Tambah Utang Rp385 Triliun, Pengamat Pertanyakan Belanja Alutsista Bekas Kemenhan
Jum'at, 05 Januari 2024 - 13:37 WIB
Menurut Ikrar, pertanyaan besarnya adalah apa tujuan pembelian pesawat bekas? Kalau hanya untuk mengganti armada pesawat tempur TNI yang masa baktinya sudah habis, kenapa membeli pesawat bekas.
Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia pernah menolak hibah pesawat Mirage bekas dari Qatar atas pertimbangan biaya perawatan yang mahal dan besar kemungkinan Indonesia menjadi tergantung pada ketersediaan suku cadang pesawat di negara itu.
“Dulu, menolak Mirage karena biaya maintenance mahal, pembelian pesawat lain yang juga bekas, sama saja usianya paling lama berapa tahun? Kemudian, berapa biaya empowering pesawat-pesawat bekas itu? Dari pada memperbaiki kenapa tidak beli pesawat tempur F16 yang baru, mungkin harganya mahal, tapi masih baru. Dari pada empower pesawat tua,” ujar dia.
Sesuai Kemajuan Teknologi
Secara terpisah, Founder Makara Strategic Insight (MSI Research) Andre Priyanto mengungkapkan keprihatinannya atas keputusan Pemerintah membeli alutsista bekas. Dikatakan, sistem pertahanan negara baik dalam keadaan perang atau tidak berperang tetap harus dilengkapi Alutsista sesuai kemajuan teknologi.
“Seharusnya, yang kita beli alutsista baru, bukan yang bekas. Namanya saja teknologi, ya kita harus ikut perkembangannya. Perkembangan teknologi itu kan sebuah keniscayaan, pasti berubah,” kata Andre di Jakarta, Jumat (5/1/2024).
Alumni Kajian Strategic Intelligence SKSG Universitas Indonesia (UI) ini menyatakan, pembelian alutsista bekas sebaiknya menjadi peluang Indonesia untuk belajar dan mereplikasi.
“Beli bekas untuk alih teknologi, kemudian kita produksi sendiri. Kan kita punya PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia. Mengapa kita tidak meniru cara Tiongkok? Kita ambil barang dari luar, kita amati, tiru, dan modifikasi, lalu produksi di dalam negeri,” ujarnya.
Andre berpendapat, bahwa memproduksi alutsista di dalam negeri akan memiliki sejumlah keuntungan, baik secara pertahanan, maupun ekonomi.
Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia pernah menolak hibah pesawat Mirage bekas dari Qatar atas pertimbangan biaya perawatan yang mahal dan besar kemungkinan Indonesia menjadi tergantung pada ketersediaan suku cadang pesawat di negara itu.
“Dulu, menolak Mirage karena biaya maintenance mahal, pembelian pesawat lain yang juga bekas, sama saja usianya paling lama berapa tahun? Kemudian, berapa biaya empowering pesawat-pesawat bekas itu? Dari pada memperbaiki kenapa tidak beli pesawat tempur F16 yang baru, mungkin harganya mahal, tapi masih baru. Dari pada empower pesawat tua,” ujar dia.
Sesuai Kemajuan Teknologi
Secara terpisah, Founder Makara Strategic Insight (MSI Research) Andre Priyanto mengungkapkan keprihatinannya atas keputusan Pemerintah membeli alutsista bekas. Dikatakan, sistem pertahanan negara baik dalam keadaan perang atau tidak berperang tetap harus dilengkapi Alutsista sesuai kemajuan teknologi.
“Seharusnya, yang kita beli alutsista baru, bukan yang bekas. Namanya saja teknologi, ya kita harus ikut perkembangannya. Perkembangan teknologi itu kan sebuah keniscayaan, pasti berubah,” kata Andre di Jakarta, Jumat (5/1/2024).
Alumni Kajian Strategic Intelligence SKSG Universitas Indonesia (UI) ini menyatakan, pembelian alutsista bekas sebaiknya menjadi peluang Indonesia untuk belajar dan mereplikasi.
“Beli bekas untuk alih teknologi, kemudian kita produksi sendiri. Kan kita punya PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia. Mengapa kita tidak meniru cara Tiongkok? Kita ambil barang dari luar, kita amati, tiru, dan modifikasi, lalu produksi di dalam negeri,” ujarnya.
Andre berpendapat, bahwa memproduksi alutsista di dalam negeri akan memiliki sejumlah keuntungan, baik secara pertahanan, maupun ekonomi.
tulis komentar anda