Pakar Sawit IPB: Temuan Ombudsman RI Jadi Pintu Benahi Tata Kelola Sawit
Jum'at, 22 November 2024 - 21:24 WIB
"Dalam hal ini, pemerintah perlu membentuk badan nasional urusan kelapa sawit yang berada langsung di bawah Presiden dan berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) guna mewujudkan tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan," tandas Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika.
Lebih jauh, Prof Budi Mulyanto mengusulkan, perlu dilakukan penyederhanaan peraturan perundangan Sawit (semacam omnibus law sawit) yang mengatur urusan sawit dari hulu ke hilir. "Mengingat sawit istimewa bagi bangsa Indonesia, banyak manfaatnya dan banyak urusannya maka satu Badan untuk mengelola urusan sawit A-Z (tentu didasarkan pada peraturan perundangan yang sudah lebih sederhana), sehingga masyarakat mendapat pelayanan satu pintu," papar Prof Budi Mulyanto.
Disamping itu, kata dia, badan ini harus mengelola satu data sawit yang diupdate secara periodik sesuai ruang dan waktu bagi perbaikan dan pengembangan industri sawit (continuous improvement). "Harapan saya dimulai oleh Pemerintah Presiden Prabowo, industri sawit berkembang lebih mantab dan tertata, sehingga nilai Easy of Doing Bussiness (EODB) Indonesia meningkat, dan investor yakin berinvestasi di sektor sawit," paparnya.
Usulkan UU Perkelapasawitan
Dihubungi terpisah, anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mengungkapkan fakta di lapangan memang sudah ada keterlanjuran terkait permasalahan tumpang tindih lahan sawit. Meskipun dirinya sejatinya juga tidak sepakat dengan istilah keterlanjuran tersebut.
Pertama, masyarakat petani sawit yang tidak paham regulasi memanfaatkan lahan yang dianggapkan sebagai tanah negara. Kedua, ada pelaku usaha sawit yang memproses izin setengah jadi tiba-tiba ada kebijakan dari Kementerian Kehutanan.
Sehingga penanaman tidak bisa dilanjutkan karena ditetapkan sebagai kawasan hutan. Ketiga, pelaku usaha yang benar-benar menabrak aturan. Yakni, mereka langsung menanam sawit di kawasan hutan tanpa ada proses izin.
Menurut Firman, penyelesaiannya menurut UU Cipta Kerja ada tiga skema. Bagi petani yang tidak tahu diberikan hak pinjam pakai maksimal 5 hektare untuk mengelola sawitnya sampai meninggal dunia. Setelah itu, lahan diberikan ke negara untuk dikembalikan fungsinya sebagai Kawasan hutan.
"Nah kemudian bagi yang setengah proses akibat kesalahan kebijakan dan kemudian disitu tak bisa dilanjutkan itu juga harus diberikan sanksi, tapi sanksinya tidak seberat yang nabrak tadi," ungkapnya.
Firman mengusulkan pelaku usaha tersebut bisa diberikan kesempatan untuk mengelola lahannya mungkin satu sampai tiga siklus. Namun, hal itu harus diatur melalui peraturan menteri kehutanan sebagai dasarnya.
Lebih jauh, Prof Budi Mulyanto mengusulkan, perlu dilakukan penyederhanaan peraturan perundangan Sawit (semacam omnibus law sawit) yang mengatur urusan sawit dari hulu ke hilir. "Mengingat sawit istimewa bagi bangsa Indonesia, banyak manfaatnya dan banyak urusannya maka satu Badan untuk mengelola urusan sawit A-Z (tentu didasarkan pada peraturan perundangan yang sudah lebih sederhana), sehingga masyarakat mendapat pelayanan satu pintu," papar Prof Budi Mulyanto.
Disamping itu, kata dia, badan ini harus mengelola satu data sawit yang diupdate secara periodik sesuai ruang dan waktu bagi perbaikan dan pengembangan industri sawit (continuous improvement). "Harapan saya dimulai oleh Pemerintah Presiden Prabowo, industri sawit berkembang lebih mantab dan tertata, sehingga nilai Easy of Doing Bussiness (EODB) Indonesia meningkat, dan investor yakin berinvestasi di sektor sawit," paparnya.
Usulkan UU Perkelapasawitan
Dihubungi terpisah, anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mengungkapkan fakta di lapangan memang sudah ada keterlanjuran terkait permasalahan tumpang tindih lahan sawit. Meskipun dirinya sejatinya juga tidak sepakat dengan istilah keterlanjuran tersebut.
Pertama, masyarakat petani sawit yang tidak paham regulasi memanfaatkan lahan yang dianggapkan sebagai tanah negara. Kedua, ada pelaku usaha sawit yang memproses izin setengah jadi tiba-tiba ada kebijakan dari Kementerian Kehutanan.
Sehingga penanaman tidak bisa dilanjutkan karena ditetapkan sebagai kawasan hutan. Ketiga, pelaku usaha yang benar-benar menabrak aturan. Yakni, mereka langsung menanam sawit di kawasan hutan tanpa ada proses izin.
Menurut Firman, penyelesaiannya menurut UU Cipta Kerja ada tiga skema. Bagi petani yang tidak tahu diberikan hak pinjam pakai maksimal 5 hektare untuk mengelola sawitnya sampai meninggal dunia. Setelah itu, lahan diberikan ke negara untuk dikembalikan fungsinya sebagai Kawasan hutan.
"Nah kemudian bagi yang setengah proses akibat kesalahan kebijakan dan kemudian disitu tak bisa dilanjutkan itu juga harus diberikan sanksi, tapi sanksinya tidak seberat yang nabrak tadi," ungkapnya.
Firman mengusulkan pelaku usaha tersebut bisa diberikan kesempatan untuk mengelola lahannya mungkin satu sampai tiga siklus. Namun, hal itu harus diatur melalui peraturan menteri kehutanan sebagai dasarnya.
tulis komentar anda