Dinilai Bakal Jadi Benalu, SP PLN Tolak Kebijakan Power Wheeling
Jum'at, 06 September 2024 - 17:50 WIB
Di menilai skema ini juga berpotensi menimbulkan perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan volume yang dapat berdampak pada terhentinya pasokan listrik (blackout) dan merugikan masyarakat luas.
Dari sisi teknis, skema ini menurutnya akan mperparah oversupply. "Saat ini, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami oversupply. Penerapan Power Wheeling berpotensi memperburuk kondisi ini, terutama karena pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan tidak stabil," cetusnya.
Power Wheeling yang bersumber dari EBT, kata Abrar, memerlukan spinning reserve tambahan untuk menjaga keandalan sistem, yang justru akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen.
Hal itu kemudian berdampak terhadap ketahanan energi. Dengan meningkatnya risiko blackout, kata dia, jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit dicapai. "Hal ini dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat," tandasnya.
Penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk spinning reserve, lanjut dia, akan meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan membebani konsumen serta APBN.
Di bagian lain, dengan prioritas Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pada pembangunan pembangkit EBT sebesar 51,6%, menurut dia tidak ada urgensi untuk menerapkan Power Wheeling. Hal ini sesuai dengan rencana Net Zero Emission 2060 tanpa menambah risiko dari berbagai aspek.
"Konsep Power Wheeling dikhawatirkan akan digunakan dalam skema liberalisasi penyediaan listrik untuk kepentingan umum, yang pada akhirnya berpotensi melanggar Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, di mana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara," kata Abrar.
Abrar pun mencontohkan studi kasus di Filipina terkait penerapan skema Power Wheeling dan privatisasi sektor ketenagalistrikan melalui Electric Power Industry Reform Act (Epira) pada tahun 2001. "Pengalaman Filipina ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan kebijakan Power Wheeling," jelasnya.
Beberapa tantangan yang dialami Filipina yang perlu diperhatikan dalam konteks Indonesia menurutnya adalah kenaikan harga listrik. Sejak penerapan skema Power Wheeling, harga listrik di Filipina mengalami kenaikan sebesar 55%. Jika hal ini terjadi di Indonesia, masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah, akan menghadapi beban finansial yang berat, terutama jika harga listrik ditentukan berdasarkan mekanisme pasar.
Dari sisi teknis, skema ini menurutnya akan mperparah oversupply. "Saat ini, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami oversupply. Penerapan Power Wheeling berpotensi memperburuk kondisi ini, terutama karena pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan tidak stabil," cetusnya.
Power Wheeling yang bersumber dari EBT, kata Abrar, memerlukan spinning reserve tambahan untuk menjaga keandalan sistem, yang justru akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen.
Hal itu kemudian berdampak terhadap ketahanan energi. Dengan meningkatnya risiko blackout, kata dia, jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit dicapai. "Hal ini dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat," tandasnya.
Baca Juga
Penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk spinning reserve, lanjut dia, akan meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan membebani konsumen serta APBN.
Di bagian lain, dengan prioritas Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pada pembangunan pembangkit EBT sebesar 51,6%, menurut dia tidak ada urgensi untuk menerapkan Power Wheeling. Hal ini sesuai dengan rencana Net Zero Emission 2060 tanpa menambah risiko dari berbagai aspek.
"Konsep Power Wheeling dikhawatirkan akan digunakan dalam skema liberalisasi penyediaan listrik untuk kepentingan umum, yang pada akhirnya berpotensi melanggar Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, di mana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara," kata Abrar.
Abrar pun mencontohkan studi kasus di Filipina terkait penerapan skema Power Wheeling dan privatisasi sektor ketenagalistrikan melalui Electric Power Industry Reform Act (Epira) pada tahun 2001. "Pengalaman Filipina ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan kebijakan Power Wheeling," jelasnya.
Beberapa tantangan yang dialami Filipina yang perlu diperhatikan dalam konteks Indonesia menurutnya adalah kenaikan harga listrik. Sejak penerapan skema Power Wheeling, harga listrik di Filipina mengalami kenaikan sebesar 55%. Jika hal ini terjadi di Indonesia, masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah, akan menghadapi beban finansial yang berat, terutama jika harga listrik ditentukan berdasarkan mekanisme pasar.
Lihat Juga :
tulis komentar anda