keuangan ( BPKP ) tentang korporasi sebagai pemicu kerugian negara senilai Rp6,47 triliun. Audit BPKP tidak dapat menjadi tanggung jawab negara dan dijatuhkan kepada swasta.
“Untung-rugi swasta harus dinilai sendiri melalui audit akuntan. kalau mereka perusahan publik, maka audit dilakukan dengan akuntan publik. Jadi tidak tepat menjatuhkan sanksi kerugian negara kepada swasta karena azas penilaiannya berbeda,” lanjutnya.
Sadino juga mempertanyakan jika memang ada kerugian negara yang begitu besar mengapa hingga saat ini negara belum membayar utang rafaksi minyak goreng kepada pengusaha ritel Rp344 miliar. Pasalnya hal itu dapat memicu persoalan serius karena perusahaan ritel berencana mengurangi pembelian minyak goreng mereka dari distributor apabila rafaksi minyak goreng tidak kunjung dibayar dalam waktu dekat.
“Ini jadi persoalan lain yang bisa menyebabkan kelangkaan minyak goreng di tengah masyarakat. Karena pengusaha ritel tidak punya kepastian sama sekali kapan hak mereka akan dibayarkan," ujarnya.
Selain itu, dia juga menilai absurd kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait nasib 3,3 juta kebun sawit yang diklaim berada di kawasan hutan dengan menggunakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Aturan itu mengacu pada UU No 41/1999 tentang kehutanan.
Dalam aturannya DR dan PSDH hanya berlaku bagi perusahaan yang memanfaatkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan dan kayu hasil IPK. “Perkebunan sawit tidak memanfaatkan kayu hasil IPK. Itu aneh kalau perkebunan sawit wajib membayar PNBP berupa DR dan PSDH,” jelasnya.
Negara harus sepakat bahwa sektor sawit merupakan industri strategis yang punya peran besar dan harus dilindungi untuk mensejahterakan masyarakat. Sebagai sektor strategis, negara harus memahami bahwa swasta merupakan pengelola terbesar di sektor tersebut.
Itu sebabnya, kebijakan antara swasta dan pemerintah pastinya memiliki azas berbeda dan tidak dapat disetarakan secara hukum, misalnya dalam kasus dugaan korupsi minyak goreng . “Swasta mencari keuntungan dalam berbisnis, sementara negara harus melayani masyakarat misalnya memberi subsidi Bantuan Langsung Tunai agar kepentingan publik terjaga,” kata Akademisi Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Sadino di Jakarta, Selasa (19/9/2023).
Sadino menilai, tidak tepat negara menjatuhkan sanksi kepada swasta dengan mengacu pada audit Badan Pengawasan Pembangunan dan Keuangan ( BPKP ) tentang korporasi sebagai pemicu kerugian negara senilai Rp6,47 triliun. Audit BPKP tidak dapat menjadi tanggung jawab negara dan dijatuhkan kepada swasta.
“Untung-rugi swasta harus dinilai sendiri melalui audit akuntan. kalau mereka perusahan publik, maka audit dilakukan dengan akuntan publik. Jadi tidak tepat menjatuhkan sanksi kerugian negara kepada swasta karena azas penilaiannya berbeda,” lanjutnya.
Sadino juga mempertanyakan jika memang ada kerugian negara yang begitu besar mengapa hingga saat ini negara belum membayar utang rafaksi minyak goreng kepada pengusaha ritel Rp344 miliar. Pasalnya hal itu dapat memicu persoalan serius karena perusahaan ritel berencana mengurangi pembelian minyak goreng mereka dari distributor apabila rafaksi minyak goreng tidak kunjung dibayar dalam waktu dekat.
“Ini jadi persoalan lain yang bisa menyebabkan kelangkaan minyak goreng di tengah masyarakat. Karena pengusaha ritel tidak punya kepastian sama sekali kapan hak mereka akan dibayarkan," ujarnya.
Baca Juga
Selain itu, dia juga menilai absurd kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait nasib 3,3 juta kebun sawit yang diklaim berada di kawasan hutan dengan menggunakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Aturan itu mengacu pada UU No 41/1999 tentang kehutanan.
Dalam aturannya DR dan PSDH hanya berlaku bagi perusahaan yang memanfaatkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan dan kayu hasil IPK. “Perkebunan sawit tidak memanfaatkan kayu hasil IPK. Itu aneh kalau perkebunan sawit wajib membayar PNBP berupa DR dan PSDH,” jelasnya.
(poe)
Lihat Juga :
tulis komentar anda