Tantangan Menjaga Kepercayaan Digital di Tengah Ancaman Fraud dalam Perbankan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ancaman kasus fraud dan kejahatan keuangan yang menargetkan sektor perbankan dengan sangat cepat akibat didorong oleh kemajuan digital, membuat para pelaku industri harus bisa memberikan respons secara komprehensif. Respons ini perlu menegaskan langkah-langkah keamanan yang kuat, yang mencakup orang, proses bisnis dan teknologi.
Survei terbaru yang dilakukan GBG bekerja sama dengan Chartis Risk mengungkapkan bahwa Indonesia menduduki peringkat teratas dalam kasus aktivitas money mule (kasus fraud transfer) dan pencurian identitas, yaitu sebesar 67%.
Menanggapi temuan tersebut, GBG menyelenggarakan seminar “Membangun Kepercayaan pada Saluran Digital: Studi Risiko Fraud Perbankan Indonesia” di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta, beberapa waktu yang lalu.
Acara yang dihadiri oleh 88 peserta dari 30 bank dan perusahaan keuangan, menghadirkan pembicara penting antara lain Sahrizal Sofian, Country Director Indonesia GBG PLC, Destya D. Pradityo, Head of Digital Strategy di Allo Bank, Ellend Kusuma, Head of Investigation and Disciplinary Action di PT Bank Muamalat Indonesia Tbk, dan Budi Santoso, Director of Unit Kejahatan Forensik & Keuangan PwC dan Direktur ACFE Indonesia.
Para pelaku fraud akan semakin banyak menargetkan pengguna yang lebih rentan menjadi korban dibandingkan lembaga keuangan. Pergeseran ini telah menyebabkan peningkatan kasus-kasus yang melibatkan money mule dan pencurian identitas.
Budi Santoso menekankan, bahwa pemberantasan kasus fraud memerlukan upaya terkoordinasi antara penyedia teknologi regulasi (seperti GBG), lembaga keuangan, regulator, dan penegak hukum. Pendidikan dan investasi berkelanjutan dalam teknologi canggih, seperti AI dan pembelajaran mesin, sangat penting untuk mengakali berbagai teknik kasus fraud yang canggih.
Beragam dan tingginya jumlah kasus kasus fraud di Indonesia berasal dari transformasi digital yang tengah berlangsung, akses yang lebih mudah terhadap layanan keuangan , dan meningkatnya penargetan pengguna oleh para pelaku fraud.
Sementara itu Head of Digital Strategy Allo Bank, Destya D. Pradityo membahas pentingnya menyeimbangkan keamanan dengan aksesibilitas pengguna. Literasi keuangan harus dibarengi dengan literasi digital melalui edukasi konsumen yang berkesinambungan.
Allo Bank fokus pada tindakan pencegahan yang disiplin dan dalam tahap awal membangun infrastruktur teknologi yang kuat untuk memitigasi kasus fraud. Riset internal bank menunjukkan bahwa konsumen lebih mengutamakan keamanan saat bertransaksi dan penyimpanan data dibandingkan desain dan fitur antarmuka pengguna.
Sedangkan Head of Investigation and Disciplinary Action Bank Muamalat, Ellend Kusuma menegaskan, tentang perlunya prosedur penanganan keluhan pelanggan yang efektif untuk menyelidiki penyebab kasus fraud dan menerapkan langkah-langkah pencegahan dini.
Menurutnya sistem manajemen pengaduan yang kuat dapat membantu mengidentifikasi pola kasus fraud dan memastikan intervensi secara cepat, sehingga memperkuat kepercayaan pelanggan.
Sahrizal Sofian menekankan, mengenai perlunya peningkatan kewaspadaan terhadap pihak-pihak yang mengeksploitasi kemajuan digital. GBG menggunakan metode scoring berlapis dengan verifikasi identitas, pemantauan transaksi, analisis perilaku, dan endpoint security (keamanan perangkat pengguna).
Kolaborasi antar lembaga keuangan sangatlah penting, dan GBG berencana mengembangkan platform untuk pertukaran informasi yang lebih baik dan terkoordinasi.
Destya D. Pradityo menyarankan perusahaan untuk bermitra dengan penyedia cloud terdaftar di Indonesia dan memastikan kesiapan internal melalui pelatihan staf dan pengembangan infrastruktur TI (teknologi informasi).
Sedangkan Sahrizal Sofian mencatat potensi teknologi cloud dalam meningkatkan deteksi kasus fraud melalui pembaruan waktu nyata dan waktu respons yang lebih cepat.
Ellend Kusuma menekankan, penyelidikan awal yang komprehensif, mempertimbangkan perspektif pelanggan, dan analisis perilaku untuk memahami akar penyebab kasus fraud.
Director of Unit Kejahatan Forensik & Keuangan PwC dan Direktur ACFE Indonesia, Budi Santoso mengutarakan, perlunya investasi dalam teknologi keamanan dan program pelatihan untuk mengurangi risiko serangan rekayasa sosial, yang mencakup 60% kasus kasus fraud di Indonesia.
