Simak! UU Cipta Kerja Tidak Merampas Tanah Rakyat
Kamis, 08 Oktober 2020 - 14:39 WIB
JAKARTA - Pernyataan sejumlah pengamat dan politisi yang mengatakan ada pasal dalam UU Cipta Kerja , yaitu Pasal 121, yang membuat pemerintah dapat dengan sewana-wena merampas tanah atau rumah warga negara dinilai sangat tendensius dan bermaksud buruk. Pasalnya, tidak ada pasal dalam UU Cipta Kerja yang membenarkan pemerintah merampas tanah tanah rakyat.
Staf Khusus dan Jubir Kementerian ATR/BPN tentang UU Cipta Kerja T. Taufiqulhadi mengatakan, soal pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam Pasal 121 UU Cipta Kerja sama sekali tidak mengubah makna dan cara penguasaan oleh pemerintah dari UU sebelumnya, yaitu UU No. 2 Tahun 2012. ( Baca juga:UU Penanganan Covid-19 Tak Langgar Konstitusi, Sri Mulyani: Lindungi 269 Juta Warga )
"Jika memang ada perubahan, itu hanya penyesuaian istilah saja," kata T. Taufiqulhadi di Jakarta, Kamis (8/10/2020).
Dia melanjutkan, UU Cipta Kerja mengatur jika ada lahan dan rumah rakyat yang besertifikat akan ditetapkan untuk kepentingan umum, maka sebelum rencana pembangunan fasilitas umum itu dilaksanakan, maka akan dilangsungkan konsultasi publik terlebih dahulu.
"Dalam konsultasi tersebut harus semua pihak sepakat. Jika masyarakat pemilik lahan atau rumah yang bersertifikat itu belum sepakat, maka tidak boleh pemerintah membangun proyek umum apa pun di atas lahan rakyat tersebut," katanya.
Dalam proses konsultasi publik tersebut, pemerintah juga akan menggunakan appraisal independen, sehingga praktik pengadaan tanah untuk kepentingan akan terselenggara sangat fair. Harga tanah, bangunan, tanan tumbuh, penghasilan pemilik tanah, jika ada warung misalnya, akan dinilai secara sangat adil oleh appraisal independen tadi.
"Negara tidak akan mendegradasi praktik yang telah berlangsung sekarang. Sekarang harga tanah yang dibayar berkisar antara dua hingga empat kali harga pasar. Inilah yang memungkinkan pembangunan tol, pelabuhan, bandara, kereta api dan berbagai infrastruktur lain tanpa gejolak dan tanpa penolakan," tandasnya. ( Baca juga:Bisa Melesat 85 Km/Jam, Truk Hidrogen Hyundai Mampu Tempuh 400 Km )
Menurut Taufiqulhadi, justru UU No. 2 Tahun 2012 sering cenderung menimbulkan masalah karena dalam UU tersebut dikenal dengan istilah ganti rugi. Padahal, rakyat tidak mau rugi. Seharusnya rakyat haus ganti untung. Alhasil, rakyat menjadi pesimistis dengan penggunaan istilah ganti rugi ini. Kini penamaan-penamaan dalam pasal UU Cipta Kerja disesuaikan untuk menghindari pesimisme rakyat.
Kalau soal penitipan uang ganti rugi di pengadilan, itu disebut konsinyiasi. Masalah konsinyiasi ini telah diatur dalam Pasal 42 KUH Perdata. Konsinyiasi dalam dalam UU itu dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang sedang beperkara.
"Misalnya, jika harga tanah sudah disepakati, tetapi di atas objek tanah yang sama terjadi klaim tumpang tindih di antara warga. Maka klaim tumpang tundih tersebut harus diselesaikan di pengadilan. Agar pembangunan fasilitas umum bisa terus dijalankan, maka UU mengharuskan pemerintah menitipkan uang di pengadilan (konsinyiasi). Jadi konsinyiasi itu adalah melindungi kepentingan masyarakat," tandasnya.
Staf Khusus dan Jubir Kementerian ATR/BPN tentang UU Cipta Kerja T. Taufiqulhadi mengatakan, soal pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam Pasal 121 UU Cipta Kerja sama sekali tidak mengubah makna dan cara penguasaan oleh pemerintah dari UU sebelumnya, yaitu UU No. 2 Tahun 2012. ( Baca juga:UU Penanganan Covid-19 Tak Langgar Konstitusi, Sri Mulyani: Lindungi 269 Juta Warga )
"Jika memang ada perubahan, itu hanya penyesuaian istilah saja," kata T. Taufiqulhadi di Jakarta, Kamis (8/10/2020).
Dia melanjutkan, UU Cipta Kerja mengatur jika ada lahan dan rumah rakyat yang besertifikat akan ditetapkan untuk kepentingan umum, maka sebelum rencana pembangunan fasilitas umum itu dilaksanakan, maka akan dilangsungkan konsultasi publik terlebih dahulu.
"Dalam konsultasi tersebut harus semua pihak sepakat. Jika masyarakat pemilik lahan atau rumah yang bersertifikat itu belum sepakat, maka tidak boleh pemerintah membangun proyek umum apa pun di atas lahan rakyat tersebut," katanya.
Dalam proses konsultasi publik tersebut, pemerintah juga akan menggunakan appraisal independen, sehingga praktik pengadaan tanah untuk kepentingan akan terselenggara sangat fair. Harga tanah, bangunan, tanan tumbuh, penghasilan pemilik tanah, jika ada warung misalnya, akan dinilai secara sangat adil oleh appraisal independen tadi.
"Negara tidak akan mendegradasi praktik yang telah berlangsung sekarang. Sekarang harga tanah yang dibayar berkisar antara dua hingga empat kali harga pasar. Inilah yang memungkinkan pembangunan tol, pelabuhan, bandara, kereta api dan berbagai infrastruktur lain tanpa gejolak dan tanpa penolakan," tandasnya. ( Baca juga:Bisa Melesat 85 Km/Jam, Truk Hidrogen Hyundai Mampu Tempuh 400 Km )
Menurut Taufiqulhadi, justru UU No. 2 Tahun 2012 sering cenderung menimbulkan masalah karena dalam UU tersebut dikenal dengan istilah ganti rugi. Padahal, rakyat tidak mau rugi. Seharusnya rakyat haus ganti untung. Alhasil, rakyat menjadi pesimistis dengan penggunaan istilah ganti rugi ini. Kini penamaan-penamaan dalam pasal UU Cipta Kerja disesuaikan untuk menghindari pesimisme rakyat.
Kalau soal penitipan uang ganti rugi di pengadilan, itu disebut konsinyiasi. Masalah konsinyiasi ini telah diatur dalam Pasal 42 KUH Perdata. Konsinyiasi dalam dalam UU itu dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang sedang beperkara.
"Misalnya, jika harga tanah sudah disepakati, tetapi di atas objek tanah yang sama terjadi klaim tumpang tindih di antara warga. Maka klaim tumpang tundih tersebut harus diselesaikan di pengadilan. Agar pembangunan fasilitas umum bisa terus dijalankan, maka UU mengharuskan pemerintah menitipkan uang di pengadilan (konsinyiasi). Jadi konsinyiasi itu adalah melindungi kepentingan masyarakat," tandasnya.
(uka)
tulis komentar anda