Kereta Cepat Shinkansen dan KCJB Sama-sama Dibangun dengan Utang, Ini Bedanya
Selasa, 17 Oktober 2023 - 12:24 WIB
Proyek ini merupakan tambahan dari pengembangan kereta api berkelanjutan yang jauh lebih besar yang direncanakan oleh Jepang. Wakil Presiden SAR, Mieko Nishimizu merefleksikan, pentingnya pinjaman ini dalam wawancara dengan World Bank pada Agustus 1994.
"Tentu saja, secara teknik kami tahu segalanya dan kami tidak harus belajar dari insinyur Bank Dunia. Tapi mereka
mengajari kami cara berpikir tentang proyek, soal analisis proyek yang rasional, mereka mengajari kami analisis biaya-manfaat, mereka mengajari kami cara berpikir tentang penetapan harga tiket kereta api dalam konteks Proyek Shinkansen, dan mereka mengajari kami cara berpikir, yang terpenting, tentang proyek jalur kereta api, tidak hanya dalam konteks sistem kereta api negara kita, tetapi dalam konteks seluruh sistem transportasi Jepang," ungkapnya.
Pinjaman Bank Dunia ke Jepang berakhir pada tahun 1966. Ada total 31 pinjaman dari tahun 1953 hingga 1966, dengan nilainya mencapai sebesar USD862 juta.
Skema investasinya 40% kepemilikan China dan 60% konsorsium BUMN, sedangkan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2% per tahun.
Dari estimasi investasi tersebut, sekitar 25% akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2% per tahun. China juga menjamin pembangunan proyek ini tidak akan menguras dana APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) Indonesia.
Namun kenyataannya proyek kereta Jakarta-Bandung yang digarap konsorsium perusahaan Indonesia-China mengalami pembengkakan biaya. Proyek yang awalnya ditargetkan rampung pada 2019, namun baru akan diresmikan 2 Oktober 2023.
Biaya pembangunan mega proyek kereta cepat di Indonesia itu mengalami pembengkakan biaya atau cost overrun menjadi USD8 miliar atau setara Rp114,2 triliun. Angka tersebut membengkak USD1,9 miliar dari rencana awal sebesar USD6 miliar.
Sejumlah faktor penyebab pembengkakan biaya antara lain perobohan dan pembangunan ulang tiang pancang karena kesalahan kontraktor, pemindahan utilitas, penggunaan frekuensi GSM, pembebasan lahan, pencurian besi, hingga hambatan geologi dalam pembangunan terowongan serta ditambah adanya Pandemi Covid-19.
"Tentu saja, secara teknik kami tahu segalanya dan kami tidak harus belajar dari insinyur Bank Dunia. Tapi mereka
mengajari kami cara berpikir tentang proyek, soal analisis proyek yang rasional, mereka mengajari kami analisis biaya-manfaat, mereka mengajari kami cara berpikir tentang penetapan harga tiket kereta api dalam konteks Proyek Shinkansen, dan mereka mengajari kami cara berpikir, yang terpenting, tentang proyek jalur kereta api, tidak hanya dalam konteks sistem kereta api negara kita, tetapi dalam konteks seluruh sistem transportasi Jepang," ungkapnya.
Pinjaman Bank Dunia ke Jepang berakhir pada tahun 1966. Ada total 31 pinjaman dari tahun 1953 hingga 1966, dengan nilainya mencapai sebesar USD862 juta.
Kereta Cepat Whoosh
Berbeda dengan Jepang, Indonesia memilih bersama China membangun kereta cepat Jakarta-Bandung yang diberi nama Whoosh. China menawarkan nilai investasi lebih murah dari Jepang sebesar USD5,5 miliar atau setara Rp81 triliun.Skema investasinya 40% kepemilikan China dan 60% konsorsium BUMN, sedangkan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2% per tahun.
Dari estimasi investasi tersebut, sekitar 25% akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2% per tahun. China juga menjamin pembangunan proyek ini tidak akan menguras dana APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) Indonesia.
Namun kenyataannya proyek kereta Jakarta-Bandung yang digarap konsorsium perusahaan Indonesia-China mengalami pembengkakan biaya. Proyek yang awalnya ditargetkan rampung pada 2019, namun baru akan diresmikan 2 Oktober 2023.
Biaya pembangunan mega proyek kereta cepat di Indonesia itu mengalami pembengkakan biaya atau cost overrun menjadi USD8 miliar atau setara Rp114,2 triliun. Angka tersebut membengkak USD1,9 miliar dari rencana awal sebesar USD6 miliar.
Sejumlah faktor penyebab pembengkakan biaya antara lain perobohan dan pembangunan ulang tiang pancang karena kesalahan kontraktor, pemindahan utilitas, penggunaan frekuensi GSM, pembebasan lahan, pencurian besi, hingga hambatan geologi dalam pembangunan terowongan serta ditambah adanya Pandemi Covid-19.
Lihat Juga :
tulis komentar anda