Urgensi SRBI, Amunisi Baru BI untuk Mencegah Risiko Sistemik Likuiditas Rupiah?
Senin, 23 Oktober 2023 - 22:25 WIB
JAKARTA - Beberapa ancaman risiko kegagalan likuiditas diantaranya dipicu oleh krisis ekonomi sistemik yang disebabkan oleh adanya gejolak pada pasar keuangan, krisis global, tingkat inflasi negara, dan lain lain. Tingginya inflasi yang terjadi di Amerika Serikat atau AS, disusul dengan melambungnya suku bunga acuan The Fed akhir-akhir ini berdampak pada nilai tukar rupiah yang terus melemah ditekan oleh dolar Amerika Serikat (USD).
Melemahnya nilai rupiah ini menjadi sinyal bagi Bank Indonesia (BI) dalam mengambil kebijakan moneter untuk menstabilkan mata uang rupiah. Berdasarkan data kurs penutupan Bank Indonesia yang didapat dari reuters, sejak April 2023, nilai tukar rupiah berada pada kisaran Rp14.800 yang kemudian bergerak semakin tertekan hingga mencapai Rp15.810 pada penutupan 20 Oktober 2023.
Hal ini merupakan dampak yang terjadi akibat kencangnya arah kebijakan The Fed yang hawkish. Ketidakstabilan nilai rupiah yang tidak dikendalikan akan menghasilkan efek bola salju bagi perekonomian Indonesia.
Di antaranya yang pertama, nilai Rupiah yang melemah terhadap dolar AS dapat menyebabkan kelebihan likuiditas di pasar uang ketika investor asing cenderung menarik dananya dari Indonesia dengan menjual aset-aset mereka di Indonesia, termasuk surat berharga negara (SBN) yang kemudian mengakibatkan harga aset tersebut turun.
Penurunan harga aset-aset tersebut akan memberikan efek domino bagi investor domestik yang memiliki aset tersebut dan tergerak untuk menjual aset-aset mereka di pasar uang dampak dari penurunan harga aset. Kelebihan likuiditas yang terjadi di investor publik domestik dapat menyebabkan peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa karena uang beredar lebih banyak yang dapat dibelanjakan pada sektor real, hingga akhirnya menyebabkan inflasi.
Kedua, ketidakstabilan/pelemahan nilai Rupiah akan meningkatkan nilai utang negara dalam valuta asing semakin meningkat. Nilai tukar rupiah yang melemah akan membuat biaya utang negara dalam valuta asing menjadi lebih mahal dan menyebabkan pemerintah harus mengeluarkan lebih banyak dana untuk membayar bunga utang negara.
Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, Statistik Utang Luar Negeri Indonesia yang dimiliki pemerintah hingga 31 Agustus 2023 adalah USD191.59 miliar dengan komposisi utang dalam valuta asing sebesar USD136.05 miliar atau 71% dari total ULN.
Melemahnya nilai rupiah ini menjadi sinyal bagi Bank Indonesia (BI) dalam mengambil kebijakan moneter untuk menstabilkan mata uang rupiah. Berdasarkan data kurs penutupan Bank Indonesia yang didapat dari reuters, sejak April 2023, nilai tukar rupiah berada pada kisaran Rp14.800 yang kemudian bergerak semakin tertekan hingga mencapai Rp15.810 pada penutupan 20 Oktober 2023.
Hal ini merupakan dampak yang terjadi akibat kencangnya arah kebijakan The Fed yang hawkish. Ketidakstabilan nilai rupiah yang tidak dikendalikan akan menghasilkan efek bola salju bagi perekonomian Indonesia.
Di antaranya yang pertama, nilai Rupiah yang melemah terhadap dolar AS dapat menyebabkan kelebihan likuiditas di pasar uang ketika investor asing cenderung menarik dananya dari Indonesia dengan menjual aset-aset mereka di Indonesia, termasuk surat berharga negara (SBN) yang kemudian mengakibatkan harga aset tersebut turun.
Penurunan harga aset-aset tersebut akan memberikan efek domino bagi investor domestik yang memiliki aset tersebut dan tergerak untuk menjual aset-aset mereka di pasar uang dampak dari penurunan harga aset. Kelebihan likuiditas yang terjadi di investor publik domestik dapat menyebabkan peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa karena uang beredar lebih banyak yang dapat dibelanjakan pada sektor real, hingga akhirnya menyebabkan inflasi.
Kedua, ketidakstabilan/pelemahan nilai Rupiah akan meningkatkan nilai utang negara dalam valuta asing semakin meningkat. Nilai tukar rupiah yang melemah akan membuat biaya utang negara dalam valuta asing menjadi lebih mahal dan menyebabkan pemerintah harus mengeluarkan lebih banyak dana untuk membayar bunga utang negara.
Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, Statistik Utang Luar Negeri Indonesia yang dimiliki pemerintah hingga 31 Agustus 2023 adalah USD191.59 miliar dengan komposisi utang dalam valuta asing sebesar USD136.05 miliar atau 71% dari total ULN.
Lihat Juga :
tulis komentar anda