Dinilai Bakal Jadi Benalu, SP PLN Tolak Kebijakan Power Wheeling
Jum'at, 06 September 2024 - 17:50 WIB
Filipina, kata dia, juga menghadapi krisis energi dan sering mengalami pemadaman listrik setelah privatisasi sektor kelistrikan. Tantangan serupa bisa terjadi di Indonesia jika pasokan listrik tidak dijaga dengan baik, dan intermitensi dari pembangkit energi baru terbarukan dapat mengganggu keandalan sistem.
Selain belajar dari pengalaman Filipina, menurut dia Indonesia perlu menghadapi beberapa tantangan utama dalam implementasi Power Wheeling, di antaranya siperlukan kerangka hukum yang jelas dan tegas untuk memastikan kepastian hukum dalam hubungan antara PLN, produsen listrik swasta, dan konsumen. Regulasi yang tepat juga diperlukan untuk menghindari potensi pembentukan kartel di sektor ketenagalistrikan.
Power Wheeling juga membutuhkan investasi besar dalam pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan. Pemerintah harus memastikan adanya kepastian investasi yang cukup untuk mendorong minat produsen listrik swasta dalam berinvestasi.
Dengan skema Power Wheeling, Lanjutnya, tarif listrik akan ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Ketika permintaan tinggi dan pasokan tetap, tarif listrik pasti naik, yang berakibat pada kenaikan subsidi listrik yang harus ditanggung oleh APBN.
Di bagian lain, kata Abrar, PLN harus menanggung beban tambahan dari spinning reserve dan intermitensi pembangkit energi baru terbarukan. Ini akan mempengaruhi biaya pokok produksi (BPP) listrik, yang dapat berujung pada kenaikan tarif listrik untuk konsumen atau peningkatan subsidi dari APBN.
"Intinya, penerapan Power Wheeling justru dapat merugikan BUMN, APBN, dan konsumen secara akumulatif. Oleh karena itu, Power Wheeling dinilai lebih sebagai benalu dalam transisi energi, yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi negara," tutupnya.
Lihat Juga: Kemenparekraf: Literasi Keuangan dan Bisnis DPUP 2024 Cegah dari Pinjol Ilegal dan Judol
Selain belajar dari pengalaman Filipina, menurut dia Indonesia perlu menghadapi beberapa tantangan utama dalam implementasi Power Wheeling, di antaranya siperlukan kerangka hukum yang jelas dan tegas untuk memastikan kepastian hukum dalam hubungan antara PLN, produsen listrik swasta, dan konsumen. Regulasi yang tepat juga diperlukan untuk menghindari potensi pembentukan kartel di sektor ketenagalistrikan.
Power Wheeling juga membutuhkan investasi besar dalam pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan. Pemerintah harus memastikan adanya kepastian investasi yang cukup untuk mendorong minat produsen listrik swasta dalam berinvestasi.
Baca Juga
Dengan skema Power Wheeling, Lanjutnya, tarif listrik akan ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Ketika permintaan tinggi dan pasokan tetap, tarif listrik pasti naik, yang berakibat pada kenaikan subsidi listrik yang harus ditanggung oleh APBN.
Di bagian lain, kata Abrar, PLN harus menanggung beban tambahan dari spinning reserve dan intermitensi pembangkit energi baru terbarukan. Ini akan mempengaruhi biaya pokok produksi (BPP) listrik, yang dapat berujung pada kenaikan tarif listrik untuk konsumen atau peningkatan subsidi dari APBN.
"Intinya, penerapan Power Wheeling justru dapat merugikan BUMN, APBN, dan konsumen secara akumulatif. Oleh karena itu, Power Wheeling dinilai lebih sebagai benalu dalam transisi energi, yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi negara," tutupnya.
Lihat Juga: Kemenparekraf: Literasi Keuangan dan Bisnis DPUP 2024 Cegah dari Pinjol Ilegal dan Judol
(fch)
tulis komentar anda