Hati-hati! Ancaman Badai PHK Masih Membayangi Industri Tekstil di 2024

Senin, 22 Januari 2024 - 12:58 WIB
Industri padat karya di Tanah Air pada 2024 diproyeksikan masih menghadapi tantangan kompleks. Hal ini bakal berdampak pada strategi perusahaan dalam melakukan berbagai efisiensi seperti pengurangan tenaga kerja. Foto/Dok
JAKARTA - Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M Rizal Taufikurrahman mengatakan, industri padat karya di Tanah Air pada tahun 2024 masih menghadapi tantangan yang kompleks. Hal tersebut bakal berdampak pada strategi perusahaan dalam melakukan berbagai efisiensi seperti pengurangan tenaga kerja.



Lebih spesifik, Rizal menyebut industri tekstil dan produk tekstil (TPT) paling berdampak dari adanya tantangan yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Baca Juga: Pabrik Ban di Cikarang PHK Besar-Besaran, Begini Kata Kemnaker

Menurutnya, dari luar negeri adanya pembatasan keran impor beberapa negara membuat produk- produk UMKM lokal tidak mudah terserap di pasar internasional. Disatu sisi, masalah di pasar domestik soal membanjirnya barang impor juga tidak kunjung teratasi.



"Memang permintaan barang, dari produk industri padat karya semakin menurun di pasar ekspor, apalagi berkaitan dengan permasalahan daya saing, di pasar domestik lemah akibat banyak barang impor, baik legal maupun tidak legal mampu menguasai pasar domestik," ujar Rizal dalam Market Review IDXChannel, Senin (22/1/2024).

Menurutnya kondisi yang demikian bisa berdampak buruk pada sektor ketenagakerjaan di Indonesia. Jumlah pengangguran bertambah akibat dampak efisiensi perusahaan yang kehilangan order dan pasar.

"Saya kira tentu mesti ada satu regulasi memperketat masuknya produk impor, pemerintah harus aware menyelamatkan Industri dalam negeri dan meningkatkan daya saing industri kita," kata Rizal.

"Tahun ini cukup berapa bagi industri padat karya, baik itu di TPT, terutama TPT sangat berat, karena produk impor masih luar biasa membanjiri domestik, industri padat karya sulit bersaing," sambungnya.

Selain itu perubahan standar sertifikasi yang diterapkan oleh negara tujuan impor juga harus menjadi perhatian pemerintah. Seperti contoh penerapan EUDR yang melarang barang yang teridentifikasi merusak masuk ke kawasan Eropa.

"Selain itu pemerintah harus respons perubahan kebijakan negara importir, misalnya Amerika akan menerima impor ban apabila bahan baku ramah lingkungan, pemerintah harus merespon kebijakan ini," pungkas Rizal.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More