Menilik Awal Dedolarisasi: Langkah Bertahap China Buang USD
Jum'at, 24 Mei 2024 - 23:22 WIB
JAKARTA - China menjadi negara terdepan dalam tren dedolarisasi , dimana Beijing sudah memulainya secara bertahap sejak 2011. Sebelumnya sebagian besar pembayaran lintas batas China dilakukan dalam dolar Amerika Serikat (USD) , seperti yang dilakukan banyak negara.
Namun pada kuartal pertama tahun 2023, hal itu tidak terjadi lagi. Perlahan tapi pasti, penggunaan renminbi China (RMB) dalam pembayaran baik di dalam negeri maupun global terus mengalami peningkatan.
Dalam beberapa bulan pertama tahun 2010, penyelesaian dalam mata uang lokal menyumbang kurang dari 1,0% dari pembayaran lintas batas China, dibandingkan dengan sekitar 83,0% dalam mata uang USD.
Sejak saat itu China menutup celah itu, dimana pada 2011 membuat perjanjian dengan Australia, Rusia, Jepang, Brasil, dan Iran untuk berdagang dalam mata uang nasional.
Pada tahun 2015, China meluncurkan CIPS, sistem pembayaran yang menawarkan layanan kliring dan penyelesaian bagi para pesertanya dalam pembayaran dan perdagangan Renminbi lintas batas sebagai alternatif SWIFT. Pada tahun 2011, Jepang membuat perjanjian dengan China untuk perdagangan mata uang nasional. Perdagangan China-Jepang saat itu bernilai USD300 miliar.
Upaya dedolarisasi semakin gencar, saat China mulai membeli minyak dengan yuan yang didukung emas sejak Maret 2018. Puncaknya pada Maret 2023, pangsa RMB dalam penyelesaian pembayaran China melampaui USD untuk pertama kalinya.
Selanjutnya dedolarisasi di panggung internasional China terus berlanjut. Pada Maret 2024, lebih dari setengah (52,9%) pembayaran China diselesaikan dalam Renminbi (RMB), sementara 42,8% dengan menggunakan USD. Ini dua kali lipat dari lima tahun sebelumnya.
Menurut Goldman Sachs, meningkatnya kesediaan orang asing untuk memperdagangkan aset dalam mata uang RMB secara signifikan berkontribusi pada dedolarisasi yang mendukung mata uang China. Serta pada awal tahun lalu, Brasil dan Argentina mengumumkan bahwa mereka akan mulai mengizinkan penyelesaian perdagangan dalam RMB.
Namun pada kuartal pertama tahun 2023, hal itu tidak terjadi lagi. Perlahan tapi pasti, penggunaan renminbi China (RMB) dalam pembayaran baik di dalam negeri maupun global terus mengalami peningkatan.
Dalam beberapa bulan pertama tahun 2010, penyelesaian dalam mata uang lokal menyumbang kurang dari 1,0% dari pembayaran lintas batas China, dibandingkan dengan sekitar 83,0% dalam mata uang USD.
Sejak saat itu China menutup celah itu, dimana pada 2011 membuat perjanjian dengan Australia, Rusia, Jepang, Brasil, dan Iran untuk berdagang dalam mata uang nasional.
Pada tahun 2015, China meluncurkan CIPS, sistem pembayaran yang menawarkan layanan kliring dan penyelesaian bagi para pesertanya dalam pembayaran dan perdagangan Renminbi lintas batas sebagai alternatif SWIFT. Pada tahun 2011, Jepang membuat perjanjian dengan China untuk perdagangan mata uang nasional. Perdagangan China-Jepang saat itu bernilai USD300 miliar.
Upaya dedolarisasi semakin gencar, saat China mulai membeli minyak dengan yuan yang didukung emas sejak Maret 2018. Puncaknya pada Maret 2023, pangsa RMB dalam penyelesaian pembayaran China melampaui USD untuk pertama kalinya.
Selanjutnya dedolarisasi di panggung internasional China terus berlanjut. Pada Maret 2024, lebih dari setengah (52,9%) pembayaran China diselesaikan dalam Renminbi (RMB), sementara 42,8% dengan menggunakan USD. Ini dua kali lipat dari lima tahun sebelumnya.
Menurut Goldman Sachs, meningkatnya kesediaan orang asing untuk memperdagangkan aset dalam mata uang RMB secara signifikan berkontribusi pada dedolarisasi yang mendukung mata uang China. Serta pada awal tahun lalu, Brasil dan Argentina mengumumkan bahwa mereka akan mulai mengizinkan penyelesaian perdagangan dalam RMB.
tulis komentar anda