Roadmap Simplifikasi CHT Bisa Tambah Penerimaan Negara Rp17,5 T
Senin, 07 September 2020 - 18:22 WIB
JAKARTA - Roadmap simplifikasi Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang sebelumnya ditunda implementasinya oleh pemerintah, kini masuk pada salah satu kebijakan strategis pemerintah dalam RPJMN 2020-2024 (PP 18/2020) dan diturunkan dalam Renstra Kemenkeu melalui PMK 77/2020.
Program strategis ini merupakan bagian dari program reformasi fiskal, sebagai wujud penguatan pilar pertumbuhan dan daya saing ekonomi nasional, selain dari upaya pemerintah dalam mencegah tax avoidance, meminimalkan celah kebijakan serta mengoptimalkan penerimaan negara dari sisi cukai.
(Baca Juga: Simplifikasi Cukai Rokok Jalan Panjang Menuju Perubahan)
Sebagai wujud kontribusi akademik, Pusat Kajian dan Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PKPM FEB UB) melakukan diseminasi hasil penelitian cukai hasil tembakau dengan tema roadmap simplifikasi, celah kebijakan dan dampaknya.
Ketua Tim Peneliti PKPM FEB UB Abdul Ghofar dalam paparannya menyampaikan bahwa sistem kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia saat ini masih sangat kompleks, sehingga memunculkan berbagai persoalan. Ghofar mengungkapkan bahwa melalui skema simplifikasi cukai hasil tembakau, penggabungan batasan produksi rokok mesin, pengaturan sister company, serta penghapusan kebijakan diskon rokok berpotensi meningkatkan penerimaan negara hingga Rp17,5 triliun.
Terdapat beberapa temuan strategis yang terkait kebijakan cukai hasil tembakau yang berlaku saat ini. Pertama, sistem cukai yang berlaku saat ini dinilai terlalu kompleks, penuh ketidakpastian dan tidak berkeadilan. "Masalah ini tentu sangat menganggu kinerja industri hasil tembakau yang selama ini dikenal sebagai industri yang padat karya menjadi tidak optimal," ujar Ghofar dalam pemaparan yang disiarkan secara virtual, Senin (7/9/2020).
(Baca Juga: Pengusaha Tolak Simplifikasi Cukai Rokok karena Akan Mematikan Usaha Lokal) Kedua, selisih tarif cukai antargolongan saat ini tidak ideal. Ketiga, banyaknya perusahaan yang memakai skema usaha sister company atau afiliasi untuk menghindari pembayaran pajak yang lebih besar. Keempat, jarak tarif cukai rokok kretek tangan dan rokok kretek mesin sangat berdekatan. Dan terakhir, kebijakan diskon rokok yang membolehkan Harga Transaksi Pasar (HTP) 85% dari Harga Jual Eceran (HJE) memiliki potential loss hingga Rp3,89 triliun dalam bentuk PPh Badan pada 2020.
Penelitian ini merekomendasikan kepada pemerintah agar kembali menjalankan kebijakan simplifikasi sesuai roadmap yang pernah diterbitkan melalui PMK 146/2017. Selain itu pemerintah juga harus mempersempit selisih jarak tarif cukai antar golongan dan antar jenis. Re-definisi skala usaha berdasarkan UU No. 20/2018 tentang UMKM, penghapusan kebijakan diskon rokok, dan juga merekomendasikan untuk membuat peraturan (regulasi) tentang sister company Industri Hasil Tembakau (IHT).
Program strategis ini merupakan bagian dari program reformasi fiskal, sebagai wujud penguatan pilar pertumbuhan dan daya saing ekonomi nasional, selain dari upaya pemerintah dalam mencegah tax avoidance, meminimalkan celah kebijakan serta mengoptimalkan penerimaan negara dari sisi cukai.
(Baca Juga: Simplifikasi Cukai Rokok Jalan Panjang Menuju Perubahan)
Sebagai wujud kontribusi akademik, Pusat Kajian dan Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PKPM FEB UB) melakukan diseminasi hasil penelitian cukai hasil tembakau dengan tema roadmap simplifikasi, celah kebijakan dan dampaknya.
Ketua Tim Peneliti PKPM FEB UB Abdul Ghofar dalam paparannya menyampaikan bahwa sistem kebijakan cukai hasil tembakau di Indonesia saat ini masih sangat kompleks, sehingga memunculkan berbagai persoalan. Ghofar mengungkapkan bahwa melalui skema simplifikasi cukai hasil tembakau, penggabungan batasan produksi rokok mesin, pengaturan sister company, serta penghapusan kebijakan diskon rokok berpotensi meningkatkan penerimaan negara hingga Rp17,5 triliun.
Terdapat beberapa temuan strategis yang terkait kebijakan cukai hasil tembakau yang berlaku saat ini. Pertama, sistem cukai yang berlaku saat ini dinilai terlalu kompleks, penuh ketidakpastian dan tidak berkeadilan. "Masalah ini tentu sangat menganggu kinerja industri hasil tembakau yang selama ini dikenal sebagai industri yang padat karya menjadi tidak optimal," ujar Ghofar dalam pemaparan yang disiarkan secara virtual, Senin (7/9/2020).
(Baca Juga: Pengusaha Tolak Simplifikasi Cukai Rokok karena Akan Mematikan Usaha Lokal) Kedua, selisih tarif cukai antargolongan saat ini tidak ideal. Ketiga, banyaknya perusahaan yang memakai skema usaha sister company atau afiliasi untuk menghindari pembayaran pajak yang lebih besar. Keempat, jarak tarif cukai rokok kretek tangan dan rokok kretek mesin sangat berdekatan. Dan terakhir, kebijakan diskon rokok yang membolehkan Harga Transaksi Pasar (HTP) 85% dari Harga Jual Eceran (HJE) memiliki potential loss hingga Rp3,89 triliun dalam bentuk PPh Badan pada 2020.
Penelitian ini merekomendasikan kepada pemerintah agar kembali menjalankan kebijakan simplifikasi sesuai roadmap yang pernah diterbitkan melalui PMK 146/2017. Selain itu pemerintah juga harus mempersempit selisih jarak tarif cukai antar golongan dan antar jenis. Re-definisi skala usaha berdasarkan UU No. 20/2018 tentang UMKM, penghapusan kebijakan diskon rokok, dan juga merekomendasikan untuk membuat peraturan (regulasi) tentang sister company Industri Hasil Tembakau (IHT).
(fai)
tulis komentar anda