Ia pun menambahkan dan menganjurkan penyempurnaan sistem pemantauan transaksi berkala agar tetap terkini dan efektif. Memprioritaskan perlindungan konsumen dalam lingkungan perbankan digital melibatkan upaya untuk membangun kepercayaan melalui pendidikan komprehensif tentang keamanan data.
"Memastikan konsumen merasa aman dan memahami pentingnya menjaga informasi mereka adalah hal yang terpenting. Komunikasi yang jelas dan sederhana tentang praktik keamanan data adalah sangat penting untuk memberdayakan pelanggan dengan pengetahuan yang diperlukan untuk melindungi diri," terangnya.
Langkah-langkah ini secara kolektif memperkuat kepercayaan konsumen dan meningkatkan ketahanan lembaga keuangan terhadap ancaman dunia maya yang terus berkembang.
Wawasan utama dari seminar ini menekankan perlunya identifikasi kasus fraud sejak dini dan langkah-langkah proaktif, investasi berkelanjutan dalam teknologi untuk menjunjung tinggi kinerja dan kredibilitas, serta memprioritaskan pendidikan dan kesiapan teknologi.
Penerapan teknologi yang efisien dan kolaborasi antar stakeholder ditekankan sebagai strategi yang penting. Selain itu, rekayasa sosial dan ancaman endpoint berdampak pada hampir separuh dari lembaga di Indonesia, menyoroti perlunya langkah-langkah keamanan yang kuat.
Sifat taktik kasus fraud yang terus berkembang menegaskan pentingnya meningkatkan literasi keuangan dan digital, memprioritaskan investasi keamanan siber, dan memberikan pengalaman luar biasa kepada pelanggan. Upaya kolektif ini sangat penting dalam menjaga kepercayaan digital dan integritas layanan keuangan di Indonesia dan seluruh dunia.
Survei terbaru yang dilakukan GBG bekerja sama dengan Chartis Risk mengungkapkan bahwa Indonesia menduduki peringkat teratas dalam kasus aktivitas money mule (kasus fraud transfer) dan pencurian identitas, yaitu sebesar 67%.
Menanggapi temuan tersebut, GBG menyelenggarakan seminar “Membangun Kepercayaan pada Saluran Digital: Studi Risiko Fraud Perbankan Indonesia” di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta, beberapa waktu yang lalu.
Acara yang dihadiri oleh 88 peserta dari 30 bank dan perusahaan keuangan, menghadirkan pembicara penting antara lain Sahrizal Sofian, Country Director Indonesia GBG PLC, Destya D. Pradityo, Head of Digital Strategy di Allo Bank, Ellend Kusuma, Head of Investigation and Disciplinary Action di PT Bank Muamalat Indonesia Tbk, dan Budi Santoso, Director of Unit Kejahatan Forensik & Keuangan PwC dan Direktur ACFE Indonesia.
Evolusi Kasus Fraud dan Kerentanan Indonesia
Survei GBG dan Chartis Risk menggarisbawahi bahwa kasus fraud terus bertransformasi dan berkembang. Indonesia telah menjadi target utama karena pasar produk digitalnya yang berkembang dan tingkat inklusi keuangan tinggi, yang diperkirakan akan mencapai 90% pada tahun 2024.Para pelaku fraud akan semakin banyak menargetkan pengguna yang lebih rentan menjadi korban dibandingkan lembaga keuangan. Pergeseran ini telah menyebabkan peningkatan kasus-kasus yang melibatkan money mule dan pencurian identitas.
Budi Santoso menekankan, bahwa pemberantasan kasus fraud memerlukan upaya terkoordinasi antara penyedia teknologi regulasi (seperti GBG), lembaga keuangan, regulator, dan penegak hukum. Pendidikan dan investasi berkelanjutan dalam teknologi canggih, seperti AI dan pembelajaran mesin, sangat penting untuk mengakali berbagai teknik kasus fraud yang canggih.
Beragam dan tingginya jumlah kasus kasus fraud di Indonesia berasal dari transformasi digital yang tengah berlangsung, akses yang lebih mudah terhadap layanan keuangan , dan meningkatnya penargetan pengguna oleh para pelaku fraud.
Sementara itu Head of Digital Strategy Allo Bank, Destya D. Pradityo membahas pentingnya menyeimbangkan keamanan dengan aksesibilitas pengguna. Literasi keuangan harus dibarengi dengan literasi digital melalui edukasi konsumen yang berkesinambungan.
Allo Bank fokus pada tindakan pencegahan yang disiplin dan dalam tahap awal membangun infrastruktur teknologi yang kuat untuk memitigasi kasus fraud. Riset internal bank menunjukkan bahwa konsumen lebih mengutamakan keamanan saat bertransaksi dan penyimpanan data dibandingkan desain dan fitur antarmuka pengguna.
