Indonesia Tidak Akan Selamat, Waktu 1,5 Bulan Tidak Cukup Hindari Resesi
Jum'at, 28 Agustus 2020 - 14:43 WIB
JAKARTA - Perekonomian Indonesia hampir pasti bakal mengalami resesi akibat dampak dari pandemi Covid-19. Menurut ekonom Indef Bhima Yudistira mengatakan, waktu 1,5 bulan tidaklah cukup untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari resesi.
"Sulit untuk keluar dari resesi karena konsumsi saat ini masih lemah," kata Bhima saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Jumat (28/8/2020).
(Baca Juga: Menkeu Akui Ekonomi RI Kembali Flat, Sinyal Resesi? )
Menurutnya stimulus pemerintah seperti subsidi gaji terlambat disalurkan sehingga efek ke belanja masyarakat tidak akan langsung dirasakan. "Realisasi PEN pun baru 25%, relatif rendah," katanya.
Dalam kesempatan yang sama Ekonom Core Piter Abdullah menilai, sulit mendorong konsumsi dan investasi untuk kembali normal ketika kondisinya masih tidak normal. Jadi fokus yang harus dilakukan saat ini, setidaknya hingga akhir tahun seharusnya bukan menghindari krisis melainkan menanggulangi wabahnya.
(Baca Juga: Resesi di Depan Mata, Sri Mulyani: Jangan Menyerah Dulu! )
"Sembari menyelamatkan masyarakat dan dunia usaha agar tidak mati duluan di tengah wabah," tegas Piter.
Sementara itu sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2020 akan berada di rentang minus 2% hingga 0%. Hal ini menjadi sinyal bahwa ancaman resesi semakin nyata, ditambah mantan direktur Bank Dunia itu memperkirakan sepanjang tahun erada di kisaran minus 1,1% hingga positif 0,2%.
"Kita memang melihat di kuartal III downside risk tetap menunjukkan risiko yang nyata, kuartal III outlook-nya antara 0% hingga negatif 2%," kata Menkeu Sri Mulyani dalam konferensi APBN KiTa.
"Sulit untuk keluar dari resesi karena konsumsi saat ini masih lemah," kata Bhima saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Jumat (28/8/2020).
(Baca Juga: Menkeu Akui Ekonomi RI Kembali Flat, Sinyal Resesi? )
Menurutnya stimulus pemerintah seperti subsidi gaji terlambat disalurkan sehingga efek ke belanja masyarakat tidak akan langsung dirasakan. "Realisasi PEN pun baru 25%, relatif rendah," katanya.
Dalam kesempatan yang sama Ekonom Core Piter Abdullah menilai, sulit mendorong konsumsi dan investasi untuk kembali normal ketika kondisinya masih tidak normal. Jadi fokus yang harus dilakukan saat ini, setidaknya hingga akhir tahun seharusnya bukan menghindari krisis melainkan menanggulangi wabahnya.
(Baca Juga: Resesi di Depan Mata, Sri Mulyani: Jangan Menyerah Dulu! )
"Sembari menyelamatkan masyarakat dan dunia usaha agar tidak mati duluan di tengah wabah," tegas Piter.
Sementara itu sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2020 akan berada di rentang minus 2% hingga 0%. Hal ini menjadi sinyal bahwa ancaman resesi semakin nyata, ditambah mantan direktur Bank Dunia itu memperkirakan sepanjang tahun erada di kisaran minus 1,1% hingga positif 0,2%.
"Kita memang melihat di kuartal III downside risk tetap menunjukkan risiko yang nyata, kuartal III outlook-nya antara 0% hingga negatif 2%," kata Menkeu Sri Mulyani dalam konferensi APBN KiTa.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda