Mengenal Lebih Dekat Jalur Sutra Modern China, Pertaruhan Triliunan Dolar

Senin, 27 November 2023 - 11:26 WIB
Sementara itu krisis real estat dan pinjaman liberal oleh pemerintah daerah telah menciptakan "bom utang" di dalam negeri - diprediksi nilainya mencapai triliunan dolar. Ekonomi pasca-Covid yang lesu dan rekor pengangguran kaum muda juga tidak membantu.

China sejauh ini telah merestrukturisasi pinjaman BRI, memperpanjang tenggat waktu dan membayar sekitar USD240 miliar untuk membantu peminjam melakukan pembayaran tepat waktu. Tetapi mereka menolak untuk membatalkan utang tersebut.

"Bagi China untuk secara bersamaan terlibat dalam penghapusan utang di luar negeri, sementara masalah ekonomi domestik tidak sepenuhnya sudah diselesaikan – akan menjadi tantangan politik secara internal untuk mempromosikannya," kata Christoph Nedopil, direktur pendiri Green Finance and Development Center (GFDC), yang melacak pengeluaran BRI.

Kondisi ini telah merusak reputasi Beijing. Beberapa kritikus menuduh China terlibat dalam "diplomasi perangkap utang" dengan memikat negara-negara miskin untuk mendaftar proyek-proyek mahal sehingga Beijing akhirnya dapat menguasai aset yang disiapkan sebagai jaminan. Ini adalah tuduhan AS atas proyek pelabuhan Hambantota yang kontroversial di Sri Lanka.

Seangkan banyak analis berpendapat ada sedikit bukti tentang hal ini, tetapi telah meningkatkan kekhawatiran bahwa Beijing menggunakan BRI untuk merusak kedaulatan negara lain.

China juga menjadi sasaran kritik atas apa yang disebut "utang tersembunyi" - pemerintah tidak tahu seberapa terbuka lembaga pinjaman mereka, yang menyulitkan negara-negara untuk mempertimbangkan biaya dan manfaat BRI.

Selama bertahun-tahun proyek-proyek BRI juga dituduh menciptakan "white elephants" yang boros, memicu korupsi lokal, memperburuk masalah lingkungan, mengeksploitasi pekerja, dan gagal memenuhi janji untuk membawa pekerjaan dan kemakmuran bagi masyarakat setempat.

Satu studi belum lama ini yang dilakukan oleh laboratorium penelitian Aid Data menemukan lebih dari sepertiga proyek menghadapi masalah. Reaksi yang berkembang telah mendorong beberapa negara seperti Malaysia dan Tanzania untuk membatalkan kesepakatan BRI.

"Manajemen risiko yang buruk dan kurangnya perhatian terhadap detail dan kohesi" dari pemberi pinjaman dan perusahaan China, sebagian harus disalahkan, demikian menurut Dewan Hubungan Luar Negeri.

Tetapi think tank dan pengamat lainnya telah menunjukkan bahwa negara-negara peminjam juga harus disalahkan, baik karena terburu-buru melakukan kesepakatan tanpa perencanaan yang tepat atau salah mengelola keuangan seperti dalam kasus Hambantota.

Para pengamat juga mengatakan, China memberikan sumber daya dengan ikatan yang lebih sedikit, yang tidak terlalu apabila dibandingkan daripada tawaran dari pemberi pinjaman global atau Barat.

China muncul dengan pendekatan 'one-stop shop': 'Ini adalah bank dan perusahaan kami dan kami melakukan segalanya dari awal hingga akhir, dan jika Anda menandatangani hari ini, kami akan menyelesaikan kereta api itu, dan akan dilakukan tepat waktu seperti yang Anda janjikan untuk pemilihan berikutnya'," kata Gunter.

"Ini adalah nilai jual yang sangat besar untuk mengatakan bahwa Anda dapat melakukannya dalam satu hingga tiga tahun dengan sedikit dokumen. Mungkin itu akan sedikit kotor dan mungkin ada pelanggaran hak-hak buruh, tetapi kereta api Anda akan selesai," sambungnya.

Kemenangan Diplomatik

Namun China telah memenuhi salah satu tujuan terbesarnya - memperluas pengaruhnya. Bukan hanya melalui kereta api dan jalan raya, China telah menciptakan koneksi.

Beijing memproyeksikan kekuatan dan memposisikan dirinya sebagai pemimpin di Global South, membayar ribuan beasiswa universitas Tiongkok, program pertukaran budaya, dan Institut Konfusius. Perluasan blok perdagangan Brics juga telah dikreditkan ke China.

Pew Research menemukan bahwa dalam dekade terakhir banyak negara berpenghasilan menengah memiliki sikap yang semakin baik terhadap China, termasuk Meksiko, Argentina, Afrika Selatan, Kenya dan Nigeria.

Gunter mencatat, bahwa semakin banyak negara di Global South tidak ingin memihak dalam persaingan AS-Cina. "China belum membalikkan arah banyak negara dari orientasi Barat, tetapi fakta bahwa China telah memindahkan jarum ke jalan tengah – itu sudah merupakan kemenangan diplomatik besar bagi Beijing," katanya.

Tetapi para pengamat juga telah menyuarakan kekhawatiran tentang kemungkinan pemaksaan ekonomi, di mana pemerintah asing merasa tertekan untuk mengikuti agenda Beijing atau mengambil risiko China bakal menarik investasi.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More