Sedangkan Head of Investigation and Disciplinary Action Bank Muamalat, Ellend Kusuma menegaskan, tentang perlunya prosedur penanganan keluhan pelanggan yang efektif untuk menyelidiki penyebab kasus fraud dan menerapkan langkah-langkah pencegahan dini.
Menurutnya sistem manajemen pengaduan yang kuat dapat membantu mengidentifikasi pola kasus fraud dan memastikan intervensi secara cepat, sehingga memperkuat kepercayaan pelanggan.
Sahrizal Sofian menekankan, mengenai perlunya peningkatan kewaspadaan terhadap pihak-pihak yang mengeksploitasi kemajuan digital. GBG menggunakan metode scoring berlapis dengan verifikasi identitas, pemantauan transaksi, analisis perilaku, dan endpoint security (keamanan perangkat pengguna).
Kolaborasi antar lembaga keuangan sangatlah penting, dan GBG berencana mengembangkan platform untuk pertukaran informasi yang lebih baik dan terkoordinasi.
Adopsi Cloud: Menyeimbangkan Efisiensi dan Keamanan
Panelis juga membahas tentang manfaat dan tantangan adopsi cloud dalam deteksi kasus fraud. Budi Santoso menyoroti pentingnya kesiapan data, pertimbangan anggaran, dan langkah pengamanan yang ketat, serta kepatuhan terhadap peraturan yang ditentukan regulator.Destya D. Pradityo menyarankan perusahaan untuk bermitra dengan penyedia cloud terdaftar di Indonesia dan memastikan kesiapan internal melalui pelatihan staf dan pengembangan infrastruktur TI (teknologi informasi).
Sedangkan Sahrizal Sofian mencatat potensi teknologi cloud dalam meningkatkan deteksi kasus fraud melalui pembaruan waktu nyata dan waktu respons yang lebih cepat.
Mengatasi Tantangan Organisasi, Ancaman Teknologi dan Perlindungan Konsumen
Destya D. Pradityo menjelaskan, bahwa pencegahan kasus fraud yang efektif dimulai dengan tindakan tegas selama proses registrasi dan orientasi, diikuti dengan investigasi dan validasi yang berkelanjutan. Ia juga menyoroti perlunya adaptasi berkelanjutan terhadap teknik kasus fraud yang terus berkembang dan pentingnya sumber daya manusia dalam penerapan teknologi tersebut.Ellend Kusuma menekankan, penyelidikan awal yang komprehensif, mempertimbangkan perspektif pelanggan, dan analisis perilaku untuk memahami akar penyebab kasus fraud.
Director of Unit Kejahatan Forensik & Keuangan PwC dan Direktur ACFE Indonesia, Budi Santoso mengutarakan, perlunya investasi dalam teknologi keamanan dan program pelatihan untuk mengurangi risiko serangan rekayasa sosial, yang mencakup 60% kasus kasus fraud di Indonesia.
Ia pun menambahkan dan menganjurkan penyempurnaan sistem pemantauan transaksi berkala agar tetap terkini dan efektif. Memprioritaskan perlindungan konsumen dalam lingkungan perbankan digital melibatkan upaya untuk membangun kepercayaan melalui pendidikan komprehensif tentang keamanan data.
"Memastikan konsumen merasa aman dan memahami pentingnya menjaga informasi mereka adalah hal yang terpenting. Komunikasi yang jelas dan sederhana tentang praktik keamanan data adalah sangat penting untuk memberdayakan pelanggan dengan pengetahuan yang diperlukan untuk melindungi diri," terangnya.
Langkah-langkah ini secara kolektif memperkuat kepercayaan konsumen dan meningkatkan ketahanan lembaga keuangan terhadap ancaman dunia maya yang terus berkembang.
Mengatasi Pelaku Fraud secara Proaktif
Seiring dengan kemajuan teknologi, perusahaan dan lembaga keuangan menghadapi kebutuhan yang terus menerus untuk bertransformasi dan beradaptasi dengan cepat guna memerangi ancaman kasus fraud yang terus berkembang.Wawasan utama dari seminar ini menekankan perlunya identifikasi kasus fraud sejak dini dan langkah-langkah proaktif, investasi berkelanjutan dalam teknologi untuk menjunjung tinggi kinerja dan kredibilitas, serta memprioritaskan pendidikan dan kesiapan teknologi.
Penerapan teknologi yang efisien dan kolaborasi antar stakeholder ditekankan sebagai strategi yang penting. Selain itu, rekayasa sosial dan ancaman endpoint berdampak pada hampir separuh dari lembaga di Indonesia, menyoroti perlunya langkah-langkah keamanan yang kuat.
Sifat taktik kasus fraud yang terus berkembang menegaskan pentingnya meningkatkan literasi keuangan dan digital, memprioritaskan investasi keamanan siber, dan memberikan pengalaman luar biasa kepada pelanggan. Upaya kolektif ini sangat penting dalam menjaga kepercayaan digital dan integritas layanan keuangan di Indonesia dan seluruh dunia.
(akr)