Ekosistem Industri Pertembakuan Minta Aturan Tembakau Dipisah dari RPP Kesehatan
Senin, 20 Mei 2024 - 21:52 WIB
Senada, Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey, menyatakan pihaknya mengapresiasi adanya UU yang mengatur soal konsumsi tembakau dari sisi kesehatan. Namun yang menjadi catatan, perlu adanya pembahasan intens terkait larangan dan pembatasan penjualan bagi produk turunan tembakau karena menyangkut kesejahteraan ekonomi serta tenaga kerja yang berkecimpung di IHT.
Salah satu pasal yang menurutnya bisa menimbulkan delik dalam hal pelaksanaan, yakni adanya larangan penjualan dalam radius 200 meter di fasilitas pendidikan. Ia menilai aturan tersebut merupakan pasal karet yang bisa menimbulkan salah tafsir.
"Gampang sekali aturan ini dipelintir di lapangan. Akhirnya praktik di lapangan akan terjadi tahu sama tahu atau kompromi. Ini kan yang kita tidak inginkan. Nanti cost ekonomi kita jadi besar karena ada pasal karet yang dalam pelaksanaannya dimanfaatkan oknum," khawatirnya.
Roy melanjutkan seharusnya pemerintah lebih menggencarkan sosialisasi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait konsumsi tembakau, dan bukan hanya meningkatkan intensitas pembatasan serta pelarangan yang berpotensi mengganggu laju ekonomi dalam negeri.
"Jangan berharap konsumsi rumah tangga sebagai kontributor Gross Domestic Product kita bisa mencapai sampai 6%-7%," jelasnya.
"Pekerja di sektor IHT yang masuk ke dalam kategori padat karya mayoritas adalah wanita dengan pendidikan terbatas dan memiliki usia rata-rata 40 tahun. Realita saat ini, lapangan kerja saja tidak sebanding dengan angkatan kerja. Selain itu, menurut saya belum ada pekerjaan yang dapat menggantikan dengan nilai kesejahteraan yang sama yang mereka dapatkan seperti saat ini," katanya.
Selain itu, PP FSP RTMM-SPSI juga meminta agar pemerintah melibatkan para pembangku kepentingan di IHT dalam setiap pembahasan regulasi yang akan dibuat. Hal ini agar aturan yang diterbitkan oleh pemerintah tidak hanya mengakomodir kepentingan pemerintah saja, tetapi bisa mengakomodir kepentingan industri untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat.
Sebagai informasi, pemerintah tengah menggodok aturan turunan UU No 17/2023 tentang Kesehatan berupa RPP Kesehatan terkait Pengamanan Zat Adiktif. Rencana penerbitan aturan ini menuai pertentangan dari banyak pihak.
Pasal tembakau di RPP Kesehatan yang sedang dibahas dinilai sudah keluar dari jalur sebagaimana mestinya. Seharusnya, aturan tersebut dibuat tidak hanya melihat dari perspektif kesehatan saja, namun juga mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial. Hal ini yang kemudian memicu pro dan kontra di masyarakat.
Salah satu pasal yang menurutnya bisa menimbulkan delik dalam hal pelaksanaan, yakni adanya larangan penjualan dalam radius 200 meter di fasilitas pendidikan. Ia menilai aturan tersebut merupakan pasal karet yang bisa menimbulkan salah tafsir.
"Gampang sekali aturan ini dipelintir di lapangan. Akhirnya praktik di lapangan akan terjadi tahu sama tahu atau kompromi. Ini kan yang kita tidak inginkan. Nanti cost ekonomi kita jadi besar karena ada pasal karet yang dalam pelaksanaannya dimanfaatkan oknum," khawatirnya.
Roy melanjutkan seharusnya pemerintah lebih menggencarkan sosialisasi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait konsumsi tembakau, dan bukan hanya meningkatkan intensitas pembatasan serta pelarangan yang berpotensi mengganggu laju ekonomi dalam negeri.
"Jangan berharap konsumsi rumah tangga sebagai kontributor Gross Domestic Product kita bisa mencapai sampai 6%-7%," jelasnya.
"Pekerja di sektor IHT yang masuk ke dalam kategori padat karya mayoritas adalah wanita dengan pendidikan terbatas dan memiliki usia rata-rata 40 tahun. Realita saat ini, lapangan kerja saja tidak sebanding dengan angkatan kerja. Selain itu, menurut saya belum ada pekerjaan yang dapat menggantikan dengan nilai kesejahteraan yang sama yang mereka dapatkan seperti saat ini," katanya.
Selain itu, PP FSP RTMM-SPSI juga meminta agar pemerintah melibatkan para pembangku kepentingan di IHT dalam setiap pembahasan regulasi yang akan dibuat. Hal ini agar aturan yang diterbitkan oleh pemerintah tidak hanya mengakomodir kepentingan pemerintah saja, tetapi bisa mengakomodir kepentingan industri untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat.
Sebagai informasi, pemerintah tengah menggodok aturan turunan UU No 17/2023 tentang Kesehatan berupa RPP Kesehatan terkait Pengamanan Zat Adiktif. Rencana penerbitan aturan ini menuai pertentangan dari banyak pihak.
Pasal tembakau di RPP Kesehatan yang sedang dibahas dinilai sudah keluar dari jalur sebagaimana mestinya. Seharusnya, aturan tersebut dibuat tidak hanya melihat dari perspektif kesehatan saja, namun juga mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial. Hal ini yang kemudian memicu pro dan kontra di masyarakat.
tulis komentar anda