Tantangan Menjaga Kepercayaan Digital di Tengah Ancaman Fraud dalam Perbankan

Rabu, 07 Agustus 2024 - 09:43 WIB
Ancaman kasus fraud dan kejahatan keuangan yang menargetkan sektor perbankan dengan sangat cepat akibat didorong oleh kemajuan digital, membuat para pelaku industri harus merespons secara komprehensif. Foto/Dok
JAKARTA - Ancaman kasus fraud dan kejahatan keuangan yang menargetkan sektor perbankan dengan sangat cepat akibat didorong oleh kemajuan digital, membuat para pelaku industri harus bisa memberikan respons secara komprehensif. Respons ini perlu menegaskan langkah-langkah keamanan yang kuat, yang mencakup orang, proses bisnis dan teknologi.



Survei terbaru yang dilakukan GBG bekerja sama dengan Chartis Risk mengungkapkan bahwa Indonesia menduduki peringkat teratas dalam kasus aktivitas money mule (kasus fraud transfer) dan pencurian identitas, yaitu sebesar 67%.

Menanggapi temuan tersebut, GBG menyelenggarakan seminar “Membangun Kepercayaan pada Saluran Digital: Studi Risiko Fraud Perbankan Indonesia” di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta, beberapa waktu yang lalu.





Acara yang dihadiri oleh 88 peserta dari 30 bank dan perusahaan keuangan, menghadirkan pembicara penting antara lain Sahrizal Sofian, Country Director Indonesia GBG PLC, Destya D. Pradityo, Head of Digital Strategy di Allo Bank, Ellend Kusuma, Head of Investigation and Disciplinary Action di PT Bank Muamalat Indonesia Tbk, dan Budi Santoso, Director of Unit Kejahatan Forensik & Keuangan PwC dan Direktur ACFE Indonesia.

Evolusi Kasus Fraud dan Kerentanan Indonesia

Survei GBG dan Chartis Risk menggarisbawahi bahwa kasus fraud terus bertransformasi dan berkembang. Indonesia telah menjadi target utama karena pasar produk digitalnya yang berkembang dan tingkat inklusi keuangan tinggi, yang diperkirakan akan mencapai 90% pada tahun 2024.

Para pelaku fraud akan semakin banyak menargetkan pengguna yang lebih rentan menjadi korban dibandingkan lembaga keuangan. Pergeseran ini telah menyebabkan peningkatan kasus-kasus yang melibatkan money mule dan pencurian identitas.

Budi Santoso menekankan, bahwa pemberantasan kasus fraud memerlukan upaya terkoordinasi antara penyedia teknologi regulasi (seperti GBG), lembaga keuangan, regulator, dan penegak hukum. Pendidikan dan investasi berkelanjutan dalam teknologi canggih, seperti AI dan pembelajaran mesin, sangat penting untuk mengakali berbagai teknik kasus fraud yang canggih.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More